Jayanegara menatapnya.
“Kau benar, Mada. Tapi apa kau yakin kita mampu merebut kembali istana dari tangan Ra Kuti?”
“Bukan kita yang akan merebut, Paduka. Majapahit sendirilah yang akan menarik kembali anaknya. Kita hanya alatnya.”
Gayatri Rajapatni yang duduk di dekat perapian menatap Gajah Mada lama.
“Aku melihat nyala di matamu, Mada. Nyala itu bukan api dendam. Tapi api yang membawa kelahiran baru. Pergilah. Bila perlu, bakarlah malam demi fajar Majapahit.”
Jalan Kembali ke Kutaraja
Perjalanan menuju tanah Tarik adalah ujian panjang. Ribuan bahaya mengintai.
Pasukan Ra Kuti berjaga di tiap gerbang, para telik sandi menyebar di desa-desa.
Namun Mada memilih jalan hening, jalan yang tak dilewati manusia.
Ia menuntun pasukannya melewati rawa, lembah, dan sawah sunyi di bawah kabut.
Suara kodok dan desir angin menjadi lagu perang mereka.
Suatu malam di tengah perjalanan, Gajah Mada berdiri di tepi sungai Brantas.
Ia menatap air yang mengalir deras dan berdoa dalam hati.
“Wahai bumi, bila aku gugur malam ini, jadikan darahku bagian dari tanahmu.
Bila aku hidup, jadikan nafasku bagian dari anginmu. Dan jadikan tekadku bara yang menjaga negeri ini sampai akhir zaman.”
Angin bertiup kencang seolah semesta menjawab sumpahnya.
Bayang di Gerbang Timur