“Jadi, Pak Hari tidak dievaluasi dulu?”
“Iya. Maka itu saya keberatan dan kesal. Masa saya diperlakukan begitu. Seolah-olah saya tidak mampu mengajar. Tapi saya tidak tunjukkan saat itu. Nanti malah tambah ruwet,” nada suara Hari terdengar naik. Ternyata ia mengungkapkan kekesalannya terhadap kepala sekolahnya, Bu Meli.
“Betul juga ya. Kalau saya kepala sekolahnya, saya bakal evaluasi dulu. Baru kasih masukan sekiranya ada kekurangan. Bukannya langsung disuruh memperhatikan guru lain.”
“Nah, itu maksud saya.”
“Kepala sekolah macam apa itu? Jangan-jangan ia tidak mengerti tentang perannya sebagai kepala sekolah,” kata Pak Budi.
“Atau mungkin sedang cari muka ke yayasan. Biar dianggap kepala sekolah yang tegas. Tapi, tetap saya tidak setuju dengan caranya. Tidak punya etika,” Pak Hari menanggapi.
“Bisa jadi. Tapi kita jangan menuduh terlalu jauh.” Pak Budi mencoba menghibur teman barunya itu.
“Tapi apa semua guru yang baru masuk diperlakukan seperti itu ya?” Pak Hari ingin tahu keadaan sebelumnya.
“Tidak. Saya memang diawasi oleh kepala sekolah pas mengajar pertama kali. Setelah itu diberi saran,”Pak Budi menceritakan pengalaman pertamanya, “saya ingat persis kepala sekolahnya, waktu itu saya mengajar di SMP, menyarankan agar suara saya lebih keras lagi.”
“Terus, guru-guru yang lain?”
“Setahu saya sih awalnya guru baru harus diawasi terlebih dahulu. Nah, kalau disuruh masuk kelas memperhatikan guru lain, seperti mahasiswa magang, tidak pernah saya dengar. Baru Pak Hari sepertinya.”