Mohon tunggu...
Sultani
Sultani Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Lepas

Senang menulis kreatif berbasis data

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Problem Ambang Batas Parlemen dalam Sistem Pemilu Proporsional

2 Maret 2024   22:04 Diperbarui: 23 Maret 2024   11:40 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Suasana Sidang di Mahkamah Konstitusi. (Foto: KOMPAS)

Akhirnya Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk menghapus penggunaan ambang batas parlemen atau Parliamentary Threshold (PT) 4 persen pada Pemilu 2029. 

Alasannya, Mahkamah tidak menemukan dasar metode dan argumen yang memadai dalam menentukan besaran angka atau persentase ambang batas parlemen 4 persen tersebut. 

Selain itu, Mahkamah juga tidak menemukan dasar rasionalitas dalam penetapan besaran angka atau persentase paling sedikit 4 persen yang dimaksud dilakukan dengan metode dan argumen penghitungan atau rasionalitas yang jelas.

Putusan MK ini merupakan jawaban atas judicial review --dengan nomor perkara 116/PUU-XXI/2023 -- yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). 

Dalam perkara ini Perludem menyatakan bahwa ambang batas parlemen 4 persen sebagaimana tercantum dalam Pasal 414 UU Pemilu Tahun 2017 bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. 

Selain itu, aturan tersebut juga menyebabkan hilangnya suara rakyat yang tidak terkonversi menjadi kursi DPR (Pikiranrakyat.com, MK: Ambang Batas Parlemen 4 Persen Harus Diubah sebelum Pemilu 2029, 29/2/2024).

Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu yang menjadi materi gugatan Perludem berbunyi: "Partai politik peserta pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 4 persen dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR".

Atas dasar tersebut, MK memerintahkan agar ambang batas parlemen 4 persen harus diubah supaya dapat berlaku pada Pemilu 2029, dan harus sudah selesai sebelum dimulainya tahapan penyelenggaraan Pemilu 2029. 

Putusan MK ini sendiri tidak berdampak pada Pemilu 2024 yang telah rampung dilaksanakan. Artinya, PT 4 persen tetap digunakan di Pemilu 2024 sebagai instrumen untuk menyeleksi partai politik yang lolos ke DPR dan Pemilu 2029.

Sumber: BBC.com
Sumber: BBC.com

Persoalan ambang batas dalam pemilu ini sebetulnya sudah menjadi polemik sejak lama karena tidak efektif dalam menyederhanakan partai politik. 

Alih-alih mengurangi partai, nilai ambang batas yang digunakan sebagai dasar seleksi tidak mampu menghambat jumlah parpol dalam pemilu. Nilai ambang batas yang terus meningkat justru menyebabkan semakin banyak hilangnya suara rakyat yang tidak terkonversi menjadi kursi DPR.

Esensi Ambang Batas

Konsep ambang batas perwakilan atau threshold sangat berkaitan dengan sistem pemilu proporsional karena digunakan untuk melihat tingkat kompetisi partai politik dalam memperebutkan kursi di daerah pemilihan. Konsep itu menghubungkan jumlah kursi

daerah pemilihan atau besaran daerah pemilihan (district magnitude) dengan formula alokasi kursi (Supriyanto, 2011).

Besaran daerah pemilihan dalam sistem pemilu proporsional berbeda-beda, mulai dari 2 hingga sebesar jumlah kursi parlemen. Formula alokasi kursi ditentukan secara proporsional, artinya perolehan kursi partai politik di setiap daerah pemilihan sesuai dengan perolehan suaranya. 

Dalam sistem pemilu proporsional, besaran daerah pemilihan dan formula alokasi kursi punya kaitan erat dengan tingkat kompetisi partai politik dalam memperebutkan kursi di daerah pemilihan yang bersangkutan.

Di sinilah istilah threshold atau angka ambang batas mendapatkan kursi digunakan. Angka ambang batas mengacu pada jumlah suara minimal yang harus diperoleh partai politik untuk mendapatkan kursi yang ada di daerah pemilihan tersebut. Ambang batas merupakan salah satu variabel penting dari sistem pemilu yang berdampak langsung kepada proses konversi suara menjadi kursi secara proporsional.

Sumber: Rumahpemilu.org
Sumber: Rumahpemilu.org

Indonesia sebagai penganut sistem pemilu proporsional sudah menerapkan konsep threshold sejak Pemilu 1999 hingga pemilu  tahun 2024. Indonesia sendiri sudah menerapkan 2 model ambang batas perwakilan dengan sasaran untuk menyederhanakan jumlah partai peserta pemilu.

Model ambang batas pertama adalah ambang batas pemilu (electoral threshold/ET) yang diterapkan pada Pemilu 1999, Pemilu 2004, dan Pemilu 2009. Electoral Threshold adalah ambang batas perolehan kursi parpol agar dapat mengikuti pemilu berikutnya.

Model kedua adalah ambang batas parlemen (parliamentary threshold/PT) yang diterapkan pada Pemilu 2014, Pemilu 2019, dan Pemilu 2024. Parliamentary Threshold adalah ambang batas perolehan kursi suatu partai politik agar dapat mengikuti pemilu berikutnya.

Dalam praktiknya, angka ambang batas selalu menjadi problem dari pemilu ke pemilu sehingga harapan terhadap penyederhanaan parpol peserta pemilu tidak pernah terwujud. 

Persoalan utama yang menjadi problem dari penerapan nilai ambang batas perwakilan selama ini adalah tidak adanya pijakan metode atau argumen yang memadai dalam menentukan besaran angka atau persentasenya.

Problem inilah yang membuat nilai ambang batas perwakilan dalam sistem pemilu Indonesia hasilnya selalu  tidak proporsional meskipun menganut sistem pemilu proporsional. Indikasi utama dari fenomena tersebut adalah  persentase suara yang diperoleh partai politik tidak selaras dengan persentase perolehan kursi di parlemen (mkri.id, Perludem Perbaiki Permohonan Uji Ambang Batas Parlemen, 17/10/2023).

Meski demikian, mekanisme ambang batas perwakilan dalam pemilu tetap perlu ada karena sudah lazim dalam sistem pemilu proporsional. 

Tujuan penerapan ambang batas adalah untuk  memangkas jumlah partai politik peserta pemilu. Prinsip penentuan angka atau persentase ambang batas yang perlu disempurnakan sehingga memiliki pijakan akademis yang kuat.

Untuk menentukan nilai ambang batas yang benar-benar proporsional penghitungannya harus dilakukan dengan metode yang paling rasional. Ambang batas perlu dirumuskan dengan formula yang betul-betul terbuka dan transparan agar selaras dengan asas pemilu yang jujur dan adil. 

Untuk itu, perumusan ambang batas harus dilakukan dengan basis akademik yang jelas, dan bisa diverifikasi untuk memastikan tidak adanya suara pemilih terbuang dalam jumlah yang banyak.

Electoral Threshold

Motif pemberlakuan nilai ambang batas pemilu pada Pemilu 1999 adalah menyederhanakan jumlah partai peserta pemilu berikutnya yakni Pemilu 2004. Pemberlakuan ET sejak pemilu pertama era reformasi ini sudah menjadi isu krusial mengingat jumlah parpol yang ikut serta dalam pesta demokrasi tersebut jumlahnya cukup fantastis yaitu 48 partai.

Nilai ambang batas yang ditetapkan saat itu besarnya 2 persen. Artinya, partai peserta Pemilu 1999 dapat menjadi peserta Pemilu 2004 apabila memiliki sedikitnya 2 persen kursi DPR, atau sedikitnya 3 persen kursi DPRD provinsi atau DPRD kabupaten/kota, yang tersebar pada separuh provinsi dan separuh kabupaten/kota.

Dengan ET 2 persen, dari 48 parpol peserta Pemilu 1999 hanya 6  partai yang berhasil memenuhi electoral threshold untuk mengikuti pemilu Pemilu 2004, yakni PDI Perjuangan (33,12 persen), Partai Golkar (25,97 persen), PPP (12,55 persen), PKB (11,04 persen), PAN (7,36 persen), dan PBB (2,81 persen). 

Ke-6 partai ini telah memenuhi proporsi perolehan kursi DPR minimal 2 persen dan lolos tanpa syarat menjadi peserta Pemilu 2004. Sementara partai yang berhasil mengonversi suara pemilihnya menjadi kursi DPR sebanyak 21 parpol.

Sumber: Tirto.id
Sumber: Tirto.id

Seleksi parpol dengan ambang batas pemilu 2 persen tersebut merupakan instrumen yang sudah ditetapkan dengan UU Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum. 

Atas dasar UU ini, hanya parpol yang memenuhi syarat jumlah kursi di DPR yang berhak otomatis menjadi peserta Pemilu 2004. Sebaliknya, parpol yang tidak memenuhi ambang batas pemilu  tidak dapat mengikuti Pemilu 2004 kecuali memenuhi syarat tambahan. 

UU Pemilu Tahun 1999 menyebutkan, parpol yang tidak lolos electoral threshold Pemilu 1999 tidak boleh ikut dalam Pemilu 2004 kecuali bergabung dengan partai politik lain.

Pemilu 2004 yang dilaksanakan pada 5 April 2004, masih menggunakan ambang batas pemilu sebagai instrumen penyederhanaan partai untuk pemilu berikutnya. 

Pemilu ini dilaksanakan di bawah ketentuan pemilihan baru yang tercantum dalam undang-undang baru yakni UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

UU ini telah meloloskan 6 partai yang memenuhi ET 2 persen pada Pemilu 1999. Untuk parpol yang gagal memenuhi ambang batas tersebut dinyatakan gugur, kecuali bisa memenuhi syarat yang ditentukan dalam Pasal 143. 

Syarat tersebut adalah:  Bergabung dengan parpol peserta Pemilu 1999 yang memenuhi syarat; bergabung dengan partai politik lain yang tidak memenuhi ketentuan dengan menggunakan nama dan tanda gambar salah satu partai politik yang bergabung; atau bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan dengan menggunakan nama dan tanda gambar baru. 

Selain itu, parpol-parpol hasil fusi ini juga harus memenuhi ketentuan administratif yang meliputi pengakuan, jangkauan kepengurusan, anggota, kantor, hingga nama dan tanda gambar.

UU Pemilu Tahun 2004 mengatur mengatur electoral threshold untuk Pemilu 2009 sebesar 3 persen. Partai politik harus memperoleh minimal 3 persen kursi DPR untuk lolos pada Pemilu 2009. 

Selain itu, partai juga harus memperoleh sekurangnya 4 persen kursi DPRD provinsi yang tersebar di setengah jumlah provinsi di seluruh Indonesia atau memperoleh sekurangnya 4 persen jumlah kursi DPRD kabupaten/kota yang tersebar di setengah jumlah kabupaten/kota di Indonesia.

Dari 24 parpol peserta Pemilu 2004 hanya 7 partai yang memenuhi electoral threshold untuk Pemilu 2009, yakni Golkar (23,09 persen), PDIP (19,82 persen), PPP (10,55 persen), Demokrat (10,18 persen), PAN (9,64 persen), PKB (9,45 persen), dan PKS (8,18persen). Sementara partai yang lolos ke DPR sebanyak 17 parpol.

Pemilu 2009 masih menggunakan aturan electoral threshold bawaan Pemilu 2004 dengan tambahan ketentuan yang tercantum dalam UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 

UU ini membolehkan parpol yang tidak memenuhi electoral threshold untuk ikut Pemilu 2009 asalkan memiliki kursi DPR hasil pemilu sebelumnya.

Dengan ketentuan ini,  9 parpol yang memiliki kursi DPR hasil Pemilu 2004 secara otomatis menjadi peserta Pemilu 2009. Kesembilan parpol tersebut adalah PBR (2,55 persen), PDS (2,36 persen), PBB (2 persen), PPDK (0,73 persen), Partai Pelopor (0,55 persen), PKPB (0,36 persen), PKPI (0,18 persen), PNI Marhaenisme (0,18 persen), dan PPDI (0,18 persen).

Partai-partai yang tidak lolos electoral threshold dan tidak memiliki kursi di DPR masih berpeluang menjadi peserta pemilu 2009 asalkan bisa memenuhi syarat yang ditentukan oleh UU Pemilu yang baru. 

Partai-partai tersebut harus bergabung dengan parpol yang lolos ET,  atau bergabung dengan parpol yang tidak memenuhi ET dan selanjutnya menggunakan nama dan tanda gambar salah satu parpol sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi, atau bergabung dengan parpol yang tidak memenuhi electoral threshold dan membentuk parpol baru dengan nama dan tanda gambar baru sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi.

Komposisi peserta Pemilu 2009 pun berubah dari 7 parpol yang lolos ET 3 persen, ditambah dengan 9 parpol yang memiliki kursi di DPR hasil Pemilu 2004, dan partai-partai yang difusi untuk memenuhi jumlah kursi sebanyak 22 parpol. 

Jumlah akhir peserta Pemilu 2009 menggambarkan konfigurasi politik yang ditentukan oleh UU Pemilu 2008 sehingga jumlahnya mencapai 38 partai.

Parliamentary Threshold

Pada Pemilu 2009, aturan ambang batas pemilu atau electoral threshold tidak lagi digunakan sebagai syarat untuk menjadi peserta Pemilu 2014 karena dinilai tidak efektif mengurangi jumlah parpol pada Pemilu 2004 dan 2009. 

Sebagai ganti,  muncullah ambang batas parlemen atau parliamentary threshold. Ambang batas parlemen merupakan syarat minimal persentase perolehan suara partai politik dari total suara sah untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi di DPR.

Ketentuan baru tentang ambang batas ini diterapkan dalam rangka penyederhanaan partai politik setelah aturan ambang batas pemilu (electoral threshold) dianggap tidak efektif. Berbeda dengan ET yang menggunakan basis perhitungan kursi, PT dihitung berdasarkan jumlah suara sah nasional yang diraih partai.

Ambang batas parlemen pertama yang diterapkan dalam Pemilu 2009 adalah 2,5 persen. Nilai tersebut bertambah menjadi 3,5 persen pada Pemilu 2014 dan menjadi 4 persen pada Pemilu 2019. Kenaikan nilai tersebut diharapkan dapat semakin menyaring jumlah partai yang masuk ke Senayan.

Ternyata PT tidak efektif dalam menyederhanakan jumlah partai politik di DPR meskipun nilainya terus diubah dari pemilu ke pemilu. Peningkatan nilai PT di tiap-tiap pemilu ternyata tidak bisa mengurangi jumlah partai yang mendapat kursi di parlemen. 

Pemilu 2009 dengan PT 2,5 persen terdapat 9 partai yang lolos ke DPR; Pemilu 2014 dengan PT 3,5 persen partai yang lolos ke DPR sebanyak 10 parpol; Pemilu 2019 dengan PT 4 persen masih ada 9 partai yang lolos ke DPR.

Sumber: Beritasatu.com
Sumber: Beritasatu.com

Alasan tidak efektifnya PT dalam menyederhanakan partai adalah angka PT yang ditetapkan oleh para penyusun undang-undang selama ini tidak memiliki alasan atau landasan rasional yang kuat dalam menentukan besaran angka tersebut. Nilai ambang batas tersebut lahir bukan dari hasil kajian akademis tetapi karena kentalnya permainan politik partai yang sarat dengan kepentingan pribadi. 

Alih-alih menyederhanakan partai, besaran PT yang selalu meningkat justru semakin meningkatkan suara terbuang dan menyebabkan hasil pemilu tidak proporsional

Tingginya PT selama ini berpotensi melanggar hak asasi caleg yang memperoleh suara tinggi tetapi tidak bisa lolos karena partainya secara nasional tidak memenuhi ambang batas parlemen. 

Selain itu, ambang batas parlemen yang terlalu tinggi juga menghilangkan esensi kedaulatan rakyat itu sendiri karena suara yang diberikan kepada caleg menjadi sia-sia (CNN Indonesia.com, Kerap Digugat & Berubah, Apakah Ambang Batas Parlemen Perlu Ada? 1/3/2024).

Tujuan PT sebagai instrumen pengurangan jumlah parpol di parlemen dalam rangka menyederhanakan sistem kepartaian tidak pernah tercapai sejak Pemilu 2009 hingga sekarang. Kondisi politik yang stabil yang selalu menjadi wacanan di balik perubahan nilai PT mencerminkan tidak adanya alasan rasional dalam menentukan besaran angka tersebut.

Akibatnya, PT gagal menyederhanakan partai sekaligus membuat suara terbuang semakin banyak sehingga hasil pemilu menjadi tidak proporsional.

Problem Parliamentary Threshold

Ketentuan parliamentary threshold sebesar 4 persen suara sah nasional yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, dinyatakan MK tidak sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat, keadilan pemilu, dan melanggar kepastian hukum yang dijamin oleh konstitusi. 

Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu yang menyatakan, "Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 4 persen dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR" sangat berhubungan dengan sistem pemilu proporsional karena berdampak langsung kepada proses konversi suara menjadi kursi.

Di sinilah letak persoalan yang menjadi problem parliamentary treshold 4 persen, di mana ketentuan ambang batas ini tidak konsisten atau menimbulkan ketidakpastian antara ketentuan ambang batas parlemen yang 4 persen dan berakibat tidak terwujudnya sistem pemilu yang proporsional karena hasil pemilunya tidak proporsional (mkri.id, Aturan Ambang Batas Parlemen Empat Persen Konstitusional Bersyarat untuk Pemilu 2029 dan Pemilu Berikutnya, 29/2/2024).

