Jayanegara berhenti sejenak, menatap gelap di depan mereka. Mata mudanya memantulkan sinar kecil dari obor Gajah Mada. Sepasang mata yang menyimpan campuran malu, marah, dan takut. “Apakah engkau tidak takut mati, Gajah Mada?” tanyanya perlahan.
“Takut, Baginda,” jawabnya tanpa menoleh. “Tapi lebih takut bila Majapahit mati lebih dulu dariku.”
Hening sejenak menyelimuti lorong itu. Hanya terdengar suara napas dan langkah tergesa. Di atas kepala mereka, dunia terbakar, namun di lorong gelap itu, lahir sesuatu yang lebih besar dari api. Kesetiaan tanpa syarat, yang kelak menumbuhkan sumpah yang mengguncang nusantara.
Ketika akhirnya mereka keluar di tepi hutan, langit sudah hitam penuh asap. Dari kejauhan, istana Majapahit tampak seperti bayangan puri para dewa yang disambar murka. Jayanegara menatapnya dengan mata berair, sementara Gajah Mada berdiri tegap di sampingnya, kerisnya masih berlumur darah dan debu.
“Malam ini istana terbakar,” katanya pelan, “tapi kelak, api itu akan kita nyalakan kembali. Bukan untuk membakar, melainkan untuk menerangi tanah Jawa.”
Dan di bawah cahaya bulan yang pucat, dua sosok itu melangkah ke dalam hutan. Satu membawa mahkota yang nyaris hilang, satu membawa sumpah yang belum terucap.
Pelarian ke Hutan Badander
Malam itu hutan Badander menyambut mereka dengan sunyi yang menakutkan. Kabut menggantung di antara batang-batang pohon besar, dan embun menetes perlahan dari daun ke tanah yang lembap. Di kejauhan terdengar lolongan serigala, seperti nyanyian gelap yang menyambut kejatuhan seorang raja muda dari singgasananya.
Sri Jayanegara berjalan tertatih, baju kebesaran yang dulu berkilau kini lusuh dan robek, berlumur tanah serta jelaga dari istananya yang terbakar. Ia tak lagi tampak seperti seorang raja. Hanya seorang anak muda yang diusir dari takdirnya sendiri. Nafasnya berat, bahunya gemetar, sementara matanya masih memantulkan bayangan merah dari istana yang kini hanya tinggal abu di kejauhan.
Gajah Mada berjalan di depan, langkahnya mantap meski tubuhnya penuh luka. Di pundaknya tergantung sebilah tombak, dan di tangan kirinya, obor kecil yang bergetar diterpa angin malam. Setiap kali ranting patah di bawah kaki, ia menoleh cepat, waspada terhadap kemungkinan musuh yang mengejar. Ia tahu, pasukan Ra Kuti belum berhenti berburu. Bagi mereka, raja hidup berarti ancaman yang harus disingkirkan.