Mohon tunggu...
Sri Rohmatiah Djalil
Sri Rohmatiah Djalil Mohon Tunggu... Wiraswasta - Petani, Penulis

People Choice dan Kompasianer Paling Lestari dalam Kompasiana Awards 2023.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Derita Gadis Desa Terpasung Cinta

26 Juli 2021   15:50 Diperbarui: 26 Juli 2021   16:15 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pasangan/foto via IDN TimeS.com

Drama kehidupan memang asik tuk dilahap, yuu simak opera sore ini.

"Cici, Cici, sini!" panggil seorang karyawan senior. 

Cici yang baru bekerja dua pekan, menebar senyum manisnya. 

Semua karyawan membalas senyuman Cici yang memesona, tidak terkecuali aku. 

"Ci, belum apa-apa sudah senyum, kalau begini, aku enggak jadi marah," ujar si Ibu senior.

"Lagian Cici gak salah dimarahi," sahutku. Aah kenapa mulut ini kecoplasan seolah-olah membela gadis itu, atau apa aku menyukainya? 

Aku kembali pura-pura membuka komputer yang sudah menjadi sahabat sejak lama. Netra ini sebenarnya ingin menikmati senyum gadis itu.

"Jangan! Memandang cukup satu kali saja, pandangan kedua, dosa!"

Paling tidak itu yang aku ingat pesan guru ngaji waktu kecil dulu. Ibuku bilang, "Kamu ganteng mirip artis Mathias Muchus, jangan kasih senyuman ke wanita, sebelum kamu yakin ingin menikahinya!"

Haha ..  apa aku ganteng mirip artis pula. Seorang ibu tidak mungkin berbohong.
Klise emang wejangan Ibu. Namun, ada benarnya, jangan kasih harapan palsu ke wanita dengan senyuman.

Apakah Cici juga memberi harapan palsu? Apakah ada banyak laki-laki yang terpesona? Sementara keramahtamahan itu bagian dari karakter masyarakat Indonesia.

"Hai jomblo, kamu suka gadis itu kan?" Tiba-tiba ibu yang tadi memanggil Cici menepuk pundak ku. 

"Tenang, aku bantu ya!" ujarnya lagi.

Sejak saat itu, Cici selalu dipanggil oleh Ibu Senior, selalu ada saja idenya.
"Ci, tolong kasihkan map ke Pak Setia!" 

Gadis itu manut karena dia memang paling muda dan baru bekerja. 

Kami masih diam, hanya bisa berkata iya, terima kasih. 

Suatu ketika Big Bos menyuruhku pekerjaan yang amat sulit.
"Pak Setia, tolong ajari Cici komputer, dalam 7 hati harus selesai, kita membutuhkan tenaga komputer lagi." 

Tujuh hari, itu artinya aku akan dekat dengan Cici dan bicara banyak. Aaahh kesempatan emas mengenalnya. "Jangan! harus profesional, kedekatan ini bagian dari tugas Big Bos, tidak boleh diracuni urusan pribadi!" Wejangan dari hati yang bersih.

Baiklah hubungan kerja tidak boleh beracun. Namun, selama tujuh hari, aku semakin menyukai Cici. Pesan Ibu pun terlupakan 'jangan tersenyum pada wanita sebelum yakin ingin menikahinya'.
Urusan nanti, yang penting bisa diungkapkan dulu. jodoh kan ditangan Tuhan. Jodoh juga diupayakan. Kembali terngiang ucapan Ibu.

Aku harus berupaya supaya Cici jodohku. 

"Ci, mau menikah denganku?"  tanyaku secara tiba-tiba.

Gadis tampak bingung. Dia diam tak bergeming. Aku sendiri salah tingkah, apa benar yang aku katakan tadi? 

"Ok, sorry, lupakan!" suaraku memecah hening ruang laboratorium. Ruangan di mana aku mengajari Cici komputer. 

Sebagian karyawan sudah meninggalkan ruangan. Aku pun bergegas meninggalkan wanita mungil yang masih terdiam. Entah sampai kapan dia akan diam di depan komputer.

***

"Lanjutkan arahkan Cici, dia nanti akan masuk tim SIM kita!" kata Big Bos suatu hari. 

Tim Sistem Informasi Manajemen, adalah sebuah tim untuk memajukan kantor. Big bos punya alasan kenapa Cici yang baru masuk kerja sudah ditarik ke tim SIM. Karyawan lama banyak, mereka tidak kalah pintar. Wanita itu memang hebat, bisa memikat hati Big Bos. 

Ups jangan berburuk sangka. Segera aku tepis dugaan tentang Cici dan Big Bos. 

Walaupun gadis itu  murah senyum, dia tampak polos, wajah tanpa make up, bibir tanpa lipstik. Di balik senyumnya ada santun. Bicaranya sedikit malu-malu. 

Gadis desa, tetapi memiliki kecerdasan. Aku tidak pernah mengulang materi dan tak pernah memberi kesempatan dia untuk menulis.

"Jangan menulis, perhatikan, dengarkan, praktikan!" Setelah itu aku akan meninggalkan dia. 

Big bos orangnya saleh, dia pun pernah mengatakan,"Cici anak yang cepat tanggap, dalam 7 hari sudah menguasai komputer dengan baik. Saya yakin jika diasah dia akan lebih pintar darimu, Pak Setia!" 

Bukan masalah Cici akan lebih pintar dariku suatu ketika, tetapi, bagaimana perasaan pribadi ini. 

Satu pekan berlalu, Cici menjadi pendiam. Aku pun menjadi sungkan berbicara dengannya. Waktu berlalu begitu lama, aku masih mengajari gadis ini banyak hal tentang program komputer.

"Bagaimana dengan lamaranku, Ci?" 

Kali ini Cici sudah terbiasa berhadapan denganku. Dia tidak diam seperti lamaran pertama.

"Bicara saja ke Bapak!"

Girangnya aku saat itu, itu tanda baik kalau Cici menerima.

***

Panggilan dari kantor pusat datang, aku harus segera ke Jakarta. Itu artinya dua pekan tidak bertemu gadis lugu itu.

"Aku tidak masuk untuk 2 pekan ya Ci,"

"Iya Pak, aku mau pindah ke kota kecilku, ada tawaran kerja di salah satu kantor pemerintahan, terima kasih banyak ilmunya."

Deg, Cici resign? Bukan masalah ilmu yang telah aku berikan. Namun, bagaimana kelanjutan niatku untuk menikahinya.

"Nanti datang saja ke rumahku, Pak, sudah aku titipkan alamat ke Pak Penjaga kantor," ujar Cici membuyarkan semua kekhawatiran.

Kami pun tak pernah bertemu lagi, apa kabarmu Ci? 

***

Ilustrasi Ibu marahi anak cowoknya/foto via theAsianParent
Ilustrasi Ibu marahi anak cowoknya/foto via theAsianParent

"Ada Cici di rumah!" kata Ibu lewat telepon seluler setelah 6 bulan aku tidak bertemu Cici.

"Bu, tahan Cici, aku segera pulang, tiga jam semoga nyampe rumah," pesanku pada Ibu.

Kotaku sekarang dengan rumah Ibu cukup jauh. Mungkin seperti kota Cici ke rumah Ibu. Bagaimana dia bisa menemukan rumah Ibu? Sementara selama kenal, aku belum pernah mengajaknya ke rumah. 

Tiga jam dalam bus kota rasanya lama sekali, aku khawatir, Ibu tidak bisa menahan Cici.

Rindu ini sudah berat, tetapi, apa daya. Ohh Ci ... Andai kamu tahu sebenarnya.

"Setia ... tega sekali kamu telah menyakiti hati Cici, Ibu sudah bilang jika akan menikah dengan wanita pilihan pamanmu, bicara dulu sama Cici. Kalau kamu bicara tidak mungkin wanita ini mencari kamu," 

Itulah kata-kata Ibu ketika aku baru tiba. Nampak mata Cici sembab. Ibu sudah cerita banyak tentang pernikahanku yang baru berumur satu pekan. 

Tanpa mencopot sepatu aku hampiri gadis yang menunduk . Ingin  memeluk untuk pertama dan terakhir. Namun, Ibu menggeret tanganku yang kaku.

"Percuma kau minta maaf juga, duduk!" perintah Ibu. 

Aku diam menunggu umpatan, cacian dari mulut  Cici, tetapi gadis itu hanya diam, butiran air membasahi pipinya. Aku tahu gadis itu hancur dengan apa yang terjadi.

"Sudah, Ibu, sekarang sudah bertemu dan jelas kalau Pak Setia sudah menikah. Saya ke sini mau tanya, ko belum temui Bapak hingga 6 bulan lamanya."

"Sekarang sudah terjawab, saya permisi pulang, Bu." suara gadis itu berat. 

"Ci ... tampar aku, maki aku, pukul aku, aku salah," ucapku seraya mendekat. 

"Tidak perlu, sudah Ci maafkan ko, Pak." 

Semudah itukah gadis mungil itu memaafkan. Atau hanya pura-pura di depan Ibu. Kenapa aku masih berburuk sangka padahal akulah yang salah.

Tangan Ibu diciumnya, dua perempuan ini berpelukkan. Aku hanya diam mematung melihat keakraban keduanya padahal baru bertemu. 

"Sering main ke sini ya, Nak."
Cici hanya melontarkan senyuman  ke Ibu. Aku tahu itu bukan senyum manisnya, tapi senyum paling getir. 

Gadis itu baru berusia 21 tahun, berbeda jauh denganku yang 10 tahun lebih tua. Itu sebabnya dia selalu memanggilku pak. 

Kutatap punggungnya yang semakin jauh. Tampak langkahnya lunglai menahan beban, bukan beban badan kerena dia cukup langsing. Namun, beban yang aku berikan untuk gadis belia yang baru mengenal cinta.

Kenapa aku begitu tega membiarkan dia berjalan sendiri.
Aku sebenarnya sudah menemui Bapakmu, Ci, dia menolak lamaranku saat itu, "Putriku masih belia, seumur hidupku tak akan pernah menikahkannya dengan Anda!"

Hatiku juga sakit Ci ... Jangan kau terpasung cinta, sehingga tidak bisa melupakan aku. 

Cerita ini diambil dari kisah nyata seseorang.

Salam bahagia. Sahabat semua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun