Mohon tunggu...
Sendi Suwantoro
Sendi Suwantoro Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ketua SEMA FTIK IAIN Ponorogo 2023/2024

Jangan pernah meremehkan orang walaupun bersalah jangan memandang diri sendiri ketika punya kelebihan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mimpi Terbang Ibu dan Aroma Kari Ayam

8 Januari 2024   08:35 Diperbarui: 8 Januari 2024   08:41 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Udara dingin menusuk kulitku, tak terhalang jaket tipis yang kukenakan. Aku merapatkan diri sambil mendongak menatap bintang-bintang, teman setia malamku di gubuk bambu ini. Di sebelahnya, Ibu tertidur pulas, helaan napasnya lembut berbisik di tengah suara jangkrik bersahutan.

Ibu, perempuan sekuat baja dengan tangan penuh kapalan dan senyum sehangat kari ayam buatannya. Dia yang sejak Bapak pergi digulung ombak, menjadi tiang penyangga hidupku, Amira. Dia tukang jahit, tangannya menari-nari menyulap kain perca menjadi baju tercantik di pasar malam.

Malam ini, aku kembali terbangun oleh mimpi itu. Mimpi tentang rumah panggung di atas awan, tempat Ibu dan aku bisa lepas dari dinginnya gubuk ini. Mimpi yang selalu hadir seiring wangi kari ayam Ibu, seolah masakan lezat itu mengandung ramuan semangat yang membuatku mengepakkan sayap imajinasi.

"Ma, kita kapan punya rumah di atas awan?" suara serakku memecah keheningan malam.

Mata Ibu terbuka, sinar bintang seolah terpantul di dalamnya. "Kita sudah punya sayap, Mira," katanya, tangannya mengelus rambutku. "Sayap cinta yang akan mengangkat kita tinggi, lebih tinggi dari rumah awan manapun."

Aku mengernyit bingung. Sayap cinta? "Tapi, Ma, sayap kita nggak terlihat," kataku, sedikit kecewa.

Ibu tersenyum. "Cinta juga nggak perlu terlihat, Mira. Dia ada di setiap pelukan, setiap suapan kari ayam, setiap helaan napas kita. Dan cinta itu, sayap cinta itu, dia kuat, cukup kuat membawa kita terbang melampaui awan manapun."

Kata-kata Ibu menyelinap ke relung hatiku, menghangatkannya bagai bara api. Aku memeluk Ibu erat, merasakan detak jantungnya berpadu dengan jantungku. Di saat itu, gubuk bambu kami seolah berguncang, bukan karena angin, tapi karena hembusan sayap cinta yang tak terlihat.

Baca juga: Ibu, Penjahit Mimpi

Keesokan harinya, aku berangkat sekolah dengan langkah berbeda. Mimpi rumah awan masih ada, tapi kini berdampingan dengan mimpi baru. Mimpi di mana aku belajar tak kenal lelah, membanting tulang seperti Ibu, demi membangun sayap cinta kami menjadi lebih kuat.

Malam demi malam, mimpi rumah awan terus berlayar, ditemani aroma kari ayam dan kata-kata Ibu. Hari demi hari, aku belajar, bertumbuh, mengepakkan sayap tak terlihatku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun