Suara peluit petugas memecah riuh sore di Stasiun Gubeng. Orang-orang berdesakan, koper saling bersenggolan, dan pengeras suara mengumumkan jadwal keberangkatan yang terdengar bersahut-sahutan. Udara panas bercampur dengan aroma besi rel dan keringat penumpang yang tergesa.
Di tengah kerumunan, seorang gadis berkerudung krem berdiri terpaku. Nafasnya memburu, kedua tangannya gemetar saat menggeledah isi tas. Ia membuka resleting dengan terburu-buru, mengeluarkan buku, handphone, bahkan lip balm --- tapi tidak ada dompet.
"Ya Allah..dompetku tiketnya juga di situ," desisnya.
Matanya berkeliling, mencoba mencari di lantai, di bangku tunggu, bahkan melirik setiap orang yang lewat. Beberapa penumpang menatap sekilas, lalu berlalu. Gadis itu akhirnya terduduk di kursi besi, menunduk sambil memeluk tasnya.
Saya yang sejak tadi menunggu kereta Sri Tanjung tujuan Jember, memperhatikannya. Wajahnya pucat, bibirnya bergetar. Ada campuran panik dan pasrah di matanya.
"Permisi, Kak..." suaranya serak ketika kami berpapasan. "Dompet saya hilang, tiket kereta ada di dalamnya. Saya mau pulang ke Jember... tapi..." ia menelan ludah, matanya memerah.
Saya mengangguk pelan. "Nama keretanya?"
"iSri Tanjung, jam tujuh malam."
"Kebetulan saya juga naik itu. Ayo, saya bantu belikan tiketnya. Anggap saja ini rezeki perjalanan," ujar saya sambil tersenyum menenangkan.
Kami menuju loket, tapi petugas menggeleng. "Tiket ekonomi sudah habis, tinggal VIP."
Saya menoleh pada Laila. "Sepertinya kamu pulang dengan sedikit kemewahan malam ini," ucap saya mencoba mencairkan suasana. Senyum tipis akhirnya muncul di wajahnya.
Kereta pun berangkat. Di gerbong VIP, kursi empuk dan pendingin udara membuat suasana terasa jauh dari hiruk pikuk stasiun tadi. Laila mulai bercerita: tentang kuliahnya di Surabaya, kesibukan yang membuatnya lelah, dan rasa lega akhirnya bisa pulang.
Di luar jendela, lampu-lampu kota Surabaya berganti dengan kegelapan sawah, rembulan setia menemani perjalanan.
Sesampainya di Stasiun Jember, Laila berdiri sambil menatap saya.
"Terima kasih, Kak. Kalau tidak ada Kakak, mungkin saya masih duduk panik di Gubeng... dan tak akan pernah tahu rasanya duduk di gerbong VIP," katanya sambil tertawa kecil.
Saya membalas senyumnya. Dalam hati saya sadar --- terkadang, pertemuan tak terduga di tengah kesulitan justru menjadi bagian terbaik dari sebuah perjalanan pulang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI