BAYANG-BAYANG API DI ISTANA MAJAPAHIT
Sebuah Novel Sejarah Klasik
oleh Sukir Santoso
Cahaya di Balik Duka
Malam itu langit Kutaraja di tanah Tarik berwarna tembaga. Angin bertiup perlahan, membawa aroma dupa dan bunga kenanga yang dibakar di setiap penjuru istana. Di pelataran suci, para brahmana melantunkan kidung dalam bahasa Sanskerta tua, suaranya bergema di antara pilar-pilar batu yang baru berdiri, seperti gema doa yang naik ke langit. Di antara kabut dupa dan cahaya lentera, istana tampak seperti candi megah yang sedang menangis.
Raden Wijaya, pendiri Majapahit, Sang Rajasa Sanggramawijaya, berbaring di atas dipan emas berhiaskan ukiran naga. Nafasnya berat, namun matanya masih memancarkan cahaya api yang sama. Api yang dulu membakar pasukan Tartar, menumbangkan Jayakatwang, dan menyalakan Majapahit dari abu kehancuran.
Kini, api itu perlahan meredup.
Di sekelilingnya, para pendeta menunduk, para prajurit berlutut. Tapi di antara semua itu, hanya dua sosok yang dipanggil mendekat. Dua jiwa yang paling dipercayainya. Gayatri Rajapatni, permaisuri yang tenang dan berhati seluas samudra, serta Sri Jayanegara, putra sulungnya dari Dara Petak, pewaris takhta yang masih muda.
“Majapahit adalah api,” ujar Raden Wijaya lirih, suaranya serak namun tegas, seperti dentang gong di ruang sunyi. “Api yang kubakar dari sisa kehancuran Kediri. Api yang memberi terang bagi tanah Jawa. Tapi ingatlah, putraku, jika tak dijaga dengan kebijaksanaan, api itu akan membakar dirinya sendiri.”
Tangan tuanya menggenggam jemari putranya yang masih dingin oleh ketakutan.
“Jangan padamkan api itu karena takut. Tapi jangan biarkan ia membara tanpa arah. Jadikan dirimu angin yang menuntun nyalanya.”
Dengan suara yang hampir tak terdengar, ia berbisik pada dirinya sendiri,
“Bagaimana aku bisa menjaga api itu, Ayah… jika aku sendiri takut terbakar?”
Gayatri menoleh, memandangnya dengan mata seorang ibu sekaligus guru kebijaksanaan. Ia menggenggam tangan Jayanegara dengan lembut.
“Anakku,” ujarnya lirih, “api tak akan membakar mereka yang datang dengan hati jernih. Jadilah cahaya bagi api itu, bukan bayangan di belakangnya. Jika engkau memimpin dengan ketulusan, bahkan bara pun akan menunduk menjadi sinar.”
Napas Raden Wijaya mulai tersengal. Ia menatap Gayatri untuk terakhir kali, dan dalam pandangan yang perlahan memudar, terselip senyum lega. Seperti prajurit yang akhirnya kembali ke pangkuan dewa.
“Gayatri… titipkan Majapahit padanya,” bisiknya.
Lalu matanya terpejam, dan dunia menjadi sunyi.
Gayatri bersimpuh di sisi jenazah suaminya, menunduk dalam diam yang dalam. Matanya tidak menangis, tapi hatinya luluh-lantak seperti candi yang retak tertimpa gempa.
Di baliknya, Jayanegara berdiri kaku.
Ia masih muda. Wajahnya halus, berkulit pucat, dan mata beningnya dipenuhi air yang belum sempat jatuh. Di balik asap dupa, ia tampak seperti bayangan bulan di atas air. Indah namun rapuh, berkilau namun tak dapat disentuh.