1871, sebuah perusahaan bernama Pearl Tobacco tampil dengan citra marketing yang 'revolusioner'. Mereka menampilkan materi pornografi dalam merek produk yang dijualnya.
Ya, mereka menjadikan pornografi sebagai bagian dari taktik promosi. Dalam catatan sejarah, apa yang Pearl Tobacco lakukan adalah kali pertama seksualitas menjadi strategi menyukseskan bisnis. [3]
Cambridge Dictionary mendefinisikan pornografi sebagai buku , majalah , film , dll . tanpa nilai seni yang menggambarkan atau menunjukkan tindakan seksual atau orang telanjang dengan cara yang dimaksudkan untuk menggairahkan secara seksual.[4]
Setelah Pearl Tobacco sukses dengan 'revolusi' promosinya, banyak bisnis mengikuti jalan mereka, mulai dari brand level kecil hingga brand korporasi dengan jangkauan pasar yang mendunia.
Studi University of Georgia pernah membuktikannya. Tim peneliti mereka melakukan riset selama dua puluh tahun dalam rentang 1983 hingga 2003, menemukan bahwa 20% konten promosi lebih dari 3.000 perusahaan yang mereka amati menampilkan konten seksual.[5]
Hingga hari ini, penggunaan pornografi sebagai materi promosi tentu saja masih eksis - bahkan mungkin semakin marak. Penggunaan pornografi dalam proses promosi ini juga yang terjadi pada konten novel.
Bau-bau pornografi pada novel, dapat disebar pada berbagai unsur intrinsiknya, misalnya:
Tema, yang terang-terangan mengangkat masalah dewasa dan mutlak menguraikan kisah dengan bumbu seksual.
Tokoh dan penokohan, yang mengisahkan sosok-sosok dengan konflik berhubungan urusan seksual dengan gambaran-gambaran yang relevan.
Latar, misalnya latar tempat berupa lokasi yang dekat dengan hal porno atau latar suasana yang membangun kesan erotis, sehingga memicu dorongan seksual pembaca.
Pesan, baik tersirat atau tersurat yang membangkitkan pembacanya untuk meniru perilaku seksual tertentu.