Dalam sebuah wawancara pada Juni 2025, Bupati Sudewo berkata santai, “Kalau tidak setuju, silakan demo. Kita lihat siapa yang berani dan berapa jumlahnya.” Bahkan, dengan santainya dia juga menyatakan tidak masalah jika ada lima ribu, bahkan lima puluh ribu orang yang mau berdemonstrasi menentang kebijakannya. Pernyataan ini direkam, dipotong, lalu menyebar cepat di media sosial. Walhasil, pernyataan ini lalu menyulut kemarahan warga Pati secara masif. Bagi warga, ini bukan sekadar komunikasi yang buruk, melainkan penghinaan. Pernyataan Sudewo bukan suara pemimpin, melainkan suara orang yang meremehkan rakyat.
Ucapan ini pun segera dijadikan simbol arogansi kekuasaan. Meme dan poster dengan wajah Sudewo bertebaran di media sosial, diberi teks tantangan yang ia lontarkan. Narasi perlawanan pun bergeser: ini bukan lagi sekadar protes kebijakan pajak, tetapi juga pertarungan moral antara rakyat yang menuntut martabat dan pemimpin yang dianggap congkak. Tantangan bupati terhadap rakyatnya sendiri ini menggambarkan penghinaan langsung terhadap aspirasi rakyat sekaligus tidak takut kehilangan dukungan rakyat.
Sikap Sudewo terhadap rakyatnya ini menggambarkan hilangnya sensitivitas politik antara percaya diri dan arogan. Dalam politik, keduanya hanya dibatasi oleh garis tipis, di mana Sudewo telah melangkahinya. Di ruang publik, banyak warga menafsirkan komentarnya sebagai bentuk pengabaian terhadap mekanisme demokratis--di mana demonstrasi seharusnya menjadi sinyal yang diperhatikan, bukan tantangan yang diterima dengan congkak. Para tokoh masyarakat, aktivis LSM, dan pemuka agama mulai mengeluarkan pernyataan yang mengkritik keras gaya komunikasi sang bupati.
Secara sosiologis, pernyataan semacam ini berfungsi sebagai "pembingkai" narasi oposisi. Ia memudahkan para penggerak aksi untuk mengidentifikasi Sudewo sebagai simbol arogansi kekuasaan. Narasi ini lalu menjadi bahan orasi, meme politik, dan poster protes. Dalam beberapa minggu, citra bupati bergeser drastis: dari pemimpin daerah menjadi musuh publik. Kepercayaan yang selama ini menopang posisinya mulai runtuh, tak lagi karena kebijakan tunggal, tetapi karena sikap yang dianggap meremehkan harga diri warga.
Dalam ranah psikologi politik, tantangan terbuka kepada rakyat jarang berakhir baik bagi pemimpin. Sejarah Indonesia mencatat bahwa ketika pemimpin meremehkan kekuatan massa, mereka justru memantik mobilisasi yang lebih besar. Pernyataan Sudewo menjadi titik balik: gerakan yang awalnya berbasis ekonomi kini memiliki landasan moral dan simbolik. Kini, rakyat menuntut pembatalan kebijakan sekaligus pemulihan martabat yang mereka rasa diinjak.
Benang-benang protes lalu terjalin semakin rapat. Warga desa dan kota, pedagang dan petani, mahasiswa dan aktivis, mulai berbicara dalam satu bahasa: Sudewo harus dihadapi. Mereka tidak lagi sekadar menunggu tetapi bersiap membangun panggung konfrontasi terbuka.
Warga Bangkit: Dari Bisik-Bisik ke Gerakan Terbuka
Akhir Juni 2025, di sebuah rumah makan sederhana di pinggiran kota, pertemuan penting berlangsung. Di situ hadir petani, pedagang, mahasiswa, dan tokoh LSM. Mereka sepakat membentuk Aliansi Masyarakat Pati Bersatu (AMPB) sebagai wadah perlawanan resmi. Strateginya jelas: memperluas basis massa, membangun narasi perlawanan di media sosial, dan mempersiapkan aksi besar dengan tujuan politik yang jelas. Selepas itu, kampanye pun mulai gencar dengan video pendek berisi testimoni warga korban kebijakan pajak yang diunggah setiap hari. Poster bertema “Lawan Arogansi” ditempel di tembok-tembok kota. Warga desa mulai menggelar diskusi terbuka usai salat Maghrib.
Perlawanan warga mulai menemukan bentuk. Di gang-gang sempit Pasar Pati, obrolan pedagang tak lagi hanya soal harga bawang dan cabai, tapi soal rencana aksi. Di warung kopi desa, petani yang biasanya membicarakan cuaca kini membicarakan strategi mengajak tetangga ikut protes. Simbol perlawanan mulai bermunculan—stiker bertuliskan “Pati Melawan” ditempel di motor, baliho dengan gambar Pendopo disilang cat merah, dan kaos hitam bertuliskan “Kami Tidak Diam”.