“Begini Pak Hari, memang di sekolah kita ini,mungkin juga di sekolah lain, selalu ditemukan kelompok pertemanan kecil. Entah untuk bergosip atau apalah itu namanya.” Pak Budi menjelaskan apa yang ia ketahui tentang organisasi informal dalam sekolah. “Kelompok-kelompok ini berbahaya kalau hanya membicarakan keburukan orang lain,” sambungnya.
“Setuju,”Pak Hari menanggapi.
“Nah menurut kabar ‘entah dari mana’, Bu Meli memang punya kelompok tersendiri. Ya, itu tadi, yang Pak Hari sebutkan nama-namanya. Mereka memang orang-orang dekatnya Bu Meli.”
“O begitu.”
“Iya. Bahkan mereka berani loh bersekongkol, biasa, untuk cari muka ke yayasan,” Budi menjelaskan sedikit yang ia ketahui, “Pak Hari tahu waktu Pak Hasan tanpa sengaja menghilangkan uang kegiatan pensi?”
“Iya saya tahu, yang tujuh jutaan, bukan?”
“Iya. Nah karena kebetulan Pak Hasan dekat dengan Bu Meli dan kelompoknya, masalah kehilangan uang tersebut tidak sampai ke yayasan. Padahal kita semua tahu bagaimana koordinator yayasan soal uang. Ketat. Siapa yang menanggung? Pak Hasan sendiri, kan? ”
“Memangnya Bu Meli dan kawan-kawan tidak ikut membantu?”
“Tidak. Mana mau mereka? Saya kasihan sama Pak Hasan. Padahal kalau disampaikan ke yayasan mungkin bisa dilacak siapa yang mengambil uang tersebut. Di sekolah kan ada cctv.”
“O begitu ceritanya.” Pak Hari sekarang memahami kelompoknya Bu Meli.
Waktu sehari berjalan begitu singkat. Malam pun tiba. Pak Hari di kamarnya sedang menelfon bapak-ibunya. TV dibiarkan menyala terus dengan volume suara kecil. Semua ia ceritakan. Tentang Pak Budi, sekolah, murid-muridnya, juga tingkah laku guru-guru. Tidak lupa ia juga menanyakan kesehatan dan kondisi bapak-ibunya.