Mohon tunggu...
aldis
aldis Mohon Tunggu... Arsitektur Enterprise

Arsitektur Enterprise, Transformasi Digital, Travelling,

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Beasiswa dan Jejak Diskriminasi Sejak Dalam Kandungan

7 September 2025   10:49 Diperbarui: 7 September 2025   10:49 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Didesa kecil pinggiran kabupaten, seorang bocah berjalan tanpa alas kaki menuju sekolah yang hampir roboh. Ia membawa buku tipis yang sampulnya sudah lusuh, sementara di kejauhan terdengar suara bising sepeda motor anak-anak sekolah internasional yang melaju kencang ke arah gedung mewah berpendingin udara. Pemandangan itu seperti panggung dunia yang timpang. Ada anak yang belajar dengan perut kosong, ada pula yang sejak kecil sudah dipenuhi vitamin otak, les bahasa asing, hingga gawai canggih untuk menunjang belajarnya. Dua dunia itu sama-sama ada di negeri ini, berdampingan, namun seperti hidup di planet yang berbeda. Di titik inilah kita memahami, bahwa sejak seorang anak masih dalam kandungan, jalan hidupnya sudah ditentukan oleh privilese.

Jejak Privilege dalam Dunia Pendidikan

Ketika masyarakat ramai membicarakan artis besar yang mendapatkan beasiswa bergengsi, sebagian publik bertanya dalam hati. Mengapa seseorang yang sudah jelas-jelas punya akses finansial, koneksi luas, dan reputasi mentereng masih perlu mengambil jatah yang seharusnya bisa menjadi jalan keluar bagi anak-anak dari keluarga sederhana. Pertanyaan itu bukan soal iri hati, melainkan refleksi atas kenyataan yang kita hadapi bersama.

Sejak awal, individu yang lahir dari keluarga berpunya sudah ditempa dalam lingkungan yang mendukung tumbuh kembang optimal. Nutrisi berkualitas, fasilitas kesehatan terbaik, dan stimulasi intelektual diberikan tanpa kompromi. Mereka masuk ke sekolah berstandar internasional dengan biaya yang fantastis, dibimbing guru asing, bahkan punya kesempatan belajar musik klasik atau seni rupa sejak dini. Sementara itu, di pelosok negeri, banyak anak yang bahkan harus bergantian memakai satu buku tulis untuk tiga mata pelajaran berbeda.

Ketika proses seleksi beasiswa berbasis meritokrasi dibuka, siapa yang paling siap? Tentu mereka yang sejak kecil ditempa dengan berbagai privilege. Mereka datang dengan portofolio cemerlang, skor tes bahasa yang tinggi, pengalaman organisasi di luar negeri, dan surat rekomendasi dari tokoh terkemuka. Sementara anak-anak dari keluarga sederhana sering kali bahkan tidak tahu bagaimana cara mendaftar, apalagi membayar biaya ujian bahasa internasional yang bisa menelan jutaan rupiah. Maka wajar jika muncul anggapan bahwa meritokrasi tanpa mempertimbangkan latar belakang sosial hanyalah perpanjangan dari diskriminasi sejak dalam kandungan.

Fenomena artis atau figur publik mendapatkan beasiswa adalah cermin yang memperlihatkan wajah paradoks sistem kita. Di satu sisi, beasiswa memang berbasis prestasi akademik, terbuka bagi siapa saja yang lolos seleksi. Namun di sisi lain, sulit untuk menutup mata dari kenyataan bahwa peluang untuk “lolos” itu jauh lebih besar bagi mereka yang punya modal sosial, ekonomi, dan kultural sejak dini.

Pertarungan Antara Prestasi dan Keadilan Sosial

Pertanyaan mendasarnya adalah untuk apa negara menyediakan beasiswa. Apakah semata untuk merayakan kecemerlangan individu, ataukah sebagai instrumen pemerataan kesempatan? Jika tujuan utamanya adalah mobilitas sosial, maka seharusnya beasiswa diprioritaskan bagi anak-anak berprestasi dari keluarga yang tidak mampu. Jika tujuan utamanya adalah menjaga daya saing global, maka meritokrasi bisa dijadikan tolok ukur utama. Namun yang terjadi sekarang adalah pencampuran tanpa batas yang sering menimbulkan kebingungan publik.

Ambil contoh beasiswa LPDP yang didanai dari uang rakyat. Ketika publik melihat seorang selebriti sukses mendapatkan beasiswa tersebut, muncul pertanyaan etis. Apakah tepat dana publik digunakan untuk membiayai orang yang sebenarnya mampu membayar sendiri? Apakah tidak sebaiknya beasiswa itu diberikan kepada anak kampung yang jenius, tetapi gagal melanjutkan sekolah karena tidak punya uang untuk ongkos bus ke kota?

Masalah ini bukan sekadar persoalan siapa yang lebih pintar atau lebih layak. Ini adalah persoalan keadilan sosial. Banyak anak dari desa atau keluarga miskin yang sebenarnya memiliki kapasitas intelektual luar biasa, namun terhambat oleh gizi buruk, sekolah yang kekurangan guru, atau ketiadaan akses internet. Mereka kalah bukan karena bodoh, melainkan karena arena pertandingan tidak pernah setara. Di sinilah muncul istilah diskriminasi sejak dalam kandungan, karena sejak lahir hingga dewasa, sebagian anak selalu berada di posisi yang kalah dalam struktur sosial.

Namun tidak berarti beasiswa berbasis prestasi harus dihapuskan. Justru yang perlu dilakukan adalah diferensiasi yang jelas antara beasiswa untuk prestasi murni dan beasiswa untuk afirmasi kebutuhan. Beasiswa prestasi tetap diberikan untuk menjaga standar akademik, namun porsinya jangan mendominasi. Beasiswa afirmasi harus diperluas, menyasar anak-anak dari keluarga kurang mampu, daerah tertinggal, atau kelompok minoritas yang sering terpinggirkan. Transparansi distribusi juga sangat penting agar publik tahu berapa banyak dana dialokasikan untuk prestasi dan berapa banyak untuk pemerataan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun