Oleh Amidi
Â
Di era yang serba  menonjolkan gaya hidup hedonis dan glamor ini,  hampir semua gerak, langkah, kegiatan,  dan atau akvitas  anak negeri ini senantiasa di ukur dengan rupiah, dengan kata lain semua itu senantiasa dihubungkan dengan rupiah atau senantiasa memperhitungkan aspek ekonomi-nya, ketimbang aspek sosial dan kemanusiaan.
Demi pertimbangan rupiah dan atau aspek ekonomi tersebut, sehingga aspek kebaikan dan kejujuran jauh panggang dari api, aspek kebaikan dan kejujuran ditempatkan  nomor "sepuluh", yang ada berbohong demi rupiah, yang ada menipu demi rupiah, yang ada mengsengsarakan orang lain  demi rupiah dan seterusnya. Singkat kata, semua dilakukan demi rupiah.
Â
Kewajaran.
Bila disimak, memang rupiah sangat dibutuhkan sebagai  salah satu alat untuk memenuhi kebutuhan. Apalagi mengingat saat ini, semakin hari, semakin banyak rupiah yang harus kita miliki untuk memenuhi kebutuhan yang terus bertambah dan beragam tersebut.  Apalagi mengingat harga-harga barang dan jasa terus meningkat, sementara tingkat pendapatan anak negeri ini tidak bertambah bahkan yang ada justru berkurang,  karena kondisi  ekonomi negeri ini masih dirasakan sulit bagi sebagaian  besar anak negeri ini. Untuk itu, bila kita memburu rupiah sah-sah saja,dan wajar-wajar saja. Tidak berlebihan kalau diistilahkan "tiada hari tanpa rupiah", karena rupiah bisa membeli kedudukan, karena rupiah bisa menjadikan anak negeri ini bisa terhormat.
Â
Namun, dalam memburu rupiah tersebut harus dalam koridor yang wajar, dalam koridor yang normal-normal saja. Apa pun profesi kita, harus mengedepankan "nilail kewajaran" dalam memburu rupiah.
Rupiah yang diperoleh dengan cara wajar,akan  mendatangkan ketenangan dan akan memberikan "keberkahan". Rupiah yang diperoleh dengan wajar, biasanya pemburu-nya tidak akan merugikan pihak lain, tidak menyusahkan pihak lain dan lebih jauh lagi tidak akan "merongrongi kredebilitas negeri ini".
Â
Ketidak Wajaran.
Sebaliknya, Â jika rupiah yang diperoleh dari hasil yang tidak wajar, selain tidak mendatangkan/menciptakan kebaikan, rupiah yang diperoleh tersebut justru akan menghukum pemburu-nya sendi
Dilapangan kita bisa saksikan, demi rupiah terkadang kita rela "mempertontonkan" kemunafikan kita dimata publik.Sudah tau sesuatu itu atau pristiwa itu, atau kasus itu tidak benar atau "memang salah", "memang tidak ada", biasanya demi memburu rupiah, maka mereka mati-matian membenarkannya, mengadakannya, dan seterusnya.
Jelas sesauatu itu tidak  wajar, karena demi memburu rupiah, maka  sesuatu itu harus di rekayasa, harus dipaksakan,  agar sesuai  yang kita inginkan, untuk  mendatangkan  rupiah.   Terkadang pihak yang salah, mereka bela agar kesalahan yang dilakukannya menjadi benar atau adanya pembenaran, sehingga publik akan meyakini bahwa memang  benar. Untuk melakukan pembenaran tersebut,  mereka  munculkan  berbagai narasi agar dapat membentuk opini dan atau agar dapat menggiring opini publik untuk menerima apa yang mereka  inginkan bahwa sesuatu yang mereka  sedang perjuangkan tersebut benar adanya.