"Tenang, Pak Saleh! Tidak ada yang akan membawa Bapak ke mana-mana," kata Sofie, berusaha menenangkan dengan suara yang ia paksakan agar tetap stabil. Ia mencoba membaringkan pria tua itu kembali.
Tapi dengan kekuatan yang mustahil untuk kondisi fisiknya, tangan Pak Saleh membanting tangan Sofie dan justru mencengkram pergelangan tangan Sofie dengan cengkeraman yang mengerikan, seperti besi berpijar. Sofie menjerit kesakitan.
"Dia... ada di sana..." bisik Pak Saleh, suaranya tiba-tiba berubah menjadi rendah, berisi, seperti suara banyak orang yang berbicara bersamaan. Nafasnya berbau anyir, mirip dengan bau yang tadi. "Di ruang yang dingin. Dia menunggu. Bukan hanya aku. Dia menunggu KAMU juga, Sofie. Dia bilang... kamu sudah terlambat."
Cengkeraman itu tiba-tiba lepas. Pak Saleh terjatuh ke bantalnya, terisak seperti anak kecil sebelum akhirnya pingsan, wajahnya membeku dalam ekspresi ketakutan abadi. Monitor jantungnya kembali stabil, berdetak pelan, seolah kejadian mengerikan itu tak pernah terjadi.
Tidak sampai lima menit kemudian, Dr. Yunan muncul, wajahnya merah marah. "Apa yang terjadi?! Laporan monitor mengacau di seluruh sistem!"
"Saya... Pak Saleh tadi... ada suara..." Sofie gagap, masih gemetar, memperlihatkan bekas cengkeraman merah menyala di pergelangannya.
Dr. Yunan memotong dengan kasar, matanya menyipit penuh ketidaksabaran. "Cukup! Ini rumah sakit, Sofie, bukan rumah hantu! Kamu stres. Kalau tidak kuat jaga malam, minta mutasi! Aku tidak mau ada cerita-cerita takhayul yang mengganggu nama baik rumah sakit ini!"
Sebelum Sofie bisa membela diri, sosok tinggi kurus muncul dari bayangan. Dr. Hendri, dokter forensik itu, berdiri dengan ekspresi yang justru penuh ketertarikan ilmiah yang mengganggu. Dia mendekati monitor yang masih menunjukkan riwayat glitch tadi.
"Fascinating..." gumam Dr. Hendri, jarinya mengetik-ngetik tabletnya dengan cepat. "Gangguan elektromagnetik masif, terfokus hanya di ruang ini, tepat pada pukul 00.50. Dan kata-kata Pak Saleh... 'Dia akan membunuhku lagi.' Kata lagi-nya itu sangat menarik, bukan?"
Dia menatap Sofie, dan di balik kacamatanya, Sofie melihat kilatan obsesi. "Suara yang kau dengar, Perawat. Itu bukan halusinasi. Itu adalah data. Dan kita harus merekamnya."
Sofie hanya bisa terdiam, tubuhnya masih menggigil. Ia melihat ke lorong menuju ruang jenazah. Di ujung yang gelap, ia melihat sebuah bayangan pendek dan gemuk---siluet yang sama sekali tidak asing, siluet Pak Domo, si penjaga tua. Pria itu tidak mendekat. Hanya berdiri di sana, mengangguk pelan pada Sofie, seolah memahami segalanya, sebelum berbalik dan menghilang dalam kegelapan.