Mohon tunggu...
Sendi Suwantoro
Sendi Suwantoro Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ketua SEMA FTIK IAIN Ponorogo 2023/2024

Jangan pernah meremehkan orang walaupun bersalah jangan memandang diri sendiri ketika punya kelebihan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Benang Kasih Ibu, Menjahit Luka Hati

8 Januari 2024   09:36 Diperbarui: 8 Januari 2024   09:56 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Udara dingin malam menusuk relung jiwaku, tak henti-hentinya angin meraung bagai serigala lapar. Aku meringkuk di bawah gubuk reyot, memeluk lutut erat berusaha menahan panas yang hilang. Di sampingku, Ibu tertidur pulas, helaian napasnya berirama bagai ninabobo pengantar mimpi.

Ibu, perempuan sekuat baja dengan tangan penuh kapalan dan senyum sehangat mentari pagi. Dia lah pelangi setelah badai, bintang penuntun di kegelapan, dan detak jantung setelah henti. Sejak Ayah pergi dihempas ombak ganas, Ibulah tiang penyangga hidupku, Kayla.

Malam ini, kembali mimpi itu menghantui, mimpi tentang rumah mungil dengan jendela menghadap sawah hijau. Mimpi yang beraroma wangi masakan Ibu, mimpi yang membuatku terlempar jauh dari nestapa gubuk reyot ini.

"Bu, kapan kita punya rumah seperti di mimpi?" Lirih suaraku memecah kesunyian malam.

Mata Ibu terbuka, cahaya bintang seolah terpantul di dalamnya. "Kita sudah punya rumah, Kayla," katanya, tangannya mengelus lembut rambutku. "Rumah kasih, rumah yang dibangun dari benang-benang cinta Ibu."


Aku mengerut bingung. Rumah dari benang cinta? Bukankah kita hanya punya gubuk reyot bocor ini?

Baca juga: Ibu, Penjahit Mimpi

Ibu tersenyum. "Cinta tidak perlu terlihat, Kayla. Dia ada di setiap pelukan, setiap suapan masakan, setiap helaan napas kita. Dan cinta itu, benang cinta itu, dia kuat, cukup kuat membangun rumah untuk kita berteduh."

Kata-kata Ibu menusuk relung hatiku, menghangatkannya bagai bara api. Aku memeluk erat Ibu, merasakan detak jantungnya berpadu dengan jantungku. Di saat itu, gubuk reyot kami seolah berguncang, bukan karena angin, tapi karena hembusan kasih sayang yang tak terlihat.

Keesokan harinya, aku berangkat sekolah dengan langkah berbeda. Mimpi rumah kecil masih ada, tapi kini berdampingan dengan mimpi baru. Mimpi di mana aku belajar tak kenal lelah, membanting tulang seperti Ibu, demi memintal benang cinta menjadi lebih kuat.

Malam demi malam, mimpi rumah kecil terus berlayar, ditemani aroma masakan Ibu dan kata-kata penuh cinta. Hari demi hari, aku belajar, bertumbuh, memintal benang kasihku sendiri.

Dan lima tahun kemudian, tepat di hari ulang tahun Ibu, aku berdiri di depan rumah mungil dengan jendela menghadap sawah hijau. Bukan rumah mewah, tapi rumah nyata, rumah yang dibangun oleh benang-benang kasih Ibu dan kegigihan diriku sendiri.

Di ruang tamu, kulihat Ibu duduk tersenyum, tangannya menggenggam piring berisi rendang kesukaanku. Aroma yang sama, senyum yang sama, kasih sayang yang sama.

Aku berlutut di depannya, air mata berlinang. "Terima kasih, Bu. Mimpi rumah kecil kita mungkin belum mewah, tapi rumah nyata ini, dia lebih besar dari semua mimpi, Bu. Karena dia dibangun dari benang kasih Ibu yang tak pernah putus."

Ibu mengusap air mataku, lalu menarikku ke dalam pelukannya. "Kita memang belum punya istana, Kayla. Tapi kita kaya, Nak. Kaya cinta, kaya kasih sayang, kaya benang-benang yang tak terkoyak badai manapun."

Dan saat itu, di pelukan Ibu, aku mengerti. Rumah kecil di sawah tak perlu lagi dikejar. Karena bersama Ibu, kasih sayang kami, dan benang-benang tak terlihat ini, kami sudah lebih dari cukup dan akan terus bersama sampai akhir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun