"Kamu lihat?" Dr. Yunan berdiri, mendekati Sofie yang sudah terpaku pucat. "Dissociative Identity Disorder. Persis seperti kakekmu dulu. Dia juga dirawat di sini, bukan? Meninggal karena... kelalaian kami, katamu?" Tawanya semakin keras, menggema di ruangan mewah itu. "Secara tidak sadar, kamu tahu kebenaran tentang kakekmu. Dan sekarang pikiran bawah sadarmu menciptakan semua hantu ini untuk mengungkapnya."
Sofie terhuyung mundur. Logika Dr. Yunan terdengar masuk akal. Tapi ada sesuatu yang menggerogoti nalurinya. Dokumen-dokumen itu terlalu nyata. Bukti-bukti terlalu konkret.
"Lalu bagaimana dengan Bu Sumiati?" sofikan Sofie, suaranya parau. "Dan pesan dari Herlina yang sekarat? Itu semua kebetulan?"
Seketika itu juga, senyum Dr. Yunan menghilang. Cahaya di ruangan itu mulai berkedip-kedip, lalu PADAM total. Kegelapan yang pekat dan sunyi yang mencekik menyergap mereka.
Dalam kesunyian yang menusuk telinga itu, sebuah suara perempuan tua, parau, dan penuh kepahitan mendesis dari setiap sudut ruangan, seolah dinding-dinding itu sendiri yang berbicara.
"Dia... booohhhoooong..."
Sofie membeku. Dr. Yunan, untuk pertama kalinya, terlihat panik. "Generator! Generator harusnya hidup!" raungnya dalam gelap.
Saat Sofie berbalik ingin lari, pandangannya tertumbuk pada cermin besar antik di dinding. Di dalam bayangan cermin yang gelap, ia melihat sosoknya sendiri. Tapi bukan dirinya yang sekarang. Wajah di cermin itu lebih tua, keriput, dengan mata yang penuh keputusasaan dan luka. Rambutnya memutih, ada bekas luka di pelipis. Dan yang paling mengerikan, sosok itu tersenyum. Bukan senyum Sofie, tapi senyum getir seorang perempuan tua yang sudah melihat terlalu banyak kematian.
Bibir bayangan itu bergerak. Suara yang sama yang selama ini menghantuinya, kali ini keluar langsung dari cermin, berbisik pelan namun jelas, menusuk langsung ke benak Sofie.
"Aku... adalah kamu... di masa depan..."
Sofie terjebak, tidak bisa berpaling. Rasanya seperti ditenggelamkan dalam realita yang mustahil.