Mustafa Mahmud, seorang ilmuwan dan pemikir Mesir, menulis dalam bukunya al-Ilmu wa al-Iman: "Manusia memiliki sesuatu yang tidak dimiliki mesin: hati nurani. Itulah yang membuatnya layak menerima amanah Tuhan."
Maka, manusia tetaplah subjek dalam pencarian ilmu. AI bisa membantu manusia menemukan pola, membuat prediksi, atau mempercepat proses, tetapi ia tidak bisa menggantikan tugas profetik manusia: menegakkan kebenaran, keadilan, dan hikmah.
Etos Ilmu: Mencari, Bukan Menguasai
Dalam tradisi keilmuan Islam, ilmu tidak dipandang sebagai alat kuasa, tetapi jalan untuk mengenal Tuhan dan memperbaiki kehidupan. Bahkan dalam banyak karya ulama klasik, ilmu selalu disandingkan dengan akhlak.
Imam al-Ghazali dalam Ihya' Ulum al-Din menekankan bahwa ilmu sejati adalah yang mendekatkan manusia pada akhlak mulia dan menjauhkannya dari kesombongan. Dalam konteks AI, kita dihadapkan pada tantangan serupa: apakah teknologi ini membuat kita lebih bijak atau justru lebih congkak?
Menjaga Keseimbangan antara Akal dan Wahyu
Kecanggihan teknologi kadang membuat kita terjebak dalam euforia rasionalitas. Kita terlalu percaya pada data dan logika, dan melupakan dimensi spiritual. Padahal, dalam Islam, akal dan wahyu harus berjalan beriringan. Al-Qur'an bukan hanya kitab hukum, tetapi juga kitab nilai dan petunjuk.
Keseimbangan ini penting agar kemajuan teknologi tidak menjauhkan kita dari tujuan utama hidup: menyembah Tuhan dan memakmurkan bumi (QS. Adz-Dzariyat: 56, QS. Hud: 61).
Penutup: AI Sebagai Amanah, Bukan Ancaman
AI bukan musuh, tetapi juga bukan penyelamat. Ia adalah alat yang sangat kuat, yang hanya akan membawa manfaat jika dikelola oleh manusia yang berilmu dan berakhlak. Dalam pandangan Qur'ani, manusia diberi amanah untuk mengelola dunia dengan ilmu, bukan sekadar menguasainya.
Ilmu harus dipahami sebagai jalan menuju kebenaran, bukan kekuasaan. AI hanya akan berguna jika ia menjadi perpanjangan dari nilai-nilai luhur: kejujuran, tanggung jawab, keadilan, dan kemaslahatan.