Saya, Anda, dan kita yang mengamati perkembangan novel yang kini perkembangannya merambah pada dunia online, tentu tak bisa menutup mata dengan fakta ini.
Masalahnya, akses terhadap web apps atau mobile apps yang menjadi tempat tersebarnya novel-novel semacam ini sangat mudah. Bahkan, cukup mudah diakses anak-anak dan emaja.
Tentu saja, komodifikasi konten novel yang marak berbau pornografi ini bukan tanpa alasan.
Menurut hemat saya, ada dua alasan utamanya. Keduanya berhubungan dengan orientasi kapitalisme yang memandang semua hal sebagai komoditas yang dapat dieksploitasi untuk menghasilkan keuntungan.
Selera Pasar
Pornografi - seberapa buruk pun kita tahu dampaknya - harus diakui merupakan hal yang menarik minat pasar. Kesukaan terhadap berbagai tindak seksual adalah hal yang dicari dan diinginkan banyak orang.
Saya mencoba membuktikannya dengan menggunakan Ahrefs sebagai platform yang mampu mengecek jumlah minat orang-orang terhadap topik yang mereka cari di mesin pencari.
Secara kalkulatif, ada lebih dari 30 ribu kata kunci berhubungan dengan 'seks' yang dicari penduduk Indonesia di Google. Untuk jumlah pencarian, totalnya dapat mencapai ratusan ribu per bulan.[6]
Hal sama berlaku ketika kami menelusuri minat pengguna Google terhadap kata kunci yang berhubungan dengan novel dewasa, 21+, sex, hot, dan sejenisnya. Jumlah pencarinya bisa lebih dari 300 kata kunci dengan jumlah total pencarian puluhan ribu per bulan.[7]
Dua fakta tersebut dapat menjadi gambaran, bahwa pasar memang mencari novel yang mengandung pornografi. Maka tak heran ketika novel-novel mengalami komodifikasi, maka pornografi menjadi salah satu strategi utamanya.
Terbukti Efektif