Mohon tunggu...
S Eleftheria
S Eleftheria Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Literasi

***NOMINEE BEST IN FICTION 2023*** --- Baginya, membaca adalah hobby dan menulis adalah passion. Penyuka hitam dan putih ini gemar membaca tulisan apa pun yang dirasanya perlu untuk dibaca dan menulis tema apa pun yang dianggapnya menarik untuk ditulis. Ungkapan favoritnya, yaitu "Et ipsa scientia potestas est" atau "Pengetahuan itu sendiri adalah kekuatan", yang dipaparkan oleh Francis Bacon (1561-1626), salah seorang filsuf Jerman di abad pertengahan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Laron-laron Itu Datang Membawa Kutukan

23 Juli 2023   12:00 Diperbarui: 9 Agustus 2023   09:01 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi laron-laron terbang di bawah lampu bercahaya| sumber artikel.rumah123.com

Aku ingat ketika laron-laron menyerbu rumah kami setelah hujan turun pada suatu malam. Serangga itu beterbangan memenuhi semua tempat berlampu dan sebagian kemudian jatuh, lalu berjalan-jalan mengotori lantai karena sepasang sayap telah terlepas dari tubuh mereka. Orang-orang mengatakan kalau kedatangan laron ke rumah-rumah menandakan keberuntungan atau kelimpahan rezeki bagi pemiliknya. Namun, Ayah justru percaya bahwa serangga itu datang membawa semacam kutukan, bahwa kemunculan mereka untuk memperingatkan sesuatu yang buruk.

Awalnya, aku mengira laron-laron itu berasal dari dalam kayu-kayu lapuk di kebun belakang yang dibentuk Ayah menjadi rumah-rumahan. Sepertinya, mereka sengaja berkumpul, memberi ide-ide aneh, dan memasang jebakan ke dalam diri Ayah---dan aku tidak tahu kapan mereka datang, kemudian pergi.

Sekitar waktu itulah pertama kali Ayah mengeluh dan mengumpat, meminta aku untuk berhenti memanggilnya "Ayah" karena suatu alasan. Ayah tampak seperti anjing yang menggonggong marah, membentak-bentak aku dan Ibu, lalu menggigit dirinya sendiri. Dia kemudian berkeliaran di halaman belakang rumah sampai larut malam dan terkadang menghilang selama berhari-hari.

Baca juga: Payah

Begitulah hari-hari berlalu. Ketika malam tiba, Ayah sering kali terjaga dan mengoceh sendiri, sedangkan aku dan Ibu memilih diam, seperti hidup di dasar lautan yang kelam dan dingin. Kadang-kadang, Ayah hanya duduk di dalam mobilnya dengan mesin menyala, meredam kebisingan di luar, dan terlindung oleh asap di sekelilingnya.

Ayah seperti berada di planet lain dan hidup dalam pikirannya sendiri. Saat aku dan dia bertatapan, sorot matanya selalu kosong seolah-olah aku tidak benar-benar ada di kehidupannya. Nenek berkata Ayah kerasukan jin dari dunia gaib, sementara menurut Kakek, Ayah perlu memperbaiki hubungannya dengan Tuhan. Belakangan, dokter mengatakan mungkin ada saraf yang salah di dalam otaknya. Aku pikir tidak ada yang tahu persis apa yang dialami Ayah.

Kerap kali aku melihat mata Ibu sembab, mungkin karena diam-diam menangis, tetapi Ibu tidak pernah jujur kepadaku mengenai alasan dia menangis. Ibu malah bercerita bahwa dulu, jauh sebelum Ayah seperti ini, Ayah adalah pria paling romantis yang dia kenal. Saat menjadi kekasih, mereka sering pergi ke pesta dansa dan selalu memenangkan kompetisi berdansa sehingga membuat gadis-gadis iri kepadanya.

"Menyenangkan sekali, Bu."

Ibu tersenyum meski sesaat. Mengingat kenangan itu membuatnya terlihat manis. Malangnya, semua berubah. Jiwa Ayah telah terguncang, bahkan telah mengambil alih semua kebahagiaan yang sempat ada. Aku rasa, tidak satu pun dari kami, aku dan Ibu, yang mengenalinya lagi.

Suatu kali, Ayah memukul kepala Ibu dengan teko kopi panas. Aku tidak tahu apa penyebabnya, tetapi kulihat sebagian kulit kepala Ibu melepuh. Setelah itu, Ayah menyuruhku untuk menulis pikiran-pikiran buruk yang aku miliki tentang dia di selembar kertas sehingga aku bisa membakarnya. Kemudian, Ayah menghilang sementara waktu sehingga untuk sesaat kami mendapatkan sedikit kedamaian.

Ibu duduk diam terpaku seperti seorang pesakitan yang bersalah meski aku tahu semua ini bukan kesalahannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun