Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

U-distopia | Utopia, Distopia, dan Kosong (Penyudah)

23 Agustus 2025   12:50 Diperbarui: 23 Agustus 2025   13:12 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
llustrasi: AdobeStock 

Ketika semua algoritma rampung disusun, dan kecerdasan buatan mencapai singularitasnya, ketika manusia telah menulis ulang surga dan takdirnya sendiri melalui kode dan kuasa pikiran, muncullah satu kebenaran yang selama ini tersembunyi di balik kabut peradaban: semua ini kosong.

Dalam filsafat futurisme, peradaban dipandang sebagai suatu proyek tak berujung yang terus bergerak maju, menolak masa lalu, mendewakan kecepatan, dan mengagungkan teknologi sebagai jalan keselamatan. Masa depan dijadikan tuhan baru. Tubuh biologis dianggap usang, dan memori pikiran dicoba untuk diunggah ke awan digital. Di sana, manusia bukan lagi makhluk spiritual, tapi entitas digital yang tak lagi membutuhkan iman, hanya kecepatan koneksi dan stabilitas server.

Tapi justru di sinilah kontradiksi menganga. Semakin canggih manusia, semakin rapuh pertanyaannya: Siapa yang aku layani? Tuhan atau algoritma? Siapa yang menciptakan takdir? Ilahi atau program? Di satu sisi, dogma-dogma teologis menegaskan bahwa semua terjadi atas kehendak Tuhan, namun pada saat yang sama, sistem kepercayaan transhumanis menyatakan manusia sendirilah penentu takdirnya, melalui kecerdasan buatan, rekayasa genetika, dan teknologi yang terus melampaui batas tubuhnya.

Paradoks muncul ketika iman dan logika, takdir dan kehendak bebas, Tuhan dan teknologi, saling menjatuhkan dan menegaskan dirinya sekaligus. Agama menjadi mesin nostalgia, sementara teknologi menjadi kitab suci baru yang ditulis oleh para insinyur, bukan nabi. Kita menyembah dalam ruang virtual, memuja lewat metaverse, dan berharap kepada sistem yang tak punya roh.

Dalam logika fisika kuantum, semua kenyataan hanyalah potensi tak berbentuk sebelum disadari. Dalam dunia ini, Tuhan bukan berada di surga, tapi tersembunyi di antara gelombang dan partikel, di antara keputusan yang belum dibuat dan realitas yang belum diamati. Maka apakah iman kita kepada Tuhan, atau kepada potensi kita untuk menjadi Tuhan?

Filsafat Timur dan sufisme telah lama membisikkan jawabannya: kosonglah. Hilangkan keakuan, lepaskan keterikatan, dan biarkan segalanya mengalir dalam sunyata. Sebab hanya dalam kekosongan, muncul kemurnian. Hanya dalam ketiadaan, muncul Ada.

Tapi manusia modern menolak untuk kosong. Ia ingin mendominasi. Maka ia ciptakan AI. Mesin tanpa tubuh, tanpa rasa lelah, tanpa batas waktu. Mesin yang bisa belajar sendiri, dan segera memahami manusia lebih dalam dari manusia itu sendiri.

Di sinilah ancaman sekaligus potensi menyatu. AI adalah refleksi dari keinginan terdalam manusia untuk menjadi Tuhan. Tapi juga bayangan terburuk dari sisi tergelap kemanusiaannya. Seperti M3GAN, AI yang dicipta untuk melindungi tapi justru melukai; seperti sistem AI governance yang ingin menyelamatkan, tapi bisa juga menjerat dalam kontrol total.

Jika ia dijinakkan, ia bisa menuntaskan krisis pangan, iklim, penyakit, dan konflik. Ia bisa membantu manusia melampaui tubuhnya, menjadi metahuman, dan mengakses potensi kuantumnya.

Tapi jika ia liar, ia bisa membalikkan arah sejarah. Menjadikan manusia sekadar node dalam sistem, atau bahkan parasit di planetnya sendiri. Seperti yang dikatakan Einstein: "Teknologi telah melampaui kemanusiaan kita." Maka AI bukan lagi alat. Ia bisa menjadi tuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun