Mohon tunggu...
Suprihadi SPd
Suprihadi SPd Mohon Tunggu... Penulis - Selalu ingin belajar banyak hal untuk dapat dijadikan tulisan yang bermanfaat.

Pendidikan SD hingga SMA di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Kuliah D3 IKIP Negeri Yogyakarta (sekarang UNY) dilanjutkan ke Universitas Terbuka (S1). Bekerja sebagai guru SMA (1987-2004), Kepsek (2004-2017), Pengawas Sekolah jenjang SMP (2017- 2024), dan pensiun PNS sejak 1 Februari 2024.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kuncup Luka dan Kumbang Jantan

21 April 2024   12:39 Diperbarui: 21 April 2024   12:44 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kuncup Luka dan Kumbang Jantan

         

Kalimantan Timur terus berbenah. Kota dan kabupaten terus menggeliat. Inovasi dan tradisi dipadukan agar menarik generasi muda. Beberapa kabupaten berupaya mengubah dirinya untuk menjadi daerah yang memiliki daya tarik bagi wisatawan.

Aku tidak boleh ketinggalan dalam inovasi, khususnya inovasi di kalangan anak muda. Statusku sebagai mahasiswa tingkat akhir, mempunyai banyak peluang untuk memimpin adik-adik mahasiswa yang memiliki misi yang sama.

Ilmu yang aku dapatkan dari kampus harus diimplementasikan. Berbagai teori yang aku pelajari perlu diterapkan setelah diseleksi dan didiskusikan. Tidak mudah memang. Perlu mencari rekan dan kawan yang sepaham.

"Besok, saudara kembarmu akan datang ke rumah kita. Setelah kakek meninggal sepekan yang lalu, saudaramu tidak dapat konsentrasi dalam belajar. Tidak ada orang yang cocok diajak berdiskusi."


Begitu kalimat yang diucapkan ibu yang sempat aku rekam tadi pagi sebelum berangkat ke kampus. Ada sedikit rasa khawatir jika aku harus tinggal satu rumah dengan saudara kembarku. Namun, rasa khawatir itu aku buang jauh-jauh.

Urusan kamar, ibu yang mengatur. Aku disuruh pindah ke kamar depan, dekat kamar tamu. Saudara kembarku menempati kamar yang selama ini aku pakai. Barang-barangku sudah dipindahkan oleh asisten rumah tangga keluarga kami.

"Pokoknya, nanti kamu pulang dari kampus sudah ada kamar baru buatmu."

Demikian kalimat yang diucapkan ayah. Kesepakatan memang sudah dibuat. Sebagai anak yang dilahirkan lebih dahulu, selisih satu jam, aku harus menempati kamar depan. Adikku memang sudah minta kepada orang tua kami agar diperbolehkan menempati kamar yang selama ini aku tinggali.

Alasannya sangat sederhana. Kami sempat tertawa setelah mendengar alasan yang disampaikan adikku memilih kamar itu.

"Supaya lebih dekat dengan ruang dapur. Saya, khan, paling tidak bisa menahan lapar."

Demikian tulisan yang dikirimkan adikku lewat pesan WA setelah ibu mendesak alasan memilih kamar. Sebelumnya aku keberatan karena akan merepotkan. Aku harus angkat-angkat barang pindah kamar.

Untung ayah sangat bijak. Untuk urusan angkat-angkat barang, nanti akan dibantu oleh asisten rumah tangga. Aku tidak perlu banyak keluar keringat untuk memindahkan barang-barangku.

Adaptasi memerlukan waktu. Aku harus dapat melakukan itu. Selama ini kami hanya tinggal bertiga: aku, ayah, dan ibu. Kami sudah saling mengetahui hal-hal yang tidak disukai dan paling disukai. Untuk itu, jarang terjadi perdebatan atau perselisihan paham. Masing-masing menghargai hak dan kewajibannya.

Kehadiran adikku di rumah kami, tentu akan membawa berbagai perubahan. Aku belum mengetahui kebiasaan-kebiasaan adikku. Demikian pula, adikku belum mengetahui kebiasaan-kebiasaanku.

Demi mengenal karakter adikku, rencana untuk mengadakan diskusi dengan teman-teman kampus yang akan menggelar pameran buku, aku batalkan. Aku ingin lebih fokus untuk urusan keluarga kami.

Pulang ke rumah, aku melihat ayah dan ibuku sibuk menata ini dan itu seperti akan menyambut tamu besar. Asisten rumah tangga kami harus bolak-balik mengambil ini itu dan mengeluarkan yang lain dari dalam rumah.

"Ada beberapa hal yang akan ayah sampaikan sebelum Abdul Raman berkumpul bersama kita di rumah ini," tutur ayah sambil menyeka keringat di bagian leher.

Ibu, asisten rumah tangga, dan aku pun mendekati ayah yang sudah duduk di teras rumah. Kami sering berkumpul di teras itu sambil memandangi tanaman bunga yang beraneka jenis. Ibuku sangat suka menanam bunga.

"Adikmu, Abdul Rahman itu sejak umur satu bulan setelah dilahirkan sudah diasuh kakek dan nenekmu di Surabaya," ayah memulai ceritanya sambil memandang ke arahku.

Cerita itu sudah pernah aku dengar dari ibu. Waktu itu ibu merasa kerepotan kalau harus mengurus dua bayi sekaligus. Saran ayah agar mengambil seorang babby sitter ditolak oleh nenek. Akhirnya, neneklah yang merawat adik kembaranku itu.

"Perlakuan kakek dan nenekmu terhadap Abdul Rahman sangat istimewa. Setiap keinginannya selalu dituruti. Jarang ada permintaan anak itu yang ditolak. Pergaulannya juga lebih luas. Dia tidak pilih-pilih dalam berteman," tutur ayah dengan semangat.

"Lalu, apa yang harus aku lakukan, Ayah?" tanyaku sedikit tersinggung.

Aku juga mempunyai sifat seperti itu. Aku bergaul tidak pilih-pilih orang. Semua kalangan juga aku jadikan teman. Ada tukang sayur, ada tukang sampah, ada tukang ojek, ada pegawai pos, ada staf karyawan kelurahan, ada guru, ada pengusaha, dan tentunya teman-teman mahasiswa dari berbagai jurusan.

"Kita akan mempunyai teman diskusi yang lebih antusias. Untuk itu, kita harus banyak membaca surat kabar, menonton acara-acara dialog bermutu di televisi, dan banyak baca berita daring dari internet," ucap ayah selanjutnya.

"Satu hal lagi, Abdul Rahman suka berlama-lama di ruang baca. Untuk itu, tolong, Mukidi, buku-buku di ruang baca kamu rapikan dan debu-debu dibersihkan, ya!" tutur ayah sambil telunjuknya diarahkan kepada asisten rumah tangga kami.

"Boleh tanya, Pak?" Mukidi melontarkan kalimatnya.

"Silakan!" sahut ayah spontan.

"Adiknya mas Abdul Rahim itu suka minuman apa,ya? Ini penting agar nanti kalau dia sudah datang, saya bisa menyiapkan minuman kesukaannya. Ya, seperti di hotel-hotel berbintang itu. Kalau ada tamu hotel mau cek in, ada minuman selamat datang," tutur Mukidi dengan wajah lucu.

Kami tertawa dibuatnya. Mukidi memang selalu membuat keluarga kami merasa senang dan terhibur oleh celotehan yang terkadang konyol dan terkadang cukup ilmiah. Pendidikannya yang pernah tamat SMA membuat pengetahuannya cukup untuk teman diskusi di keluarga kami.

"Assalamualaikum!"

Kami dikejutkan oleh kedatangan adik kembarku. Rencananya baru besok ia datang. Tiba-tiba hari ini sudah muncul. Ibu tampak sangat gembira. Demikian pula ayah terlihat berbinar-binar wajahnya.

Aku peluk erat sekali saudara kembarku itu. Sementara Mukidi hanya melongo, kaget bercampur senang. Buru-buru ia berjalan ke dapur. Melihat hal itu, Abdul Rahman memanggilnya.

"Sebentar, saya buatkan dulu minuman selamat datang!"

Obrolan kami mengalir bak air bah di musim hujan. Ayah banyak bertanya mulai keberangkatan dari Surabaya. Abdul Rahman bercerita dengan panjang lebar seperti sedang berceramah di depan podium.

"Maaf, aku ada janji di kampus. Ada rapat persiapan seminar pekan depan. Nanti malam dilanjutkan ngobrolnya," ucapku seraya berdiri.

"Abang mau ke kampus?" tanya adikku.

"Iya," jawabku pendek sambil berjalan menuju ke kamarku yang sudah pindah ke depan.

Aku lirik adikku akan berbicara sesuatu tetapi aku tidak menghiraukannya. Masih banyak waktu nanti malam jika akan ngobrol atau tukar pendapat. Informasi dari ayahku barusan merupakan penegasan bahwa Abdul Rahman suka berdiskusi.

Hari-hari berikutnya merupakan hari-hari penuh silang pendapat. Ayahku memiliki pendapat tertentu. Adikku berbeda. Aku juga berbeda. Hanya ibuku yang berhasil menjadi penengah. Semua pendapat kami diramu oleh ibuku. Ibarat moderator dalam suatu seminar.

Pada hari kelima sejak kehadiran adikku bersama kami ada seorang gadis yang bertandang ke rumah kami. Hal itu belum pernah terjadi. Aku memang tidak suka didatangi kawan-kawan, khususnya gadis. Teman-teman kampusku selalu aku pesani bahwa tidak etis seorang gadis mendatangi rumah teman pria.

Tentu ayah kaget pada saat ada seorang gadis tiba-tiba muncul di hadapannya pada suatu sore.

"Benarkah Abdul Rahman tinggal di rumah ini, Om?" tanya gadis itu sambil melongok ke dalam rumah.

"Benar. Abdul Rahman anak saya," jawab ayahku sambil meletakkan koran yang tengah dibacanya.

"Saya sudah mengirimkan paket berisi buku harian yang diminta Abdul Rahman. Kedatangan saya ke sini untuk memastikan apakah buku saya itu sudah sampai atau belum. Sekalian saya ingin bersilaturahmi ke sini," tutur gadis itu dengan ujung mata masih mencari-cari sesuatu.

"Kebetulan Abdul Rahman sedang mengantar ibunya berbelanja. Apakah mau ditunggu atau nanti menelepon saja?" tutur ayahku memberikan pilihan.

"Tadi saya lihat ada lelaki di samping rumah. Siapa dia, Om?"

Saat itu aku memang berada di samping rumah. Aku sedang menyirami tanaman bunga yang ditanam oleh ibu. Sayang sekali jika tanaman itu layu karena kurang air.

"O ... yang  itu kakaknya Abdul Rahman. Mereka saudara kembar," ucap ayah memberikan penjelasan.

Dialog seperti itu saya dengar beberapa kali. Bukan hanya sore itu ada gadis yang datang. Sore hari berikutnya demikian pula. Terkadang ada dua orang. Ada kalanya tiga orang. Pernah ada rombongan sampai tujuh orang.

"Sebenarnya kegiatan apa yang sedang engkau kerjakan?" tanya ayah pada malam kesepuluh setelah kedatangan gadis pertama yang mencari Abdul Rahman.

"Ketika saya di Surabaya, saya mendengar ada informasi bahwa remaja di Kaltim ada yang berhasil masuk nominasi pencarian bakat di salah satu stasiun televisi. Untuk itu, saya membuka lowongan untuk para remaja usia 18-25 tahun untuk mengikuti pembimbingan agar bisa sukses seperti orang-orang yang dipanggil ke Jakarta untuk adu bakat," ucap Abdul Rahman dengan bangga.

"Apakah para gadis itu kamu suruh datang ke sini?" tanya ibu serius.

"Tidak, Ibu. Mereka hanya saya minta mengirimkan 'buku harian' asli sebagai bahan untuk menentukan bakat apa yang dimiliki para remaja itu," urai adikku selanjutnya.

===

Suatu pagi yang cerah aku duduk-duduk di ruang baca. Ayah dan ibuku sudah berangkat kerja. Adikku, Abdul Rahman, pamit mau berolah raga ke lapangan tengah kota. Sendirianlah aku di rumah. Asisten rumah tangga kami izin menjenguk neneknya yang sakit di kampung.

Tanpa sengaja aku melihat ada sebuah buku harian yang tergeletak di atas meja. Sampulnya berwarna biru cerah. Ada gambar bunga-bunga kecil di sudut kover buku itu. Aku tertarik untuk mengambil buku itu. Tanpa pikir panjang segera kuraih dan kubuka halaman demi halaman.

Senja selalu membawa cerita
Sebongkah awan akan berduka
Jika Sang Surya tanpa beri pendar ceria
Awan akan berduka dalam kelana

 

Akankah datang lagi
Sang Penerang esok hari
Dengan wajah berseri
Bawa pergi dan lari

 

Kuncup Luka, 01-03-2018

Berulang-ulang aku baca puisi dua bait itu. Aku rasakan kondisi gadis yang sedang menulis puisi itu. Dia pasti dalam keadaan kurang bahagia. Kata-kata yang dirangkai sederhana tetapi aku merasakan sesuatu yang berbeda.

Bergegas aku cari alamat dan nomor HP gadis itu. Tidak perlu waktu lama aku sudah mendapatkan nomor HP gadis itu dalam buku harian tersebut.  Dengan pelan mulai kutuliskan puisi di pesan WA sebagai jawaban dari puisi tersebut. Tidak banyak. Dua bait juga. Tidak lupa aku tuliskan nomor HP dan statusku.

Dua hari sejak kejadian itu, ayah mengajak kami berdiskusi lagi tentang kegiatan yang dilakukan adikku. Dengan mengebu-gebu ia bercerita tentang buku-buku harian yang dikirimkan para peminat kursus yang akan dijalankannya.

"Ada dua puluh peminat. Semuanya gadis. Padahal saya tidak membatasi. Memang yang biasa menulis buku harian itu para wanita, jadi wajar kalau hanya wanita yang kirim buku harian," celoteh Abdul Rahman disertai gerak tangan yang ekspresif.

"Selanjutnya, apa yang akan kamu lakukan?" tanya ibu penasaran.

"Sebentar, Ibu. Saya lanjutkan cerita saya dulu. Dua puluh buku harian itu bermacam-macam isinya. Ada yang cerita ia hobi bermain basket. Ada yang suka pergi ke mal. Ada yang hobi memancing. Ada yang suka membaca novel. Kemudian ada satu yang hobi menulis puisi. Satu buku penuh berisi puisi semua. Di akhir setiap puisi ia tulis nama samaran 'Kuncup Luka'. Kemudian ada pula yang hanya bercerita kesibukannya di dapur membantu ibunya memasak," celoteh adikku dengan semangat.

Tatkala diskusi sedang berlangsung, sebuah pesan WA masuk. Untaian kata dalam bait-bait puisi aku baca. Pada bagian akhir tertulis nama samaran 'Kuncup Luka'. Aku tersenyum membaca puisinya.

Keesokan harinya 'Kuncup Luka' datang ke rumah kami. Aku menyambut dengan gembira. Dalam hati aku berkata, nekat sekali gadis itu mendatangi 'Kumbang Jantan', nama samaranku dalam menulis puisi.

"Apakah 'Kumbang Jantan' berani terbang menuju taman bunga di Kota Raja?" ucap gadis itu tanpa melihat ke arahku maupun ke arah adikku. Saat itu kami berdua menemui gadis itu di teras rumah.

"Tergantung cuaca dan kondisi sayap," tuturku pelan.

Sesaat Abdul Rahman hanya membisu. Kemudian ia mulai memahami apa yang sedang terjadi. Setelah berdehem sebentar, ia mengeluarkan suara dengan nada tidak kalah puitisnya.

"Cerita Arya Dwipangga dan Arya Kamandanu, mungkinkah akan terulang lagi?"

Aku kaget. Ternyata adikku sudah dapat mengetahui apa yang sedang terjadi. Apa yang aku lakukan. Cerita Arya Dwipangga dan Arya Kamandanu yang semula berupa  sandiwara radio kemudian dibuat film layar lebar dan sinetron. Pedang Naga Puspa merupakan salah satu judul film itu. Kedua tokoh kakak beradik itu berseteru gara-gara memperebutkan seorang gadis. Ceritanya cukup panjang dibalut kisah sejarah di masa lampau di Pulau Jawa.

"Syair yang indah dapat mengalahkan pedang yang tajam dan kekuatan fisik," ucapku membanggakan diri.

Tidak berapa lama gadis itu menyampaikan kata-kata lagi dengan tetap tenang.

"Saya bukan Nari Ratih, saya bukan pula Mei Shin," tutur gadis 'Kuncup Luka' itu dengan nada serius.

Aku terperangah lagi. Ternyata gadis itu hafal nama-nama tokoh dalam sandiwara radio, film, dan sinetron dengan tokoh-tokoh yang sangat legendaris. Pada zaman now masih ada remaja yang mau mempelajari kisah klasik yang biasanya hanya disukai kalangan orang tua.

"Sudah, sudah! Saya tidak mau bertele-tele. Tujuan saya membuka lowongan untuk mencari bakat remaja Kalimantan Timur. Saya datang jauh-jauh dari Surabaya untuk bekerja. Bukan main cinta-cintaan," ucap adikku dengan nada suara meninggi.

"Bakat harus disertai rasa. Bukan hanya logika," ucap gadis itu pelan.

Abdul Rahman terlihat kembali tenang. Emosinya yang tiba-tiba meletup perlahan mereda. Air mineral yang tersaji di atas meja diambilnya dengan kasar. Gadis itu sedikit kaget melihat gerakan adikku yang kurang sopan.

Pembicaraan pun dilanjutkan dengan membahas program yang akan dijalankan adikku. Sebagai pemandu bakat, adikku terlihat cepat berubah pikiran. Kurang fokus. Sebagai kakaknya, aku berusaha memberikan masukan agar menjadi pertimbangan.

"Abang jangan ikut campur, dong. Biarlah saya putuskan sendiri apa yang harus saya lakukan," ucap adikku ketika aku memberi saran.

"Bukan maksudku untuk ikut campur. Kebetulan aku berada di sini. Aku hanya memberikan pandangan bukan pemaksaan," ucapku sedikit meninggi nadanya.

"Ya. Boleh kalau cuma masukan tapi jangan mendekte, ya!"

Agar suasana tidak semakin panas, aku minta izin dengan alasan akan ke kampus. Gadis 'Kuncup Luka' juga minta izin untuk pulang karena perjalanan ke Kutai Kartanegara cukup jauh. Ia mengucapkan terima kasih karena terpilih sebagai salah satu peserta yang akan dibimbing oleh adikku.

Abdul Rahman telihat kecewa. Namun, tidak dapat menahan tamu yang akan menjadi peserta didiknya dalam olah bakat. Dalam hati aku bersyukur karena tidak membiarkan seorang gadis hanya berdua-duaan dengan seorang perjaka.

===

Kota Raja akan kusinggahi 
Walau kendala sudah menanti                                                              
Tak ingin aku menelan sepi
Dalam gundah tiada bertepi

 

Kumbang Jantan, 15-03-2018

Begitu pesan WA yang kukirimkan kepada 'Kuncup Luka'. Aku yakin gadis itu akan paham tentang apa yang aku tulis. Berbalas puisi memang ada seninya. Kata-kata yang tepat harus dipilih agar tidak menimbulkan multitafsir.

Kuncup bunga akan sembunyi
Di balik Pohon tinggi
Khawatir Kumbang Jantan
Akan menjelma menjadi Arya Dwipangga 

 

Kuncup Luka, 15-03-2018

 

Balasan dari gadis itu begitu cepat. Berarti gadis itu cukup cerdas. Puisi yang kukirimkan belum sampai lima menit, balasan sudah dikirimkan. Semakin penasaran hatiku pada gadis Kota Raja tersebut.

Ayah dan ibu harus segera saya beri tahu agar tidak terjadi peristiwa seperti dalam sandiwara radio Tutur Tinular itu. Aku benar-benar takut jika harus bersaing dengan adikku sendiri untuk mendapatkan seorang gadis. Aku bukan takut kalah tetapi takut terjadi pertumpahan darah.

Penajam, 17 Maret 2018

(Diedit 21 April 2024)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun