Mohon tunggu...
Shabina F
Shabina F Mohon Tunggu... Mahasiswa - A Copy of My Mind

20-something living in the +621

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Media Sosial, Kebebasan Berpendapat dan Fenomena Cancel Culture: Kritik terhadap New Mass Media

21 Oktober 2021   20:47 Diperbarui: 21 Oktober 2021   21:32 678
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perubahan teknologi telah mengubah banyak sekali kebiasaan di dalam masyarakat dan mempengaruhi hampir seluruh bidang kehidupan, tidak terkecuali bidang komunikasi. 

Kebiasaan, pola, serta medium komunikasi masyarakat (massa) ikut berubah sejalan dengan kemajuan teknologi. Saat ini, dunia berada di era media baru (new media) di mana salah satu cirinya adalah komunikasi manusia yang dijembatani oleh teknologi komputer, istilah yang digunakan untuk fenomena ini adalah Computer Mediated Communication (CMC). 

Media sosial adalah salah satu contoh dampak kemajuan teknologi pada komunikasi secara umum. Kemunculan media sosial mengubah pola komunikasi baik lingkup interpersonal sampai yang lebih luas lagi, yakni massa. 

Salah satu perubahan paling nyata karena adanya media sosial adalah masyarakat yang semakin aktif atau berkembang. Jika sebelumnya seorang individu atau masyarakat hanya bisa pasif dan menerima apa yang ditawarkan media massa lama (seperti koran, buku, televisi dan sebagainya), saat ini masyarakat dapat memberikan tanggapan terhadap berbagai isu atau topik yang sedang hangat diperbincangkan di dalam skala kecil (komunitas tertentu) atau skala besar (negara bahkan masyarakat dunia).  

Model komunikasi massa dalam media sosial yang bersifat multi step yaitu memungkinkan sebuah informasi tersebar secara luas dalam waktu singkat karena digabungkan secara bersama-sama dan serentak oleh banyak orang. 

Fenomena ini yang kemudian dikenal dengan viral. Berkaitan dengan fenomena viral tersebut, Jonah Berger and Katherine L. Milkman menyatakan bahwa sebuah konten yang merangsang perasaan positif (kebahagiaan) dan negatif (kemarahan) cenderung lebih cepat menjadi viral dibandingkan dengan konten-konten bermuatan kesedihan (Berger dan Milkman, 2011).

Media sosial dan fenomena viral di dalam masyarakat memiliki sisi positif dan negatif jika dilihat dari berbagai sudut pandang. Salah satu sisi positifnya adalah dapat meningkatkan solidaritas di dalam masyarakat, misalnya, ketika ada orang miskin yang dibantu lewat donasi oleh para warganet setelah viral di media sosial. 

Selain itu, tentu masih banyak hal positif dengan adanya media sosial dan fenomena viral. Namun, terlepas dari semua sisi positifnya, media sosial dan fenomena viral memiliki sisi negatif, salah satunya adalah fenomena cancel culture. 

Fenomena ini belum memiliki pengertian yang diterima secara luas secara akademis, tetapi secara sederhana. Cancel culture dapat diartikan sebagai 'pemboikotan' masyarakat terhadap seorang figur, perusahaan, brand, dan sebagainya. Biasanya cancel culture merupakan fenomena yang terjadi di dunia maya (media sosial) dan ditujukan kepada publik figur tertentu. Sebagai contoh, pada tahun 2020 muncul sebuah tagar #RIPJKRowling. 

Tagar tersebut muncul untuk memboikot J. K. Rowling (penulis seri Harry Potter) karena warganet menganggap novel baru J. K. Rowling yang berjudul Troubled Blood mengandung unsur Transphobia atau kebencian kepada kelompok transgender (Dipna Videlia Putsanra, Tirto.id, 2020). 

J. K. Rowling bukan satu-satunya publik figur yang mengalami cancel culture. Ada beberapa publik figur yang mendapat 'pemboikotan' dari publik karena opini, pandangan, atau pendapat pribadi yang dikemukakan. 

Di Indonesia sendiri, fenomena cancel culture tidak semarak atau seberbahaya seperti di Amerika Serikat atau belahan dunia lain, akan tetapi beberapa publik figur di Indonesia pernah menjadi korban dari fenomena ini. Pada awal tahun 2021, penyanyi Indonesia Nadin Amizah diserang oleh warganet hanya karena menyampaikan pandangan pribadinya. Berikut bunyi pernyataannya:

"Jadilah orang kaya, karena kalau kamu kaya kamu akan lebih mudah jadi orang baik. Dan saat kita miskin, rasa benci kita pada dunia itu sudah terlalu besar sampai kita nggak punya waktu untuk baik sama orang lain lagi." (Dikutip dari wawancara Nadin Amizah di kanal Youtube Deddy Corbuzier). 

Pandangan Nadin Amizah tersebut jika dicerna lebih jauh, sebenarnya tidak menghina atau pun mendiskreditkan kelompok atau pribadi tertentu, Nadin Amizah hanya mengungkapkan pandangan pribadinya. 

Akan tetapi, reaksi pengguna media sosial kemudian memaksa Nadin Amizah untuk meminta maaf hanya karena pendapat pribadinya. Kasus Nadin Amizah sebenarnya tidak terlalu berdampak buruk terhadap korban cancel culture, yakni Nadin Amizah sendiri. 

Ada banyak contoh lain, khususnya di Amerika Serikat, di mana cancel culture kemudian sampai bisa menghancurkan citra bahkan karier seorang publik figur. 

Di Indonesia, baru-baru ini kasus Saipul Jamil bisa menjadi contoh fenomena cancel culture yang menghancurkan karir seseorang. Saipul Jamil adalah seorang publik figur yang sempat dihukum karena perbuatan asusila terhadap anak-anak di bawah umur. Kemudian, setelah bebas dan muncul kembali di layar kaca, para warganet dan masyarakat menolak Saipul Jamil, bahkan muncul petisi yang memboikot Saipul Jamil dari industri hiburan Indonesia. 

Apakah Saipul Jamil layak menjadi korban cancel culture? Jawabannya kembali kepada pandangan masing-masing individu. Namun, apa yang ingin disampaikan di dalam tulisan ini adalah pengaruh media sosial dan fenomena cancel culture dapat mempengaruhi bahkan menghancurkan kehidupan seorang individu, ketika media sosial dimanfaatkan sebagai sarana untuk mengungkapkan ujaran kebencian. Selain itu, dalam kasus Nadine Amizah, cancel culture dapat membuat seseorang takut untuk beropini, dan pada akhirnya mengekang kebebasan berpendapat. 

Referensi

Jonah Berger dan Katherine L. Milkman (2011). What Makes online Content Viral? Journal of Marketing Research, 1-17.

Putsanra, D. V. (2020, September 15). Penyebab RIP JK Rowling Jadi Trending: Bukunya Dinilai Transphobic. Retrieved from Tirto.id: tirto.id

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun