Mohon tunggu...
Sukir Santoso
Sukir Santoso Mohon Tunggu... pensiunan guru yang suka menulis

Peduli pada bidang psikologi, sosiologi, pendidikan, seni, dan budaya. Saya merasa tertarik untuk memahami manusia, bagaimana mereka belajar, serta bagaimana pengalaman budaya dan seni dapat memengaruhi mereka. Saya sangat peduli dengan kesejahteraan sosial dan keadilan, dan mencari cara untuk menerapkan pemahaman tentang psikologi, sosiologi, pendidikan, seni, dan budaya untuk membuat perubahan positif dalam dunia ini.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Bayang-bayang Api di Atas Singgasana Majapahit

18 Oktober 2025   09:39 Diperbarui: 20 Oktober 2025   07:26 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Dari arah timur, asap hitam membubung tinggi, menutupi bulan yang pucat. Api menyala di atap rumah-rumah, diiringi pekik prajurit yang terjepit dan tangisan rakyat yang melarikan diri. Tanda bahwa pasukan Ra Kuti telah menembus batas kota. Dan kini bayangan pengkhianatan menyentuh dinding istana Majapahit.

Prajurit berlarian di halaman dalam, tombak dan perisai beradu di bawah cahaya obor yang bergoyang diterpa angin malam. Suara teriakan bercampur dengan derap kaki kuda, deru genderang perang, dan dengung mantra dari para brahmana yang memanjatkan doa penyelamat di pura istana. Asap dupa bercampur dengan bau darah, menciptakan aroma getir yang menusuk dada.

Di pelataran pendapa, bendera-bendera kerajaan berkibar compang-camping. Api menjilat tiang-tiang kayu jati yang berukir naga, membuat bayangan naga-naga itu tampak hidup, seolah roh penjaga Majapahit turun untuk menyaksikan pertempuran.
“Pertahankan gerbang utama!” teriak seorang senapati, suaranya tenggelam di tengah hiruk pikuk. Anak panah melesat, menembus malam seperti kilatan petir. Beberapa prajurit roboh, darah mereka membasahi batu bata merah yang kini tampak seperti altar pengorbanan.

Dari kejauhan, terdengar bunyi genta suci. Pertanda bahwa para pendeta tengah membaca doa perlindungan bagi sang raja muda. Namun doa itu bersaing dengan suara perang yang menggema lebih keras. Lebih nyata.
Istana yang pernah menjadi lambang keagungan kini berubah menjadi lautan api dan debu. Setiap teriakan, setiap dentang baja, menjadi nyanyian tragis tentang kerajaan yang baru lahir namun sudah berdarah.

Dan di tengah kekacauan itu, langit tanah Tarik terbakar, seolah seluruh alam turut berperang. Malam itu, Majapahit tidak lagi sekadar kerajaan muda. Melainkan ujian bagi takdir. Apakah ia akan menjadi abu, atau bangkit dari bara menjadi legenda.

Jayanegara berlari ke arah taman dalam, napasnya tersengal di antara debu dan bara yang beterbangan. Suara jerit para abdi bersahutan dengan denting besi yang bersilang di kejauhan. Api dari balairung telah menjilat atap, memantulkan cahaya merah ke pepohonan kenanga yang bergoyang tertiup angin malam.

Udara berbau asap dan darah. Langit di atas tanah Tarik membara merah, seolah dewa api sedang menulis takdir dengan bara. Dari arah alun-alun terdengar denting pedang beradu dan pekik kematian yang memecah malam. Dalam hiruk-pikuk itu, langkah kaki para pengawal muda berpacu di antara reruntuhan, berlari mengiringi raja mereka menuju keselamatan yang belum pasti.

Tanah bergetar di bawah pijakan mereka, setiap langkah terasa seperti menantang maut yang mengejar di belakang. Panah-panah melesat dari kegelapan, menancap di dinding bata dan tiang-tiang kayu, menimbulkan percikan api kecil. Namun para bhayangkara muda itu tak berhenti. Tubuh mereka berlumur debu dan luka, tapi sorot mata mereka tetap tajam, api kecil yang menolak padam di tengah badai kehancuran.

Jayanegara wajahnya pucat diterpa cahaya obor.
“Siapa berani mengguncang Majapahit?” serunya dengan suara yang gemetar di antara keberanian dan ketakutan.

Gajah Mada, seorang perwira muda dari Bhayangkara, segera berlutut di hadapannya.

“Baginda, musuh telah menerobos istana. Para pejabat banyak yang melarikan diri.”

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun