Mohon tunggu...
Sukir Santoso
Sukir Santoso Mohon Tunggu... pensiunan guru yang suka menulis

Peduli pada bidang psikologi, sosiologi, pendidikan, seni, dan budaya. Saya merasa tertarik untuk memahami manusia, bagaimana mereka belajar, serta bagaimana pengalaman budaya dan seni dapat memengaruhi mereka. Saya sangat peduli dengan kesejahteraan sosial dan keadilan, dan mencari cara untuk menerapkan pemahaman tentang psikologi, sosiologi, pendidikan, seni, dan budaya untuk membuat perubahan positif dalam dunia ini.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Bayang-bayang Api di Atas Singgasana Majapahit

18 Oktober 2025   09:39 Diperbarui: 20 Oktober 2025   07:26 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

BAYANG-BAYANG API DI ISTANA MAJAPAHIT

Sebuah Novel Sejarah Klasik
oleh Sukir Santoso

Cahaya di Balik Duka

Malam itu langit Kutaraja di tanah Tarik berwarna tembaga. Angin bertiup perlahan, membawa aroma dupa dan bunga kenanga yang dibakar di setiap penjuru istana. Di pelataran suci, para brahmana melantunkan kidung dalam bahasa Sanskerta tua, suaranya bergema di antara pilar-pilar batu yang baru berdiri, seperti gema doa yang naik ke langit. Di antara kabut dupa dan cahaya lentera, istana tampak seperti candi megah yang sedang menangis.

Raden Wijaya, pendiri Majapahit, Sang Rajasa Sanggramawijaya, berbaring di atas dipan emas berhiaskan ukiran naga. Nafasnya berat, namun matanya masih memancarkan cahaya api yang sama. Api yang dulu membakar pasukan Tartar, menumbangkan Jayakatwang, dan menyalakan Majapahit dari abu kehancuran.
Kini, api itu perlahan meredup.

Di sekelilingnya, para pendeta menunduk, para prajurit berlutut. Tapi di antara semua itu, hanya dua sosok yang dipanggil mendekat. Dua jiwa yang paling dipercayainya. Gayatri Rajapatni, permaisuri yang tenang dan berhati seluas samudra, serta Sri Jayanegara, putra sulungnya dari Dara Petak, pewaris takhta yang masih muda.

“Majapahit adalah api,” ujar Raden Wijaya lirih, suaranya serak namun tegas, seperti dentang gong di ruang sunyi. “Api yang kubakar dari sisa kehancuran Kediri. Api yang memberi terang bagi tanah Jawa. Tapi ingatlah, putraku, jika tak dijaga dengan kebijaksanaan, api itu akan membakar dirinya sendiri.”
Tangan tuanya menggenggam jemari putranya yang masih dingin oleh ketakutan.
“Jangan padamkan api itu karena takut. Tapi jangan biarkan ia membara tanpa arah. Jadikan dirimu angin yang menuntun nyalanya.”

Dengan suara yang hampir tak terdengar, ia berbisik pada dirinya sendiri,
“Bagaimana aku bisa menjaga api itu, Ayah… jika aku sendiri takut terbakar?”

Gayatri menoleh, memandangnya dengan mata seorang ibu sekaligus guru kebijaksanaan. Ia menggenggam tangan Jayanegara dengan lembut.
“Anakku,” ujarnya lirih, “api tak akan membakar mereka yang datang dengan hati jernih. Jadilah cahaya bagi api itu, bukan bayangan di belakangnya. Jika engkau memimpin dengan ketulusan, bahkan bara pun akan menunduk menjadi sinar.”

Napas Raden Wijaya mulai tersengal. Ia menatap Gayatri untuk terakhir kali, dan dalam pandangan yang perlahan memudar, terselip senyum lega. Seperti prajurit yang akhirnya kembali ke pangkuan dewa.
“Gayatri… titipkan Majapahit padanya,” bisiknya.
Lalu matanya terpejam, dan dunia menjadi sunyi.

Gayatri bersimpuh di sisi jenazah suaminya, menunduk dalam diam yang dalam. Matanya tidak menangis, tapi hatinya luluh-lantak seperti candi yang retak tertimpa gempa.
Di baliknya, Jayanegara berdiri kaku.
Ia masih muda. Wajahnya halus, berkulit pucat, dan mata beningnya dipenuhi air yang belum sempat jatuh. Di balik asap dupa, ia tampak seperti bayangan bulan di atas air. Indah namun rapuh, berkilau namun tak dapat disentuh.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun