Mohon tunggu...
Aris P. Zebua
Aris P. Zebua Mohon Tunggu... Guru - Guru

Seharusnya pendidikan merupakan hadiah bagi semua orang | Blog pribadi: satyaaris.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan dan Pembentukan Pola Pikir

29 April 2019   21:34 Diperbarui: 1 Juli 2021   08:27 3265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan dan Pembentukan Pola Pikir | freepik

Seorang siswa SMA yang dikenal cerdas di sekolah tiba-tiba mengaku tidak yakin bisa mencapai nilai yang memuaskan pada ujian yang akan datang. Dia juga merasa tidak yakin bisa masuk perguruan tinggi favorit yang dicita-citakan. Hal ini membuatnya semakin giat belajar. Ia menghabiskan waktu hingga larut malam untuk belajar. Sayangnya, aktivitas belajarnya ini dimotivasi oleh rasa cemas dan khawatir yang berlebihan. Ia takut gagal. Ia takut dianggap tidak cerdas lagi seandainya mendapatkan nilai pas-pasan atau jika ia tidak lulus masuk perguruan tinggi idamannya.

Di sisi lain, ada siswa yang dikenal "biasa-biasa saja", namun ketika hasil ujian diumumkan, ia mendapatkan nilai yang bagus. Orang lain, teman-temannya, dan para guru yang menyaksikan ini sering dibuat terkagum-kagum. Ketika ditanyakan bagaimana ia bisa mendapatkan nilai bagus, jawabannya mungkin terkesan biasa saja, ia tidak terlalu mencemaskan hasil ujian, atau yang penting hadapi dulu, apa pun hasilnya terima saja.

Kedua siswa yang penulis ceritakan di atas hanyalah rekaan saja. Meskipun demikian, siswa seperti di atas, bisa jadi sering kita temukan di sekolah. Seorang berprofesi guru atau orang tua murid tentu mengetahui hal ini. Guru atau orang tua kadang heran melihat bagaimana seorang siswa yang cerdas (siswa pertama) bisa begitu cemas ketika ujian tiba. Padahal dengan kecerdasan yang dimiliki, siswa tersebut seharusnya memiliki keyakinan mencapai hasil memuaskan. Sebaliknya, merasa kagum dengan hasil yang diperoleh siswa yang dikenal sebagai siswa "biasa-biasa saja" (siswa kedua).

Baca juga: Menjadi Sukses dengan Mengubah Pola Pikir

Mengapa hal di atas bisa terjadi? Di sini penulis mencoba memberi tanggapan, yakni, jangan-jangan selama ini para guru mendidik siswa secara kurang tepat. Tidak jarang kita mendengar bahwa guru datang ke sekolah, mengajar, lalu pulang. Pada periode tertentu guru memberi evaluasi kepada siswa. Dan pada ujung perjalanan proses pendidikan mereka, pada tingkat tertentu, para siswa harus mengikuti apa yang disebut ujian nasional.

Proses di atas adalah proses yang bisa ditemui di sekolah secara umum di Indonesia. Hal yang ingin penulis tekankan adalah proses pendidikan tersebut bertujuan hanya untuk membuat anak menjadi pintar sehingga mereka harus membuktikannya lewat nilai-nilai yang bagus dan prestasi akademis saja. 

Prestasi akademis bisa berupa juara kelas, juara lomba-lomba di dalam maupun antarsekolah hingga tingkat nasional atau internasional. Ini memang baik, namun bisa juga menimbulkan pengelompokkan antara siswa pintar dengan yang kurang pintar.  Jadi, ini tentang pembentukan pola pikir peserta didik.

Pola Pikir

Secara singkat, pola pikir atau mindset merupakan bagian dari cara berpikir. Pola pikir bisa diartikan sebagai sekumpulan keyakinan tentang sesuatu. Pola pikir adalah sebuah sikap mental yang memengaruhi perilaku seseorang; cara seseorang memaknai sebuah situasi.

Penulis buku psikologi terkemuka, Carol Dweck, dalam bukunya yang tekenal, Mindset: The New Psychology of Success, menuliskan bahwa ada dua pola pikir yang menentukan keberhasilan seseorang yaitu fixed mindset  (pola pikir statis atau tetap) dan growth mindset (pola pikir bertumbuh). 

Menurutnya, fixed mindset adalah memercayai bahwa kemampuan dan bakat anda telah terukir di batu, membuat anda merasa penting untuk terus menerus membuktikan diri. Sedangkan growth mindset menganggap bahwa kualitas diri dapat dikembangkan dengan usaha.

Bagi sebagian pembaca, barangkali dua jenis pola pikir ini bukanlah sesuatu yang baru. Sudah banyak tulisan tentang ini, baik dalam buku maupun di situs-situs internet. 

Oleh karena itu, di sini, penulis mengarahkan tulisan ini pada pembentukan pola pikir dalam dunia pendidikan. Seperti yang sudah dituliskan di atas bahwa jangan-jangan selama ini guru mendidik anak untuk memiliki pola pikir yang tidak bertumbuh. Sekolah menjadi ajang pembuktian diri, bukan pengembangan diri peserta didik.

Pendidikan Kita

Menurut Carol Dweck, orang yang memiliki pola pikir statis (fixed mindset) menghabiskan seluruh waktunya untuk membuktikan diri, baik dalam kelas, karier, maupun relasi. Setiap situasi yang terjadi adalah untuk mengonfirmasi kecerdasan, kepribadian, dan karakter; Akankah aku sukses atau gagal? Apakah aku terlihat cerdas atau bodoh? Apakah aku diterima atau ditolak? Dan seterusnya.

Sebaliknya, growth mindset adalah pola pikir yang meyakini bahwa kemampuan, kepribadian, dan karakter adalah sesuatu yang dapat dikembangkan dengan usaha. Jika kita berusaha, maka kita bisa meningkatkan potensi diri. Ketika dihadapkan pada situasi yang sulit, orang yang memiliki pola pikir ini tidak akan tenggelam dalam kegalauan, tetapi akan segera bangkit karena yakin ada jalan keluar bila ada usaha.

Tanpa disadari, sekolah mungkin membentuk pola pikir statis terhadap siswa. Penulis khawatir bahwa jangan-jangan pendidikan kita bukan mengembangkan growth mindset, melainkan fixed mindset, pada diri siswa. Karena sekolah adalah lingkungan kedua bagi individu untuk mendapatkan pendidikan setelah keluarga. 

Bisa dikatakan perkembangan peserta didik sangat dipengaruhi oleh didikan dari sekolah. Gejala ini ditandai oleh aktivitas-aktivitas di sekolah yang menekankan pada pembuktian diri -- membuktikan bahwa "aku lebih mampu dari yang lain".

Setiap individu dilahirkan dengan kemauan untuk belajar secara intens. Coba perhatikan seorang bayi. Bayi tidak takut membuat kesalahan atau tidak peduli dengan kata orang. 

Mereka bergerak, merangkak, belajar berjalan, terjatuh, tetapi mereka tetap berusaha untuk bangkit dan berjalan lagi. Terus begitu hingga mereka berjalan dengan lancar bahkan mampu berlari. Kemudian mereka lanjut mempelajari hal-hal baru berikutnya. Belajar adalah hal yang menyenangkan bagi mereka.

Seiring bertambahnya usia, mereka mulai memahami sesuatu yang belum mereka ketahui atau tidak pedulikan sebelumnya yaitu evaluasi diri. Mereka mulai memperhatikan bagaimana orang lain memandang mereka. Ada kemungkinan mereka mulai berhenti belajar hal baru karena takut dinilai oleh orang, terlebih jika diberi nilai kurang memuaskan. 

Peran orang tua di sini sangat berpengaruh. Ada orang tua yang secara tidak sadar melabeli anaknya hingga si anak merasa seperti itulah dirinya (seperti kata orang tuanya).

Selanjutnya memasuki taman kanak-kanak. Di sana anak bermain sambil belajar, terutama belajar mengenal sesamanya, saling menghargai, dan lain-lain yang bertujuan untuk membentuk karakter anak. Namun, akhir-akhir ini taman kanak-kanak sudah mengenalkan anak pada angka dan huruf sampai menghitung dan membaca yang sesungguhnya belum saatnya. Bahkan kelulusan dirayakan dengan meniru wisuda perguruan tinggi. Biasanya ini didorong oleh ambisi orang tua agar anaknya terlihat pintar dan sekolah pun memfasilitasinya demi memenuhi keinginan "pelanggan".

Baca juga: Gaya Hidup, Lingkungan Sekitar, dan Pola Pikir Orangtua Jadi Faktor Penghambat Pendidikan Perempuan

Pada level taman kanak-kanak, pendidikan telah membentuk pola pikir statis pada anak. Anak-anak dibentuk agar merasa diri mereka cerdas dan mereka terus menerus diminta untuk membuktikannya di hadapan orang lain. 

Di satu sisi, ini dapat menumbuhkan rasa percaya diri anak. Namun di sisi lain, hal ini bisa menjadi masalah besar jika si anak tidak mampu memenuhi keinginan orang tuanya. Ia merasa dirinya tidak cerdas, tidak mampu, dan ditolak, jika tidak memenuhi "syarat", jika tidak sanggup memenuhi tuntutan orang tua atau orang lain.

Kebiasaan-kebiasaan di atas masih terus berlanjut ke tingkat sekolah dasar (SD) hingga pendidikan menengah. Tidak sedikit orang tua maupun guru yang sering membeda-bedakan anak yang cerdas dan kurang cerdas. Seolah-olah kecerdasan anak tersebut telah terukir di batu, sudah tertanam dalam diri anak. 

Ungkapan-ungkapan seperti, "dia cerdas dari sononya", "anak pemalas", "anak ini gak bisa diapa-apain lagi", dan seterusnya, masih terdengar di lingkungan sekolah, meskipun tidak terang-terangan dikatakan di depan peserta didik. Tetapi, cara berpikir guru seperti ini akan memengaruhi cara mengajar di kelas dan cara memperlakukan siswa di sekolah.

Mungkin itulah sebabnya terdapat beberapa kelompok di antara siswa. Ada yang kelompok "anak pintar", kelompok pemalas, dan kelompok "anak kepercayaan guru", dan lain-lain. 

Munculnya kelompok-kelompok ini secara langsung atau tidak langsung membentuk pola pikir tertentu pada diri siswa. Menurut penulis, fenomena ini merupakan salah satu tanda bahwa peserta didik memiliki pola pikir statis yang terbentuk di sekolah. Kata lain, sekolah turut ambil bagian dalam pembentukan fixed mindset dalam diri peserta didik.

Selain pembentukan kelompok di atas, sebenarnya yang paling terlihat jelas adalah pembedaan jurusan IPA dan IPS. Ini masih menjadi pandangan umum dalam masyarakat kita bahwa siswa dalam kelompok IPA lebih pintar dibanding kelompok IPS. Ini adalah pandangan yang keliru. Bahkan sekolah turut mempertegas pandangan ini ketika pemilihan jurusan dilakukan berdasarkan hasil ulangan ujian atau nilai rapor. Seolah-olah anak yang pintar saja yang layak masuk IPA, sisanya masuk IPS.

Penulis percaya bahwa pengelompokkan jurusan ini pada awalnya untuk mengarahkan dan mengembangkan minat anak pada kelompok ilmu tertentu, bukan untuk membedakan mana yang pintar dan tidak pintar, atau mana yang berkelakuan baik dan mana yang nakal. Sekolah perlu mengembalikan tujuan sejati dari pemisahan kelompok jurusan ini.

Sebuah Saran

Di awal tulisan ini, penulis menceritakan sebuah situasi. Situasi tersebut terjadi karena siswa memiliki pola pikir statis yang terbentuk dari proses pendidikan di sekolah. Penting sekali  bagi sekolah untuk membangun budaya yang menekankan pada pengembangan pola pikir siswa agar memiliki growth mindset. 

Mengapa perlu mengembangkan hal ini? Karena kita sedang berada dalam zaman yang perubahannya supercepat. Tantangan demi tantangan semakin besar dan tidak terprediksi. Jika pendidikan kita menghasilkan profil lulusan yang memiliki fixed mindset, mereka tidak akan bisa menghadapi perubahan yang terjadi.

Ciri orang yang memiliki fixed mindset atau growth mindset bisa dilihat dari bagaimana mereka mengatasi kegagalan dan memaknai kesuksesan. Bagi orang fixed mindset, kegagalan berarti kemunduran, kehilangan sesuatu, dan rasa tidak diterima. Kegagalan adalah hal memalukan yang perlu dihindari. Sedangkan, kesuksesan adalah tentang pembuktian diri, terlihat cerdas dan berbakat.

