"Iya, Mbok. Kepulanganku ini karena aku ingin bilang sama Simbok. Aku mau berhenti kuliah, mbok. Ucapku lirih.
      "Apa??? Kamu ingin berhenti kuliah, Nduk? Simbok sangat terkejut.
      Aku menunduk. Tak berani aku menatap Simbok.
      "Kenapa kamu ingin berhenti?  Bukankah katamu kamu dapat beasiswa? Sehingga simbok tidak perlu mengeluarkan biaya untuk kuliahmu? Itu, kan yang kamu katakan kepada Simbok 2 tahun lalu? Ini sudah kepalang tanggung, Nduk. Sudah 2 tahun. Apa kamu tidak eman-eman? Katamu, kamu ingin menjadi dokter. Bisa menyembuhkan banyak orang. Bisa menyembuhkan penyakit seperti Bapakmu dulu. Apa kamu tidak ingat?" Simbok mengejar dengan pertanyaan bertubi-tubi.
      "Iya, Mbok. Aku  ingat semua itu. Tapi itu dulu Mbok.", aku mulai terisak.
      "Aku memang dapat beasiswa Mbok. Aku memang tidak membayar kuliah. Tapi kebutuhanku di kota, makanku, biaya kosku, tugas-tugas yang diberikan semua membutuhkan biaya yang sangat menguras energiku, Mbok. Aku sudah berusaha mencari tambahan, tapi ternyata tidak bisa Mbok. Sekolah kedokteran ternyata tidak mudah Mbok. Banyak biaya yang harus dikeluarkan. Sementara biaya siswa yang kuperoleh tidaklah cukup."
      "Ditahun pertama, aku sudah mulai merasakan dengan ini semua, Mbok. Tapi aku bertahan. Uang yang Simbok berikan kepadaku setiap kali panen, habis ludes untuk membayar biaya kosku. Aku puasa senin kamis, agar aku bisa hemat mbok. Tapi ternyata di tahun kedua mau ketiga ini, benteng pertahananku sudah jebol, Mbok. Aku sudah tidak bisa bertahan." Aku terisak-isak. Tangis yang sedari tadi kutahan, akhirnya jebol juga. Mengucurkan air mata yang menganak sungai. Tak tau sampai kapan akan berhenti.
      Simbok memeluk erat tubuhku. Mengelus-elus punggungku.
      "Nduk, sudah...sudah. Kenapa kau baru bilang sama Simbok sekarang? Kenapa tidak dari dulu kamu mengatakan ini sama Simbok?" tanya simbok mengusap air mataku.
      "Kalau masalah biaya, itu memang masalah kita yang dari dulu Nduk. Tapi, apakah kau lupa. Meskipun kita tidak punya uang, apakah kita menjadi gembel seperti orang di jalan-jalan itu, Nduk? Apakah kemudian kita hilang akal dengan berbuat tidak baik, seperti mencuri? Tidak kan, Nduk?"  Aku hanya bisa menggeleng pelan.
      "Nah, itu. Kita yakin bahwa Gusti Allah sugih. Kita meyakini bahwa Gusti akan memberikan rezekinya kepada semua hamba-Nya. Makanya sampai sekarang kita bisa mengatasinya." Kenapa kamu masih ragu?"