Era digital yang kita banggakan ternyata menyisakan kesenjangan besar. Warga di kota-kota besar memiliki akses langsung ke data resmi, klarifikasi pemerintah, bahkan kanal komunikasi yang lebih terbuka. Mereka bisa menonton konferensi pers secara live, membaca laporan kebijakan, atau mengakses jurnalisme investigatif.
Sebaliknya, masyarakat di daerah banyak yang hanya menerima informasi melalui potongan video, caption singkat di media sosial, atau pesan berantai di WhatsApp. Informasi yang sudah terdistorsi itu kerap menjadi "sumber kebenaran" yang sulit dipatahkan. Infrastruktur digital yang timpang memperparah masalah: jaringan lambat, kuota mahal, dan literasi rendah membuat informasi resmi sulit menjangkau mereka.
Situasi ini menciptakan dua realitas. Di kota, narasi yang berkembang masih bisa ditopang data meski dengan bias tertentu. Di desa atau daerah pinggiran, narasi lebih banyak bergantung pada emosi dan potongan cerita. Akibatnya, masyarakat tidak lagi berbicara dalam bahasa fakta yang sama.
Baca juga:
Dari Medan Tempur ke Medan Digital: Evolusi Nasionalisme Anak Muda Indonesia
Kesenjangan ini menjadi lahan subur bagi provokator. Potongan video tanpa konteks bisa lebih meyakinkan daripada laporan resmi setebal seratus halaman. Satu gambar dramatis bisa lebih dipercaya daripada data statistik. Informasi tidak lagi dinilai dari akurasi, melainkan dari daya guncangnya terhadap emosi.
Inilah ironi era digital: teknologi yang seharusnya menyatukan bangsa justru memperbesar jurang informasi yang membuat masyarakat semakin mudah dipecah-belah.
Perang Narasi: Dari Istana ke Grup WhatsApp
Dalam situasi ini, perang narasi tak terhindarkan. Dari Istana, pemerintah berusaha menegakkan legitimasi melalui konferensi pers, pidato resmi, dan simbol-simbol kebangsaan. Di sisi lain, oposisi menggelar panggung jalanan, memanfaatkan momentum demo untuk menguatkan citra sebagai pembela rakyat. Dua narasi besar ini beradu sengit, saling meniadakan.
Media mainstream ikut masuk gelanggang. Ada yang menyorot kerusuhan dan kerugian materiil, sehingga publik melihat demo sebagai ancaman ketertiban. Ada pula yang menyorot sisi penderitaan rakyat, memberi wajah manusiawi pada aksi. Perbedaan framing ini memperluas kebingungan publik: versi mana yang benar?
Medsos menambah keruwetan. Potongan video 15 detik dengan caption bombastis menyebar lebih cepat daripada klarifikasi resmi. Meme, hashtag, dan thread panjang lebih membentuk opini publik daripada laporan investigatif. Di ruang digital, persepsi sering kali lebih kuat daripada fakta.