Bukankah proses pendidikan kita selalu diwarnai oleh pembuktian diri, ingin terlihat cerdas dan berbakat, serta ketakutan akan kegagalan? Para peserta didik selalu dituntut untuk selalu tampil cerdas dan berbakat melalui nilai yang tinggi, kelulusan yang memuaskan, diterima di kampus favorit, dan berbagai prestasi lainnya. 

Usaha atau kerja keras adalah pertanda kelemahan dan kurangnya kecerdasan. "Orang pintar gak perlu belajar", "orang pintar pasti sukses", begitulah ungkapan bagi orang berpola pikir ini. Mereka tidak dididik untuk siap menerima kegagalan, bagaimana menghadapinya dan bagaimana bangkit dari kegagalan.

Penulis tidak bermaksud mengatakan bahwa prestasi akademik tidak perlu atau pembuktian diri adalah sesuatu yang salah. Ada banyak pelajar Indonesia yang begitu membanggakan karena prestasi yang mereka capai. 

Prestasi-prestasi tersebut dicapai dengan kerja keras, setelah melewati berbagai rintangan dan bangkit dari kegagalan. Dengan kata lain, mereka yang berprestasi berhasil mengembangkan potensi diri secara maksimal. Justru hal ini menandakan cara berpikir growth mindset.

Bedanya, dalam cara berpikir fixed mindset, pembuktian diri (prestasi) tersebut berakar dari pemahaman bahwa seseorang memang sudah tercipta seperti itu, bukan karena hasil usaha sendiri. Serta kegagalan dianggap sebagai hal yang memalukan dan tanda kelemahan.

Bagi orang yang memiliki growth mindset, kegagalan adalah tentang kurangnya usaha. Kata lain, anda belum mencapai potensi diri secara maksimal. Oleh karena itu, mereka akan berusaha lebih keras ketika berhadapan dengan kegagalan. 

Orang dengan cara berpikir growth mindset terus belajar hal-hal baru. Kesuksesan adalah tentang pengembangan diri. Seharusnya, pola pikir seperti inilah yang perlu dikembangkan dalam diri peserta didik Indonesia selama mereka menekuni pendidikan di sekolah.

Ini sejalan juga dengan tujuan nasional pendidikan kita yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Cerdas dalam hal ini bukan saja memiliki pengetahuan yang sekadar hafalan, tetapi juga cerdas dalam menghadapi perubahan dunia yang sangat cepat saat ini. Dunia saat ini digambarkan sebagai dunia yang penuh gejolak, serba tidak pasti, ambigu, dan kompleks. 

Baca juga: Pentingnya Memahami Kekuatan Pola Pikir

Orang yang berpikiran statis akan kesulitan menghadapi hal-hal baru yang lewat di depannya karena sibuk dengan diri sendiri. Hanya orang yang memiliki growth mindset yang mampu menghadapi dunia seperti itu. Orang yang terus mengembangkan potensi diri, berani mempelajari hal-hal baru, tidak takut terhadap tantangan ataupun kegagalan.

Seorang pendidik bisa memulai dari dirinya sendiri dengan cara terus mengembangkan diri dan kompetensinya. Guru harus menjadi teladan dalam hal cara berpikir agar lebih efektif dalam mengembangkan potensi yang dimiliki peserta didik. 

Guru sebaiknya memberi pujian atas usaha atau kerja keras anak dalam menggapai hasil belajar yang baik. Memberi penghargaan pada proses, bukan pada hasil semata. Guru harus terlebih dahulu membebaskan diri dari fixed mindset. Tidak mungkin seorang guru dengan fixed mindset dapat menuntun peserta didik untuk memiliki growth mindset.

Demikian pula dengan sekolah. Kalau mau jujur, masih banyak sekolah yang malah menghambat cara berpikir siswa untuk berkembang/bertumbuh. Oleh karena itu, kepemimpinan sekolah harus bisa menciptakan budaya sekolah yang dapat membentuk pola pikir bertumbuh (growth mindset) pada setiap warga sekolah - baik tenaga pendidik, tenaga kependidikan, dan peserta didik. Tradisi lama yang membeda-bedakan peserta didik karena nilai rapor atau sejenisnya perlu dihapuskan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun