"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya."
Ayat ini menjadi dasar penting dalam membangun prinsip etika keilmuan: bahwa setiap klaim, keputusan, dan tindakan harus berbasis pengetahuan dan dapat dipertanggungjawabkan. Di era AI, hal ini menjadi krusial, karena mesin-mesin cerdas kerap diandalkan untuk mengambil keputusan yang sebelumnya merupakan domain manusia.
Namun, seperti diingatkan oleh sejarawan Yuval Noah Harari: "Teknologi tak pernah netral. Ia merefleksikan nilai-nilai pembuatnya." Maka, kehadiran AI menantang kita untuk kembali bertanya: ilmu seperti apa yang sedang kita bangun, dan untuk siapa?
AI dan Krisis Etika Keilmuan
Di satu sisi, AI adalah pencapaian tertinggi dari revolusi digital dan kemajuan ilmu pengetahuan. Ia lahir dari data, algoritma, dan komputasi supercepat. Namun, AI juga membawa serangkaian persoalan etis yang tidak bisa dianggap sepele: bias algoritma, pelanggaran privasi, manipulasi informasi (deepfake), hingga ketimpangan akses teknologi.
Dalam konteks ini, pandangan Syekh Muhammad Said Ramadan al-Buthi menjadi relevan. Ia menyatakan bahwa ilmu, jika tidak dibimbing oleh akhlak dan syariat, akan menyesatkan, bukan membimbing (Kubra al-Yaqiniyyat). AI hanyalah alat. Jika manusia tidak memiliki kerangka moral, maka alat ini bisa digunakan untuk menindas, bukan memerdekakan.
Kita juga diingatkan oleh QS. Al-Baqarah: 30 tentang misi kekhalifahan manusia:
"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: 'Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.'"
Khalifah berarti pemimpin, pengelola, dan penjaga. AI tidak bisa menggantikan posisi ini, karena ia tidak memiliki kehendak bebas, nurani, dan kesadaran moral. Manusia tetap sentral dalam semesta moral Qur'ani.
AI dan Peran Manusia sebagai Penafsir Ilmu
Meskipun AI mampu mengakses, mengolah, dan bahkan "menalar" data, namun ia tidak memiliki dimensi batiniah. Ia tidak memahami makna, tidak memiliki intuisi, dan tidak bisa merasakan kebenaran dalam pengertian spiritual.