Ujian tertulis selesai. Tinggal menunggu hasil. Ternyata ada lima pelamar lain, calon guru matematika pula, seperti dirinya. Tantangan berat. Hatinya tambah menciut.
Setelah istirahat setengah jam, proses wawancara berlangsung dengan Bu Teti, wakil koordinator yayasan. Pak Hari gugup awalnya. Tapi ia merasakan ketenangan ketika Bu Teti menunjukkan keramahannya. Seolah-olah sudah lama berkenalan dengan dirinya.
“Jadi Pak Hari ingin gaji berapa?” tanya Bu Teti tentang gaji.
“Sejujurnya saya tidak tahu standar gaji di sekolah ini berapa, Bu.” Pak Hari kebingungan. Seketika ia teringat honornya yang hanya tiga ratus ribu sebulan. Seandainya ia meminta gaji besar, jangan-jangan dikira tidak tahu diri. Tapi kalau mintanya terlalu kecil, susah juga. Pikirannya terus menimbang-nimbang. Ia tidak berpengalaman soal ini.
“Kenapa, Pak? Bingung?” Bu Teti mencoba mencairkan suasana, “begini saja, saya tawarkan Anda 2,2 juta. Bagaimana, Pak?”
Hatinya terlonjak kaget. Apa? Dua juta dua ratus ribu? Itu besar sekali untuk ukuran kampungnya. Sampai-sampai ia lupa menjawab pertanyaan dari Bu Teti.
“Bagaimana, Pak? Kalau setuju, saya akan sampaikan ke koordinator yayasan. Tinggal menunggu hasil ujian tertulis Bapak.”
“Setuju, Bu,” jawabnya tanpa berpikir panjang lagi. Senang. Namun ada hal yang mengganjal yaitu hasil ujian tertulisnya dan ditambah pertanyaan lain dalam wawancara yang ia jawab seadanya. Itupun terkadang terbata-bata. Hatinya kembali surut.
Ujian tertulis dan wawancara berjalan lancar. Hanya saja Hari tidak percaya diri. Karena itu, sore harinya ia memutuskan pulang ke kampung dengan naik bus. Sanak keluarganya di Depok sudah memberinya semangat. Setidaknya menunggu dua hari lagi untuk pemanggilan. Ia bersikeras untuk pulang sore itu juga.
“Aneh nih Pak Hari. Masa baru segitu saja sudah mundur,” kata Pak Budi malam itu.
Percakapan mereka masih berlanjut hingga larut malam. Pak Hari berkata bahwa ia belum pernah mengikuti proses ujian dan wawancara seperti itu sebelumnya. Sebagai orang kampung, ia ragu akan diterima di sekolah itu. Rasa percaya dirinya belum terbentuk. Lagi pula, itulah pertama kali Pak Hari merantau.