Mohon tunggu...
sumi yati
sumi yati Mohon Tunggu... Guru

Sastra Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pengabdian Tak Berujung

19 September 2025   14:00 Diperbarui: 19 September 2025   12:35 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siang ini seperti biasa aku berjalan menyusuri gang kecil kampung yang biasa kulewati setiap aku mencari jalan pintas pulang ke rumah. Rimbunnya pagar semak-semak sepanjang gang itu, ditambah  rintik-rintik hujan tak membuat badanku jadi kedinginan atau menggigil. Semuanya tidak kurasa dan tidak terasa. Setumpuk beban yang ada di pikiranku menjadikan  segerombolan rintik hujan tak bisa mengalihkan pandanganku dari indahnya rinai hujan. Hari ini aku sudah bertekad untuk menentukan nasibku. Aku akan bilang sama Simbok bahwa aku akan menyelesaikan masalahku. Masalah yang membuat kepalaku pening berhari-hari dan belum sembuh meski aku sudah meminum obat pereda nyeri. Entah sugestiku atau memang obatnya yang tidak mempan aku tidak tahu. Yang jelas, aku harus putuskan. Aku akan bilang pada Simbok. Hari ini dan akan kunanti senja agar perjalanannya menuju kegelapan malam bisa membantu mengurai  masalahku.


          Aku masih terduduk di pinggir tempat tidurku. Setelah sholat magrib tadi, kubulatkan tekad untuk menghilangkan semua asaku. Asa yang telah kubangun sejak dulu. Tapi aku sadar sesadarnya bahwa asa tak selalu menjadi nyata. Aku harus bangun dari mimpi indahku dan melihat ke dunia nyata. Bahwa inilah keadaanku sebenarnya. Anak seorang buruh tani, bermimpi menjadi seorang dokter. Wuih, cita-citaku terlalu tinggi untuk diraih. Saudara-saudara seperti paklik, bulik, dan bude semua mencemoohku. Mereke semua meremehkan aku dan kondisi keuargaku. Tapi aku tetap melaju. Tak kuhiraukan semua perkataan mereka. Aku masuki perguruan tinggi melalui jalur bidik misi di sebuah perguruan ternama di kota. Aku tersenyum. Waktu itu, dengan sinisnya kubisikkan kata hatiku pada angin yang berkelebat di wajahku. Lihat, akan kutunjukkan bahwa aku mampu. Itu dulu.

Tapi sekarang..bagaimana aku bisa membusungkan dada ini? Jangankan membusungkan dada, untuk berdiri tegak pun aku  sekarang tak mampu. Aku menghela nafas. Pandanganku tertuju pada pintu yang tertutup korden lusuh di depanku. Kudengar, simbok memanggilku. 

            "Nduk, sudah makan?" Simbok masak sayur lombok kesukaanmu ni, lho." Teriak simbok dari arah dapur.

Ah dapur. Apa kata itu tidak terlalu cantik untuk ruangan belakang rumahku? Ruang belakang yang hanya terdiri dari tungku api dari bata yang ditumpuk, beberapa panci yang pantatnya sudah hitam semua, dandang, dan peralatan dapur lainnya yang menumpuk di pojok ruangan. Tak terawat.

            "Belum, Mbok." Aku menjawab malas sembari menuju tempat simbok menyiapkan makan malam untukku dan Simbok.

            "Ya sudah, sini. Ayo bareng Simbok. Simbok sudah sangat lapar. Wah, sayur lombok dicampur tempe bosok, enak tenan nduk." Ujar simbok menawarkan sayur buatannya yang memang aku sangat suka. Andai aku tidak sedang galau begini, segera kuserbu sayur lombok simbok. Tapi kali ini, pikiranku sedang tidak tertuju pada itu. Aku bingung, apakah akan kusampaikan ini kepada simbok. Tapi jika tidak sekarang kapan? Kuberanikan diri untuk menatap simbok.

            "Mbok, aku mau bicara." Ujarku hati-hati.

            "Kamu, ni kenapa to, Nduk? Lha wong mau ngomong aja kok minta izin. Lha mbok ngomong ya ngomong kayak biasanya kamu sama simbokmu ini. Apa simbok ini pejabat, sampai mau omong saja minta izin. Kamu ini aneh-aneh saja kok, Nduk..". Simbok malah terkekeh mendengar aku mau bicara.

            "Mbok, aku serius. Aku mau bicara sama Simbok hal yang sangat penting." Mendengar aku betul-betul serius, akhirnya Simbok menghentikan tawanya.

            "Mau, omong apa? Ayo, bilang aja sama Simbok. Apa kepulanganmu yang mendadak ini sehingga kamu ingin omong serius sama simbok? Simbok  mulai curiga.

            "Iya, Mbok. Kepulanganku ini karena aku ingin bilang sama Simbok. Aku mau berhenti kuliah, mbok. Ucapku lirih.

            "Apa??? Kamu ingin berhenti kuliah, Nduk? Simbok sangat terkejut.

            Aku menunduk. Tak berani aku menatap Simbok.

            "Kenapa kamu ingin berhenti?  Bukankah katamu kamu dapat beasiswa? Sehingga simbok tidak perlu mengeluarkan biaya untuk kuliahmu? Itu, kan yang kamu katakan kepada Simbok 2 tahun lalu? Ini sudah kepalang tanggung, Nduk. Sudah 2 tahun. Apa kamu tidak eman-eman? Katamu, kamu ingin menjadi dokter. Bisa menyembuhkan banyak orang. Bisa menyembuhkan penyakit seperti Bapakmu dulu. Apa kamu tidak ingat?" Simbok mengejar dengan pertanyaan bertubi-tubi.

            "Iya, Mbok. Aku  ingat semua itu. Tapi itu dulu Mbok.", aku mulai terisak.

            "Aku memang dapat beasiswa Mbok. Aku memang tidak membayar kuliah. Tapi kebutuhanku di kota, makanku, biaya kosku, tugas-tugas yang diberikan semua membutuhkan biaya yang sangat menguras energiku, Mbok. Aku sudah berusaha mencari tambahan, tapi ternyata tidak bisa Mbok. Sekolah kedokteran ternyata tidak mudah Mbok. Banyak biaya yang harus dikeluarkan. Sementara biaya siswa yang kuperoleh tidaklah cukup."

            "Ditahun pertama, aku sudah mulai merasakan dengan ini semua, Mbok. Tapi aku bertahan. Uang yang Simbok berikan kepadaku setiap kali panen, habis ludes untuk membayar biaya kosku. Aku puasa senin kamis, agar aku bisa hemat mbok. Tapi ternyata di tahun kedua mau ketiga ini, benteng pertahananku sudah jebol, Mbok. Aku sudah tidak bisa bertahan." Aku terisak-isak. Tangis yang sedari tadi kutahan, akhirnya jebol juga. Mengucurkan air mata yang menganak sungai. Tak tau sampai kapan akan berhenti.

            Simbok memeluk erat tubuhku. Mengelus-elus punggungku.

            "Nduk, sudah...sudah. Kenapa kau baru bilang sama Simbok sekarang? Kenapa tidak dari dulu kamu mengatakan ini sama Simbok?" tanya simbok mengusap air mataku.

            "Kalau masalah biaya, itu memang masalah kita yang dari dulu Nduk. Tapi, apakah kau lupa. Meskipun kita tidak punya uang, apakah kita menjadi gembel seperti orang di jalan-jalan itu, Nduk? Apakah kemudian kita hilang akal dengan berbuat tidak baik, seperti mencuri? Tidak kan, Nduk?"  Aku hanya bisa menggeleng pelan.

            "Nah, itu. Kita yakin bahwa Gusti Allah sugih. Kita meyakini bahwa Gusti akan memberikan rezekinya kepada semua hamba-Nya. Makanya sampai sekarang kita bisa mengatasinya." Kenapa kamu masih ragu?"

            "Simbok menjadi buruh tani, gaji simbok memang tidak seberapa. Tapi simbok yakin, rejeki itu tidak tahu datangnya dari mana. Pasti akan ada jalan yang tidak kita duga datangnya. Yakinlah, itu Nduk."

            "Tapi, Mbok...aku sudah tidak kuat." Aku menyerah, Mbok." Mumpung ini masih tahun ke dua mau ketiga. Besok tahun depan jika aku lulus, masih harus koas. Masih lama mbok perjalananku menjadi seorang dokter. Masih lama. Dan sepertinya aku sudah tidak mampu menerjang gelombang. Kakiku terlalu kecil untuk melompati lubang menganga di tengah jalan Mbok".

            "Apakah kau benar akan menyerah, Nduk?" Simbok bertanya lirih.

"Apakah ada jalan lain, Mbok selain menyerah?"

"Ada, Nduk"

"Tapi, aku tidak melihat jalan itu, Mbok. Aku sudah kalah."

"Nduk, kamu ingat waktu kamu masih kelas 2 SMP? Simbok tidak punya uang untuk sekolahmu. Lalu, apa yang bisa Simbok lakukan waktu itu. Tanpa pikir panjang, akhirnya simbok pinjam uang ke Pak Sugiharto rentenir di desa kita. Simbok dikasih dan bisa membayar sekolahmu. Tapi ingatkah kau juga? Bagaimana Pak Sugih menagih hutang itu? Siang malam Pak Sugih datang ke rumah menagih hutang. Simbok bingung. Simbok banting tulang membantu tetangga entah itu mrithili jagung tetangga, numbuk gaplek, atau yang lainnya. Semua itu Simbok lakukan. Agar segera bisa membayar hutang. Dan kau ingat? Hutangnya toh bisa terbayar kan? Meskipun itu harus dibayar dengan keringat yang diperas siang malam".

Aku terdiam. Ingat betul dengan semua itu. Simbok memang betul-betul berjuang untuk membesarkan dan membiayaiku sekolah. Masih jelas tergambar di pelupuk mataku, keringat yang mengalir deras menghiasi keseharian Simbok. Tak kenal lelah simbok mengerjakan dengan keikhlasan luar biasa. Simbok harus membanting tulang sendiri. Bapak telah  pergi meninggalkan kami sejak aku kelas 5 SD. Bapak meninggal karena kakinya tertancap paku waktu di sawah. Dan kami, tidak punya biaya untuk mengobati Bapak ke kota. Dan akhirnya Bapak meninggalkan kami untuk selama-lamanya. Simboklah akhirnya yang membesarkan aku anak semata wayangnya.

Hatiku meronta. Gusti, apa yang sudah aku lakukan. Sungguh tega aku kepada Simbok. Aku menatap wajah Simbok.

"Nduk, berjuanglah lebih keras lagi. Simbok akan membantu kamu semampu yang simbok bisa. Tapi usaha Simbok akan sia-sia jika kamu menyerah."

"Apakah kau, tidak mau sedikit lagi berjuang, Nduk?" Apakah kau sudah tidak mau berkorban lebih sedikit lagi?"Simbok tegas bertanya padaku.

 

            "Ayo, jawab, Nduk!" Simbok mendesakku.

            Perlahan, kuangkat wajahku..kutatap Simbok jauh ke dalam matanya. Hatiku berdesir. Ada gelora membuncah di dalam dada. Detak jantungku bergemuruh riuh. Akhirnya kujawab pertanyaan Simbok.

            "Ya, Mbok. Aku akan lebih sedikit berjuang lagi. Akan kuraih cita-citaku untuk menjadi seorang dokter. Aku akan membantu masyarakat yang kurang mampu. Aku tidak ingin, kejadian seperti Bapak di desa ini akan terulang lagi. Itu janjiku, Mbok."

            Simbok memelukku erat. Berbisik di telingaku.

            "Jalan ini panjang, Nduk. Pengorbanan adalah sebuah pengabdian yang tanpa ujung. Tanpa batas dan tidak akan berakhir. Jika kamu menemukan lobang di jalan dan bisa melompatinya, maka yakinlah bahwa di depan nanti masih banyak lobang yang akan kau lewati. Asal kau terus berjuang dengan keras, Simbok yakin, kamu akan berhasil, Nduk."

            Aku hanya bisa mengangguk dan membalas pelukan Simbok dengan erat.

***

            "Dok, apakah Bapak bisa disembuhkan? Apakah Bapak bisa sembuh?" tangis anak kecil itu.

            Kupeluk anak itu, kujawab dengan senyuman. Berdoalah. Semoga Bapakmu bisa disembuhkan. Untung segera dibawa ke sini. Yakinlah. Bapakmu akan segera sembuh." Jawabku menguatkan hati anak kecil itu.

            Kupandang langit. Kulihat Bapak dan Simbok tersenyum.

            "Mbok, aku sekarang sudah menjadi seorang dokter. Akan kuingat nasihatmu, bahwa pengabdian itu tanpa ujung, tanpa batas dan tiada akhir. Semoga kalian bahagia di sisi-Nya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun