Kemudian, dengan bunyi ding! yang tiba-tiba, lampu menyala berkilat. Pintu lift terbuka. Dr. Maya berdiri di luar, wajahnya penuh dengan campuran kelegaan dan kekhawatiran.
"Sofie! Kamu baik-baik saja? Kami sudah mencoba memanggilmu di radio! Wajahmu... Sangat pucat! Kamu berteriak-teriak sendirian di sini!"
Sofie terhuyung keluar, tubuhnya gemetar tak terkendali. Dia memandang Dr. Maya, tetapi untuk sepersekian detik, di balik kacamata Dr. Maya, dia melihat pantulan sesuatu---bayangan perempuan tua tadi, berdiri persis di belakangnya, mengangguk pelan sebelum memudar.
Dan di lantai lift, tepat di tempat Sofie berdiri, ada sebuah benda kecil yang tertinggal: sebuah peniti berkarat dengan angka "1998" terukir samar---tahun kematian Bu Sumiati.
Jebakan suara itu bukan hanya untuk menakuti. Itu adalah peringatan. Dan Sofie sekarang tahu, dia sudah terjebak di dalam konspirasi yang jauh lebih gelap dan berbahaya daripada yang pernah dia bayangkan. Pintu lift telah terbuka, tetapi jalan keluar sebenarnya mungkin sudah tertutup untuk selamanya.
BAGIAN 6: KEBENARAN YANG TERKUBUR
Jam saat itu menunjukkan pukul 03.17 AM ketika monitor EKG di samping tempat tidur Herlina mendadak mengeluarkan bunyi panjang yang begitu menusuk seperti suara datar yang mengisyaratkan akhir. Sofie, yang ssat itu sedang melakukan ronde malam, bergegas ke sana, tetapi terlambat. Herlina telah pergi. Namun, di tengah rasa sedih yang menyergap, sesuatu yang aneh menarik perhatian Sofie. Jari telunjuk almarhumah masih terlihat kaku, seolah membeku dalam posisi menunjuk ke arah buku catatan kecil Sofie yang terbuka di atas meja samping tempat tidur.
Dengan hati berdebar dan penasaran, Sofie mendekat perlahan. Di halaman buku itu, tergores coretan tipis dan tidak beraturan, seolah ditulis dengan sisa tenaga terakhir:
"SUARA ITU BUKAN UNTUK MENAKUTI. TAPI MEMBIMBING. CARI PETI NOMOR 3."
Tulisan itu seperti sengatan listrik. Peti nomor 3. Ruang jenazah. Dingin yang tidak wajar merayap dari ujung kaki Sofie.
Dia tidak bisa melakukan ini sendirian. Dengan gemetar, dia menghubungi Dr. Hendri, satu-satunya orang yang mungkin bisa mempercayainya. Awalnya sang dokter forensik ragu, menyalahkan kelelahan, tetapi ketakutan murni di mata Sofie dan keanehan tulisan Herlina akhirnya meyakinkannya.