Mohon tunggu...
Sultani
Sultani Mohon Tunggu... Pemerhati Isu-isu Pangan Lokal, mantan Peneliti Litbang Kompas

Senang menulis isu-isu pangan, lingkungan, politik dan sosbud kontemporer.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Narasi dan Orkestrasi Demonstrasi

31 Agustus 2025   19:25 Diperbarui: 31 Agustus 2025   22:38 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi massa demonstran berhadapan dengan aparat keamanan (Sumber: Tirto.id)

Amuk massa selalu memikat karena tampak murni: sebuah letupan kolektif yang tak terbendung. Namun, di era informasi ini, tak ada yang sepenuhnya polos. Kemarahan bisa diatur ritmenya, seperti orkestra yang menunggu aba-aba konduktor. Desain narasi bekerja halus, memberi arah, memperbesar gema, bahkan menentukan siapa yang jadi pahlawan dan siapa yang dituding sebagai biang kerok. Pertanyaannya: apakah massa benar-benar sedang bersuara, atau hanya sedang menghidupi narasi orang lain?

Setelah gegap gempita perayaan HUT RI ke-80, jalanan kota besar kembali riuh oleh gelombang massa. Spanduk, teriakan, dan wajah-wajah yang murka seolah menegaskan bahwa euforia kemerdekaan belum menyentuh rasa merdeka di perut rakyat. Kenyataan ini mematahkan pidato kenegaraan penuh optimisme yang terdengar di berbagai podium. Sebaliknya, di balik podium perayaan kemerdekaan itu ada kenyataan lain: kemerdekaan yang kita rayakan masih sebatas fisik, sementara pikiran rakyat kerap dikuasai oleh narasi yang disetir. Sehingga di balik teriakan yang menyertai amuk massa  ada sesuatu yang lebih dingin dan terukur: desain narasi yang ditata rapi, menunggu amarah rakyat sebagai bahan bakar. Inilah paradoks negeri merdeka: di satu sisi, ada ledakan spontanitas yang jujur dari rakyat kecil, dan di sisi lain, ada kalkulasi politik yang menjadikan kerumunan sebagai panggung untuk mengerek keuntungan.

Baca juga:

Habis Merdeka Muncullah Amuk

Narasi di Ruang Publik 

Amuk massa jarang benar-benar lahir dari ruang hampa. Ada yang berteriak karena lapar, ada yang marah karena tersulut, tapi sering kali ada pula tangan-tangan tak terlihat yang sibuk merajut narasi di belakang layar. Demonstrasi yang tampak spontan bisa saja sudah lama dipetakan: siapa yang menyalakan isu, siapa yang menebar gambar, siapa yang mengatur ritme. Massa bergerak dengan emosi, sementara narasi bergerak di dalam kepala.

Dari jalan raya hingga linimasa, amarah rakyat bisa dikemas seperti konten: diberi judul, disisipi efek dramatis, lalu dipasarkan ke publik. Kondisi ini membuat masyarakat sering terjebak pada persepsi, bukan realitas. Banyak orang merasa sudah cukup tahu hanya dari headline, meme, atau potongan video berdurasi satu menit. Amuk massa jadi tontonan yang didesain oleh sutradara narasi. Ruang berpikir kritis rakyat pun terus menyempit di hadapan agenda tersembunyi para penunggang narasi.

Pengendalian narasi adalah senjata utama yang sudah digunakan sejak dulu. Belanda menjajah bangsa kita dengan narasi bahwa rakyat Nusantara "tidak mampu mengurus diri sendiri". Kini, pengendalian narasi hadir dalam bentuk lebih halus: pemberitaan yang disusun sepihak, algoritma media sosial yang menonjolkan konten tertentu, hingga politik identitas yang dikemas dalam bahasa moralitas. Kolonialisme informasi menggantikan kolonialisme militer.

Baca juga:

Kemerdekaan Digital: Antara Peluang Emas dan Kolonialisme Siber

Narasi yang menyesatkan sangat bisa memecah masyarakat menjadi kelompok yang percaya penuh dengan narasi resmi pemerintah, dengan kelompok yang meyakini kebenaran yang dibentuk dari potongan informasi di media alternatif atau platform digital. Fragmentasi sosial ini melahirkan jurang kepercayaan yang dalam: bukan hanya antara rakyat dan negara, tapi juga antarwarga sendiri.

Maka pertanyaan reflektif perlu diajukan: jika kita sudah 80 tahun merdeka secara fisik, mengapa narasi kebangsaan kita masih bisa dikendalikan oleh kepentingan yang memperlemah kesatuan?

Spontanitas Massa vs Desain Provokatif

Ilustrasi kekerasan massa dalam demonstrasi (Sumber: aktualitas.id)
Ilustrasi kekerasan massa dalam demonstrasi (Sumber: aktualitas.id)

Fenomena demonstrasi setelah peringatan kemerdekaan ke-80 memperlihatkan dua wajah yang kontras: spontanitas rakyat dan desain provokatif. Sebagian orang turun ke jalan karena benar-benar marah karena ketidakadilan yang terasa di sekitar mereka. Amarah itu nyata, lahir dari luka sehari-hari.

Namun, di sisi lain, terdapat pola yang terlalu rapi untuk disebut spontan. Narasi tertentu muncul berulang di berbagai spanduk, video seragam beredar di media sosial, dan influencer politik tiba-tiba aktif menyuarakan pesan yang senada. Sulit untuk tidak mencurigai adanya desain provokatif yang menunggangi spontanitas rakyat.

Perbedaan motif ini memperlihatkan kerentanan demokrasi. Rakyat bergerak karena keresahan otentik, sementara elit politik memanfaatkannya untuk agenda jangka pendek. Bagi rakyat, jalanan adalah ruang ekspresi. Bagi elit, jalanan adalah panggung pencitraan.

Dampaknya, aspirasi asli masyarakat kerap terseret dalam pusaran kepentingan. Tuntutan membubarkan DPR berubah menjadi jargon pergantian rezim. Suara massa terkubur oleh teriakan orator bayangan. Aksi yang semula berangkat dari hati rakyat justru berubah menjadi alat legitimasi elit.

Kita lalu berhadapan dengan dilema: bagaimana cara membedakan suara yang benar-benar lahir dari kegelisahan rakyat, dan suara yang diarahkan oleh mereka yang sekadar mencari panggung politik?

Kesenjangan Informasi di Era Digital

Ilustrasi massa menghindari gas air mata yang dilepas oleh aparat keamanan (Sumber: tvonenews.com)
Ilustrasi massa menghindari gas air mata yang dilepas oleh aparat keamanan (Sumber: tvonenews.com)

Era digital yang kita banggakan ternyata menyisakan kesenjangan besar. Warga di kota-kota besar memiliki akses langsung ke data resmi, klarifikasi pemerintah, bahkan kanal komunikasi yang lebih terbuka. Mereka bisa menonton konferensi pers secara live, membaca laporan kebijakan, atau mengakses jurnalisme investigatif.

Sebaliknya, masyarakat di daerah banyak yang hanya menerima informasi melalui potongan video, caption singkat di media sosial, atau pesan berantai di WhatsApp. Informasi yang sudah terdistorsi itu kerap menjadi "sumber kebenaran" yang sulit dipatahkan. Infrastruktur digital yang timpang memperparah masalah: jaringan lambat, kuota mahal, dan literasi rendah membuat informasi resmi sulit menjangkau mereka.

Situasi ini menciptakan dua realitas. Di kota, narasi yang berkembang masih bisa ditopang data meski dengan bias tertentu. Di desa atau daerah pinggiran, narasi lebih banyak bergantung pada emosi dan potongan cerita. Akibatnya, masyarakat tidak lagi berbicara dalam bahasa fakta yang sama.

Baca juga:

Dari Medan Tempur ke Medan Digital: Evolusi Nasionalisme Anak Muda Indonesia

Kesenjangan ini menjadi lahan subur bagi provokator. Potongan video tanpa konteks bisa lebih meyakinkan daripada laporan resmi setebal seratus halaman. Satu gambar dramatis bisa lebih dipercaya daripada data statistik. Informasi tidak lagi dinilai dari akurasi, melainkan dari daya guncangnya terhadap emosi.

Inilah ironi era digital: teknologi yang seharusnya menyatukan bangsa justru memperbesar jurang informasi yang membuat masyarakat semakin mudah dipecah-belah.

Perang Narasi: Dari Istana ke Grup WhatsApp

Dalam situasi ini, perang narasi tak terhindarkan. Dari Istana, pemerintah berusaha menegakkan legitimasi melalui konferensi pers, pidato resmi, dan simbol-simbol kebangsaan. Di sisi lain, oposisi menggelar panggung jalanan, memanfaatkan momentum demo untuk menguatkan citra sebagai pembela rakyat. Dua narasi besar ini beradu sengit, saling meniadakan.

Media mainstream ikut masuk gelanggang. Ada yang menyorot kerusuhan dan kerugian materiil, sehingga publik melihat demo sebagai ancaman ketertiban. Ada pula yang menyorot sisi penderitaan rakyat, memberi wajah manusiawi pada aksi. Perbedaan framing ini memperluas kebingungan publik: versi mana yang benar?

Medsos menambah keruwetan. Potongan video 15 detik dengan caption bombastis menyebar lebih cepat daripada klarifikasi resmi. Meme, hashtag, dan thread panjang lebih membentuk opini publik daripada laporan investigatif. Di ruang digital, persepsi sering kali lebih kuat daripada fakta.

Yang paling berbahaya justru ada di grup WhatsApp keluarga atau komunitas kecil. Di sana, pesan provokatif lebih mudah dipercaya karena dibagikan oleh orang terdekat. Tanpa verifikasi, satu rumor bisa menjelma menjadi "kebenaran lokal" yang memengaruhi sikap banyak orang.

Perang narasi ini memperlihatkan betapa rapuhnya ekosistem informasi kita. Pertarungan bukan lagi soal siapa yang benar, melainkan siapa yang paling cepat dan paling emosional dalam menyebarkan pesan.

Baca juga:

Kepeloporan Anak Muda dalam Narasi Perjuangan Bangsa Indonesia

Penutup

Delapan puluh tahun merdeka, namun bangsa ini masih bertarung melawan penjajahan narasi. Kedaulatan fisik memang sudah diraih, tapi kedaulatan berpikir masih rapuh. Rakyat masih terlalu mudah diombang-ambingkan oleh provokasi, framing, dan manipulasi informasi.

Jika bangsa ini ingin benar-benar merdeka, literasi informasi harus menjadi prioritas. Masyarakat perlu diajarkan membedakan mana fakta dan mana propaganda, mana narasi yang tulus lahir dari rakyat dan mana yang sekadar permainan politik. Tanpa itu, demokrasi hanya akan menjadi panggung polarisasi tanpa arah.

Pertanyaan besar pun menggantung: apakah kita ingin berhenti pada kemerdekaan simbolis, ataukah berani melangkah menuju kemerdekaan yang sejati---yakni kebebasan berpikir, memilah, dan menentukan jalan hidup bangsa dengan kesadaran penuh?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun