Mohon tunggu...
sumi yati
sumi yati Mohon Tunggu... Guru

Sastra Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pengabdian Tak Berujung

19 September 2025   14:00 Diperbarui: 19 September 2025   12:35 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            "Simbok menjadi buruh tani, gaji simbok memang tidak seberapa. Tapi simbok yakin, rejeki itu tidak tahu datangnya dari mana. Pasti akan ada jalan yang tidak kita duga datangnya. Yakinlah, itu Nduk."

            "Tapi, Mbok...aku sudah tidak kuat." Aku menyerah, Mbok." Mumpung ini masih tahun ke dua mau ketiga. Besok tahun depan jika aku lulus, masih harus koas. Masih lama mbok perjalananku menjadi seorang dokter. Masih lama. Dan sepertinya aku sudah tidak mampu menerjang gelombang. Kakiku terlalu kecil untuk melompati lubang menganga di tengah jalan Mbok".

            "Apakah kau benar akan menyerah, Nduk?" Simbok bertanya lirih.

"Apakah ada jalan lain, Mbok selain menyerah?"

"Ada, Nduk"

"Tapi, aku tidak melihat jalan itu, Mbok. Aku sudah kalah."

"Nduk, kamu ingat waktu kamu masih kelas 2 SMP? Simbok tidak punya uang untuk sekolahmu. Lalu, apa yang bisa Simbok lakukan waktu itu. Tanpa pikir panjang, akhirnya simbok pinjam uang ke Pak Sugiharto rentenir di desa kita. Simbok dikasih dan bisa membayar sekolahmu. Tapi ingatkah kau juga? Bagaimana Pak Sugih menagih hutang itu? Siang malam Pak Sugih datang ke rumah menagih hutang. Simbok bingung. Simbok banting tulang membantu tetangga entah itu mrithili jagung tetangga, numbuk gaplek, atau yang lainnya. Semua itu Simbok lakukan. Agar segera bisa membayar hutang. Dan kau ingat? Hutangnya toh bisa terbayar kan? Meskipun itu harus dibayar dengan keringat yang diperas siang malam".

Aku terdiam. Ingat betul dengan semua itu. Simbok memang betul-betul berjuang untuk membesarkan dan membiayaiku sekolah. Masih jelas tergambar di pelupuk mataku, keringat yang mengalir deras menghiasi keseharian Simbok. Tak kenal lelah simbok mengerjakan dengan keikhlasan luar biasa. Simbok harus membanting tulang sendiri. Bapak telah  pergi meninggalkan kami sejak aku kelas 5 SD. Bapak meninggal karena kakinya tertancap paku waktu di sawah. Dan kami, tidak punya biaya untuk mengobati Bapak ke kota. Dan akhirnya Bapak meninggalkan kami untuk selama-lamanya. Simboklah akhirnya yang membesarkan aku anak semata wayangnya.

Hatiku meronta. Gusti, apa yang sudah aku lakukan. Sungguh tega aku kepada Simbok. Aku menatap wajah Simbok.

"Nduk, berjuanglah lebih keras lagi. Simbok akan membantu kamu semampu yang simbok bisa. Tapi usaha Simbok akan sia-sia jika kamu menyerah."

"Apakah kau, tidak mau sedikit lagi berjuang, Nduk?" Apakah kau sudah tidak mau berkorban lebih sedikit lagi?"Simbok tegas bertanya padaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun