Mohon tunggu...
aldis
aldis Mohon Tunggu... Arsitektur Enterprise

Arsitektur Enterprise, Transformasi Digital, Travelling,

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Beasiswa dan Jejak Diskriminasi Sejak Dalam Kandungan

7 September 2025   10:49 Diperbarui: 7 September 2025   10:49 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

Jika reformasi ini dilakukan, beasiswa bisa berfungsi ganda. Ia tetap menjadi panggung meritokrasi bagi yang berprestasi, sekaligus menjadi tangga mobilitas vertikal bagi mereka yang benar-benar membutuhkan. Dengan demikian, beasiswa tidak lagi dipersepsikan sebagai hadiah untuk orang yang sudah berada di atas, melainkan sebagai instrumen sosial untuk membongkar lingkaran ketidakadilan.

Membongkar Mitos Meritokrasi

Dalam perdebatan ini, sering muncul argumen bahwa prestasi adalah hasil kerja keras pribadi. Namun jika kita menelusuri lebih dalam, kerja keras itu hampir selalu didukung oleh struktur sosial yang berpihak. Seorang anak yang tumbuh di rumah dengan rak penuh buku, orang tua berpendidikan tinggi, dan guru privat tentu memiliki modal yang berbeda dengan anak yang membantu orang tuanya di sawah sejak kecil dan belajar hanya dengan cahaya lampu minyak.

Meritokrasi murni sering kali hanyalah mitos yang menutupi kenyataan tentang ketidaksetaraan kesempatan. Prestasi akademik bukan semata hasil usaha individu, tetapi juga hasil akumulasi modal sejak lahir. Ketika seseorang yang sudah punya privilese kemudian mendapatkan beasiswa bergengsi, maka sesungguhnya negara sedang mengakui keunggulan yang sudah terjamin sejak awal, bukan memberi kesempatan baru.

Dalam kerangka ini, wajar jika publik mempertanyakan keadilan distribusi beasiswa. Tidak ada yang salah dengan individu kaya atau artis besar yang mengajukan beasiswa, tetapi ada masalah struktural ketika sistem membiarkan ketimpangan kesempatan terus direproduksi. Jika negara sungguh-sungguh ingin mencetak generasi emas, maka yang harus diperjuangkan bukan sekadar siapa yang paling cerdas di atas kertas, melainkan bagaimana membuka ruang bagi anak-anak yang selama ini tertutup aksesnya.

Pada suatu senja di kampung, anak-anak berlari pulang dari sekolah, kaki mereka berdebu, wajahnya bercahaya. Mereka tertawa meski seragamnya lusuh. Di kota besar, anak-anak lain sibuk mengulang hafalan bahasa asing, bersiap masuk universitas ternama di luar negeri. Dua pemandangan ini adalah dua ujung yang saling bertolak belakang, namun terikat dalam satu negeri. Jika beasiswa hanya jatuh ke tangan yang sudah kuat, maka jurang itu akan semakin lebar. Tetapi jika beasiswa diarahkan untuk mereka yang berjuang dari bawah, maka mungkin suatu hari anak yang berjalan tanpa alas kaki itu bisa berdiri sejajar dengan siapa pun di dunia.

Kita tidak boleh terus-menerus menutup mata pada diskriminasi sejak dalam kandungan. Negeri ini akan benar-benar adil hanya jika setiap anak, tanpa peduli lahir dari rahim siapa dan di desa mana, memiliki kesempatan yang sama untuk bermimpi setinggi langit. Seperti kata seorang penyair, pendidikan adalah jembatan emas, dan tugas kita adalah memastikan jembatan itu bisa dilintasi oleh semua orang, bukan hanya mereka yang sudah lahir di seberang sana.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun