“Mada… engkau bukan lagi sekadar prajurit. Engkau adalah penjaga nyawa Majapahit.”
Air mata menetes di wajah keduanya. Di luar, matahari terbit sempurna. Sinarnya menembus genting dan menimpa singgasana emas yang kini bersih dari darah.
Api yang Menyala Abadi
Malamnya, istana Tanah Tarik kembali hening. Gayatri menatap ke halaman, tempat Gajah Mada berdiri sendirian.
“Anak muda itu,” bisiknya pada dirinya sendiri, “bukan hanya penyelamat. Ia adalah tanda bahwa Majapahit akan kembali bangkit, lebih besar dari sebelumnya.”
Di bawah langit berbintang, Gajah Mada menatap arah utara. Ia tahu, pertempuran ini baru awal. Di ufuk jauh, pulau-pulau lain menanti, kerajaan-kerajaan lain menatap, dan takdir masih menulis babnya.
Ia menutup mata, dan berbisik, “Majapahit telah lahir kembali. Dan aku akan menjaganya, sampai dunia ini padam.”
Dari Abu Tarik ke Cahaya Trowulan
Senja menumpahkan warna tembaga di langit Tarik. Asap masih membubung dari reruntuhan benteng dan rumah-rumah rakyat. Angin membawa bau tanah hangus dan dupa pemujaan. Burung-burung enggan kembali ke sarangnya, seolah bumi Majapahit sendiri masih berduka.
Di atas benteng yang retak, Sri Jayanegara berdiri diam. Bayangan tubuhnya panjang di tanah merah.
“Di sinilah ayahanda mendirikan istananya,” ucapnya pelan, hampir seperti berbicara pada arwah masa lalu. “Dan di sinilah pula api pemberontakan pertama kali menyala.”