Ketidakkonsistenan tersebut disebabkan karena tidak adanya dasar metode dan argumen yang memadai dalam menentukan besaran angka atau persentase ambang batas parlemen dimaksud, termasuk metode dan argumen yang digunakan dalam menentukan paling sedikit 4 persen dari jumlah suara sah secara nasional sebagaimana ditentukan dalam Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu. 

Bahkan, pembentuk UU sendiri tidak menunjukkan dasar rasionalitas dalam penetapan besaran angka atau persentase paling sedikit 4  persen dimaksud dilakukan dengan metode dan argumen penghitungan atau rasionalitas yang jelas.

Problem selanjutnya adalah dampak ambang batas parlemen 4 persen terhadap konversi suara sah menjadi jumlah kursi DPR, yang berkaitan dengan proporsionalitas hasil pemilu. Jika mengikuti logika sistem pemilihan proporsional, seharusnya jumlah suara yang diperoleh parpol peserta pemilu selaras dengan kursi yang diraih di parlemen sehingga hasil pemilu menjadi proporsional.

Artinya, dengan sistem proporsional yang dianut Indonesia semestinya meminimalisir suara yang terbuang agar hasil pemilu tidak terkategori menjadi tidak proporsional atau disproporsional.

Penerapan parliamentary treshold 4 persen justru menjadi kontra-produktif terhadap sistem pemilu proporsional. Pada Pemilu 2004 suara yang terbuang atau tidak dapat dikonversi menjadi kursi adalah sebanyak 19.047.481 suara sah atau sekitar 18  persen dari suara sah secara nasional. 

Begitu pula dalam Pemilu 2019, terdapat 13.595.842 suara tidak dapat dikonversi menjadi kursi DPR atau sekitar 9,7 persen suara sah secara nasional.

Untuk kasus 2.964.975 suara yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi DPR, atau sekitar 2,4 persen dari suara sah secara nasional pada Pemilu 2014, karena secara faktual jumlah partai di DPR ada 10 parpol, lebih banyak dibanding Pemilu 2009 dan Pemilu 2019.

Data-data empirik tersebut menegaskan bahwa selama penerapan ambang batas parlemen dalam pemilu anggota DPR telah terjadi disproporsional antara suara pemilih dengan jumlah partai politik di DPR. 

Ambang batas parlemen tidak saja menjadi kontra-produktif, tetapi juga menghilangkan hak konstitusional pemilih yang telah digunakan pemilih dalam pemilu. Suara mereka hangus atau tidak dihitung dengan alasan penyederhanaan partai politik demi menciptakan sistem pemerintahan presidensial yang ditopang dengan lembaga perwakilan yang efektif.

"Padahal prinsip demokrasi menempatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan, namun kebijakan ambang batas parlemen ternyata telah mereduksi hak rakyat sebagai pemilih. 

Hak rakyat untuk dipilih juga direduksi ketika mendapatkan suara lebih banyak namun tidak menjadi anggota DPR karena partainya tidak mencapai ambang batas parlemen," ucap Hakim Konstitusi Saldi Isra, ketika membacakan Putusan MK terhadap perkara yang diajukan oleh Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), pada 29 Februari 2024.

Sumber: Kompas.id
Sumber: Kompas.id

Penerapan ketentuan ambang batas parlemen 4 persen selalu menjadi problem selama ini karena penentuan besaran angka atau persentase ambang batasnya tidak didasarkan pada dasar metode dan argumen yang memadai. 

Penentuan tersebut telah menimbulkan disproporsionalitas hasil pemilu karena tidak proporsionalnya jumlah kursi di DPR dengan suara sah secara nasional. 

Penentuan nilai ambang batas tanpa dasar metode dan argumen yang memadai secara faktual telah mencederai sistem pemilu proporsional karena banyak suara pemilih yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi di DPR.

Tercederainya sistem pemilu proporsional juga mencederai makna kedaulatan rakyat, dan kepastian hukum yang adil bagi semua kontestan pemilu termasuk pemilih yang menggunakan hak pilih. 

Ambang batas parlemen yang tidak disusun sesuai dengan dasar metode dan argumen yang memadai jelas bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat, dan rasionalitas.

Penyederhanaan partai politik melalui penerapan ketentuan ambang batas parlemen sebagai kewenangan pemerintah dan DPR selaku pembuat UU dapat dibenarkan, sejauh  tidak berbenturan dengan keharusan menjaga prinsip proporsionalitas hasil pemilihan dengan penentuan jumlah kursi di DPR.

Referensi: Supriyanto, Didik. Et.al. 2011. Ambang Batas Perwakilan (Perludem: Jakarta)

Oleh: Sultani

Depok, 2 Maret 2024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun