Mohon tunggu...
Erni Lubis
Erni Lubis Mohon Tunggu... Guru - Pengajar dan pembelar

Mencoba menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Buzzer di Instagram

14 Oktober 2019   07:48 Diperbarui: 14 Oktober 2019   09:48 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: twitter/@annikacmedia

Saya baru mengikuti perkembangan dunia perpolitikan tepatnya saat menjelang pemilihan presiden 2019, dimana mayoritas teman-teman dan dosen-dosen saya di kampus adalah pendukung Prabowo Subianto, dan saya bertanya-tanya ada apa dengan Joko Widodo? 

Saat itu saya mulai mencari informasi, saya aktif di Youtube dan Instagram, jadi saya memanfaatkan dua media sosial tersebut. Secara tidak langsung, saya belajar politik melalui media sosial. 

Dari berbagai informasi yang saya dapatkan, anehnya saya lebih pro Jokowi, dan mulai bertanya-tanya kenapa teman-teman dan dosen-dosen saya tidak menyukai Jokowi? Bahkan di grup-grup whatsapp mereka lebih sering mengshare berita-berita hoaks yang menurut saya kadang tidak masuk akal. 

Menjelang pilpres saya merasa seperti apa yang dikatakan bung Amas di laman kompasiana.com,

menjadi generasi yang mencerahkan pikiran kita masing-masing. Sebelum menjadi lilin yang membakar dirinya guna menerangi lingkungan sekitar, kita perlu menyucikan diri.

Sebagai warga yang telah diberi kebebasan berdemokrasi, saya mulai mengshare info-info yang mencerahkan tentang dua kandidat presiden tersebut melalui status whatsapp, karena jujur saja saya masih takut jika share di instagram atau facebook, takut menjadi tersangka penyebar kebencian. 

Minimal teman-teman di kontak saya melihat apa yang saya share dan mungkin mereka bisa sedikit tercerahkan, meski tidak menutup kemungkinan malah ada yang mengomentari saya kafir, tidak paham politik, antiislam, dan lucunya lagi saya malah di bilang PKI. 

Mayoritas teman-teman saya adalah lulusan S1 Pendidikan Agama Islam, wajar jika mereka kaget saya mendukung Jokowi yang memang diberi label semacam itu oleh antijokowi. 

Saya rasa teman-teman saya tidak jauh berbeda dengan saya, belajar politik melalui media sosial, dan dari kajian-kajian Ustadz youtube, yang secara otomatis berhasil membuat mereka ikut-ikutan menggaungkan Khilafah Islamiyah dan Demokrasi Haram.

Saya baru tahu kata Buzzer setelah saya mulai aktif menulis di kompasiana dua minggu ini, melalui topik pilihan ini Buzzer di Ruang Publik, saya tahu  definisi buzzer adalah pendengung yang berkontribusi besar dalam membangun opini publik.

Kawan-kawan dan dosen-dosen saya adalah followers dari akun instagram.com/fuadbakhup, menjelang pilpres akun ini aktif di media sosial menyebarkan berita-berita yang intinya menjelek-jelekkan Jokowi dan mendukung Prabowo. Waktu itu, saya sempat bingung, ini akun yang mengaku dakwah tetapi kenapa malah menjelek-jelekkan seseorang. Akun tersebut sekarang sudah tidak aktif semenjak Prabowo kalah di pilpres. 

Selain itu ada pula akun  instagram.com/indonesiabertauhid.id , dan masih banyak lagi akun-akun semacam itu, yang mengaku berdakwah tetapi malah membagikan postingan menyebar kebencian. Ini adalah akun yang mendukung Prabowo. 

Adapula akun yang mendukung Jokowi, menjelek-jelekkan prabowo, seperti instagram.com/indonesiavoice_  dan masih banyak lagi akun-akun yang serupa. Akun-akun pendukung Jokowi dan Prabowo itu seperti berafiliasi, berjejaring, bersatu sama lain, bukan supaya Indonesia damai, tetapi malah memecah belah bangsa.

Menjelang pilpres, logika saya mengatakan akun pendukung Jokowi lebih bisa diterima, tetapi pasca pilpres, dengan adanya kejadian-demi kejadian terutama demo mahasiswa dan konflik Papua, mereka tetap konsisten tidak mengkritik pemerintah, konsisten memuji-muji kinerja Jokowi. Dan tiba-tiba saja saya menjadi sepakat dengan apa yang dikatakan Rocky Gerung di Indonesia Lawyer Club,

Kalau ada prestasi, tak perlu juga diberi apresiasi. Biasa saja, itu sudah tugas pemerintah bekerja benar. 

Dari sini saya semakin tercerahkan bahwa dalam hidup ini kita tidak bisa mempercayai siapapun, tidak bisa mempercayai politisi, pemerintah, dan buzzer-buzzer itu. Bahkan sebenarnya kita juga tidak bisa memaksa diri untuk mempercayai pasangan kita seratus persen, bukan? 

Maka sebaiknya memang kita berusaha untuk mencerahkan pikiran kita masing-masing agar tidak mudah terpengaruh oleh orang lain, dan media apapun. Sehingga kita bisa menilai sendiri dengan logika akal sehat kita, mana yang bisa diterima dan yang tidak. 

Karena kenyataannya, akademisi seperti dosen  dan mahasiswa yang tidak mau belajar, membenarkan apapun yang mereka terima, tanpa menyaringnya. Jadi, mari kita belajar menyehatkan akal masing-masing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun