Fajar ketiga sejak mereka berangkat, pasukan kecil itu tiba di hutan timur Kutaraja.
Dari balik semak, mereka melihat menara istana menjulang tinggi. Megah tapi muram, dijaga ratusan prajurit Ra Kuti.
Di dalam istana, sang pengkhianat duduk di singgasana, mengenakan baju kebesaran raja.
“Ia bahkan meniru cara duduk Paduka,” ujar seorang prajurit muda dengan geram.
“Biarkan ia duduk di sana satu malam lagi,” jawab Mada tenang. “Besok pagi, di singgasana itu akan menggenang darah pengkhianat.”
Malam itu mereka berembuk di bawah pohon besar. Mada membagi pasukan menjadi tiga bagian. Kelompok pertama menyerang gerbang timur dengan panah api. Kelompok kedua menembus benteng selatan melalui saluran air kuno. Dan kelompok ketiga, yang ia pimpin sendiri, akan menerobos pendapa utama dan menghadapi Ra Kuti langsung.
“Kita tidak berperang untuk membunuh,” katanya lirih. “Kita berperang untuk membersihkan.”
Serangan Fajar
Fajar merekah merah darah. Burung-burung terbang ketakutan. Dan tiba-tiba, Letupan panah api menembus langit!
Benteng timur terbakar, dan suara terompet perang menggema dari lembah.
Ra Kuti terkejut. Ia berlari ke pendapa.
“Siapa berani menyerangku pagi-pagi begini!?”
“Bukan serangan, Gusti,” jawab seorang pengawal gugup. “Tapi kebangkitan Majapahit!”
Pasukan Gajah Mada menerobos gerbang utama. Debu dan asap menyelimuti halaman.
Keris beradu, tombak menari, teriakan bercampur doa.
Namun di tengah kekacauan itu, langkah Cajah Mada tetap tenang. Satu-satu, menuju singgasana tempat Ra Kuti berdiri.
Pertarungan di Balairung Wilwatikta