"Cinta sejati bukan tentang memiliki, tetapi tentang menjaga agar ia tetap suci meski harus terpisah."
Kemudian ia menutup buku itu perlahan, memeluknya seperti memeluk bayangan Andin.
Air mata mengalir tanpa suara---sama sunyinya seperti cinta yang harus mereka kubur bersama waktu.
Hari itu hujan turun pelan, seperti gerimis yang malu-malu. Martin baru saja keluar dari ruang tunggu bandara, menenteng koper kecilnya. Ia baru selesai mengikuti pelatihan kerja di kota lain, tubuhnya letih namun pikirannya justru semakin penuh dengan bayang masa lalu.
Langkahnya terhenti ketika matanya menangkap sosok perempuan di kejauhan. Perempuan dengan jilbab abu lembut, berdiri di samping tiang penyangga, tampak menunduk menenangkan seorang anak kecil yang merengek ingin pulang.
Dunia Martin mendadak hening.
Waktu seperti berhenti.
"Itu... Andin."
Sejenak ia berpikir matanya sedang berkhianat. Tetapi ketika perempuan itu mengangkat wajah, dan tatapannya tak sengaja bertabrakan dengan tatapan Martin... dunia mereka yang lama terkubur itu, seolah menggeliat kembali.
Andin tertegun. Bibirnya sempat terbuka, namun tak satu pun kata keluar. Martin pun sama, membeku di tempat, hanya dada yang berdetak lebih cepat dari detik jam dinding bandara.
Anak kecil itu---entah putra siapa---menarik lengan Andin, memecah keheningan.
"Bunda, ayo... pesawatnya sebentar lagi," ucapnya polos.
Martin menunduk, mencoba menyembunyikan tatapan yang terlalu basah.
"Oh... jadi dia sudah jadi ibu anak yang ke 4," pikirnya, hati mengerut dan lapang dalam waktu bersamaan.
Langkah Andin sempat terhenti di sampingnya.
"Martin..." suaranya lirih, hampir tak terdengar.