"Apakah 'Kumbang Jantan' berani terbang menuju taman bunga di Kota Raja?" ucap gadis itu tanpa melihat ke arahku maupun ke arah adikku. Saat itu kami berdua menemui gadis itu di teras rumah.
"Tergantung cuaca dan kondisi sayap," tuturku pelan.
Sesaat Abdul Rahman hanya membisu. Kemudian ia mulai memahami apa yang sedang terjadi. Setelah berdehem sebentar, ia mengeluarkan suara dengan nada tidak kalah puitisnya.
"Cerita Arya Dwipangga dan Arya Kamandanu, mungkinkah akan terulang lagi?"
Aku kaget. Ternyata adikku sudah dapat mengetahui apa yang sedang terjadi. Apa yang aku lakukan. Cerita Arya Dwipangga dan Arya Kamandanu yang semula berupa  sandiwara radio kemudian dibuat film layar lebar dan sinetron. Pedang Naga Puspa merupakan salah satu judul film itu. Kedua tokoh kakak beradik itu berseteru gara-gara memperebutkan seorang gadis. Ceritanya cukup panjang dibalut kisah sejarah di masa lampau di Pulau Jawa.
"Syair yang indah dapat mengalahkan pedang yang tajam dan kekuatan fisik," ucapku membanggakan diri.
Tidak berapa lama gadis itu menyampaikan kata-kata lagi dengan tetap tenang.
"Saya bukan Nari Ratih, saya bukan pula Mei Shin," tutur gadis 'Kuncup Luka' itu dengan nada serius.
Aku terperangah lagi. Ternyata gadis itu hafal nama-nama tokoh dalam sandiwara radio, film, dan sinetron dengan tokoh-tokoh yang sangat legendaris. Pada zaman now masih ada remaja yang mau mempelajari kisah klasik yang biasanya hanya disukai kalangan orang tua.
"Sudah, sudah! Saya tidak mau bertele-tele. Tujuan saya membuka lowongan untuk mencari bakat remaja Kalimantan Timur. Saya datang jauh-jauh dari Surabaya untuk bekerja. Bukan main cinta-cintaan," ucap adikku dengan nada suara meninggi.
"Bakat harus disertai rasa. Bukan hanya logika," ucap gadis itu pelan.