"San," bisik Sofie pada Santi, perawat lain yang sedang menghitung tablet obat di meja sebelah. Suaranya serak. "Kamu dengar itu?"
Santi mengangkat bahu, tanpa memalingkan wajah. "Dengar apa? Suara AC lagi bermasalah, ya? Atau angin yang masuk dari jendela basemen?" Katanya sambil terus mengocok botol obat.
"Bukan. Itu... suara seseorang. Memanggil namaku," ujar Sofie, suaranya masih bergetar halus. Santi akhirnya menoleh, mengerutkan kening. "Sof, kamu kecapekan. Shift malam tiga hari berturut-turut. Aku cuma dengar AC. Sudah, selesaikan laporanmu, sebentar lagi shift berganti."
Tapi Sofie yakin. Itu suara perempuan. Tua, keriput oleh usia dan penderitaan. Ada sesuatu yang familiar, mengusik memori lama yang terpendam. Itu mengingatkannya pada suara Neneknya yang sudah meninggal sepuluh tahun lalu, tapi dengan nuansa sedih dan putus asa yang lebih dalam.
Dengan jantung yang berdebar kencang seperti drum perang di dadanya, Sofie berdiri. Kaki terasa berat bagai dijejali timah. Dingin dari lantai merambat melalui sol sepatu nursenya. Dia berjalan pelan menyusuri lorong hijau yang menyeramkan itu. Setiap langkahnya bergema, seolah ada yang mengikutinya dari belakang. Bayangan dirinya di dinding terdistorsi, memanjang dan menyusut dengan setiap kedipan lampu neon.
Dia sampai di depan pintu ruang jenazah. Pintu kayu besar dengan tanda "KAMAR MAYAT - DILARANG MASUK TANPA IZIN". Udara di sekitarnya terasa lebih dingin, setidaknya lima derajat lebih rendah daripada di lorong. Dia mengulurkan tangan, jari-jarinya gemetar ringan, dan mendorong pintu itu perlahan. Engselnya berderit pelan, suara yang mengiris kesunyian.
Ruangan itu terbuka. Penerangan di dalamnya suram, hanya sebuah lampu neon kecil di atas meja pemeriksaan di tengah ruangan. Bau formalin yang tajam dan khas langsung menusuk hidungnya, hampir membuatnya tersedak. Tiga peti jenazah berjajar rapi, tertutup rapat, masing-masing dengan nomor logam mengilap: 1, 2, dan 3.
Matanya tertarik pada peti nomor 3. Peti yang paling dekat dengannya. Meskipun ruangan ini adalah tempat kematian, ada sesuatu yang berbeda dari peti itu. Bukan aura dingin atau menakutkan, melainkan... semacam energi hangat yang samar-samar memancar. Seolah ada kehidupan di dalamnya, atau setidaknya, sebuah pesan yang sangat kuat yang ingin disampaikan. Sofie bahkan bisa membayangkan dia mendengar detak jantung sangat pelan dari balik kayu peti itu, meski dia tahu itu mustahil.
Dia tidak berani mendekat. Firasatnya berteriak keras. Dia mundur perlahan-lahan, satu langkah, dua langkah. Pandangannya tak lepas dari peti nomor 3. Seolah-olah, jika dia berpaling, sesuatu akan keluar dari dalamnya. Saat punggungnya menyentuh bingkai pintu, dia berbalik dan nyaris berlari menyusuri lorong hijau yang panjang itu. Jantungnya berdebar kencang, hampir melompat dari dadanya. Dia tidak akan pernah melupakan panggilan itu. Dan dia tahu, di lubuk hatinya yang paling dalam, bahwa ini baru permulaan. Peti nomor 3 itu memanggilnya. Dan panggilan itu akan kembali terdengar.
Â
BAGIAN 2: PENGHAYUAN YANG MENGGIGIL