Mohon tunggu...
Ngainaya Zahrotul Fitriyah
Ngainaya Zahrotul Fitriyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Jurusan Sosiologi di Universitas Airlangga

Obsessed with learning new things in life.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Bias Media Sosial: Fenomena Pembatasan Konten Berbau Palestina di Instagram dan TikTok

11 Maret 2024   14:17 Diperbarui: 11 Maret 2024   14:26 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://pin.it/5qZV4aV2x 

Apa itu Bias?

Terdapat beberapa konsep yang telah dikemukakan untuk menjelaskan adanya ketidakadilan yang terjadi dalam proses interaksi manusia dalam kehidupan sosial, salah satunya adalah konsep bias. Konsep bias dalam kehidupan sosial bisa dipahami sebagai kecenderungan sikap yang menunjukkan dukungan atau kesukaan terhadap suatu kelompok tertentu dibandingkan kelompok yang lain sehingga mempengaruhi penilaian dan pengambilan keputusan seseorang. Bias dalam praktiknya didefinisikan sebagai segala bentuk kecenderungan yang kemudian dapat membatasi seseorang untuk tidak memihak terhadap suatu pertanyaan atau masalah (Popovic & Huecker, 2023). 

Bayangkan ketika seorang guru mempertanyakan apakah muridnya yang memenangkan lomba lari melakukan kecurangan karena dirinya berbadan gemuk, ini adalah bentuk bias yang umum kita ketahui, bahwa orang yang gemuk ekuivalen dengan sifat lambat dan malas. Sifat bias ini secara disadari maupun tidak, menjadi akar tumbuhnya kebencian. Pada kasus yang ekstrem, bias sosial dapat berdampak pada terjadinya kasus-kasus pelecehan, rasisme, dan bentuk diskriminasi lainnya.

Pergeseran interaksi sosial kedalam ruang digital akibat modernisasi, tak luput membawa konsep bias pada dinamika media sosial. Platform digital seperti Instagram dan TikTok adalah contoh beberapa media sosial yang memiliki bias dalam kebijakannya. Hal ini tentunya sangat berpengaruh terhadap konten-konten yang terunggah dan yang muncul pada beranda para pengguna. 

Dengan milyaran jumlah pengguna di berbagai belahan dunia, bias pada kebijakan Instagram dan TikTok sangat berkontribusi pada pembangunan opini publik. Realitas ini dijelaskan dalam teori relasi kuasa Michel Foucault, bahwa terdapat hubungan antara kuasa dan pengetahuan (Syafiuddin, 2018). Dalam hal ini, pihak perusahaan Instagram dan TikTok sebagai pemilik pengetahuan dan kekuasaan. Setiap kekuasaan selalu menghasilkan dan memproduksi kebenarannya sendiri, sehingga dari sini, masyarakat umum digiring untuk mempercayai kebenaran yang telah ditetapkan tersebut.

Bias pada Konten Mengenai Palestina

Bias media sosial pada kebijakan platform Instagram dan TikTok dapat kita jumpai dalam fenomena pembatasan hingga penghapusan konten berbau Palestina. Banyak pengguna dari dua media sosial tersebut menyatakan bahwa konten mereka yang memuat kata Palestina sengaja dibatasi, disensor, dan dihapus secara sepihak dengan dalih telah melanggar kebijakan komunitas yang ditetapkan. Bahkan seringkali akun mereka diblokir secara otomatis. Namun, pada kenyataannya, konten-konten tersebut telah mematuhi atau bahkan jauh dari apa yang seharusnya merupakan pelanggaran terhadap kebijakan yang ada. Fenomena ini paling banyak dialami oleh para pengguna dan aktivis di negara-negara barat seperti US, UK, dan Eropa. Hal tersebut menimbulkana kecemasan akan adanya ketidakadilan moderasi bersamaan dengan masalah pendudukan paksa dan serangan yang terjadi di Gaza, Palestina.

Pada media sosial Instagram, pengguna biasa dengan jumlah pengikut sedikit, hingga selebriti dengan followers puluhan juta terkena dampak bias media sosial ketika sekedar mengunggah konten mengenai Palestina. Seorang pengguna Instagram dengan 866 pengikut, Hena Mustafa yang berasal dari New York menyatakan bahwa ketika dirinya memposting konten tekait perkembangan di Palestina semenjak Israel melancarkan serangannya seminggu sebelumnya, cerita Instagram, foto, dan videonya mendapatkan penonton yang rendah (Paul, 2023). Hal ini diketahuinya setelah mendapatkan informasi dari beberapa teman dan pengikutnya. Lebih buruknya lagi, akun miliknya menjadi hilang dalam pencarian dan postingannya tidak dapat diberi tanggapan. Pengalaman serupa dialami oleh supermodel terkenal Bella Hadid yang memiliki 60.4 juta pengikut. Dalam cerita Instagram yang diunggah pada bulan April 2022 lalu, Bella membagikan tangkapan layar yang menunjukkan bahwa Instagram telah melarang postingan ceritanya mengenai Palestina. Hampir satu juta pengikutnya tidak dapat melihat cerita dan postingan tersebut. Bahkan, sebelumnya di bulan Juli 2020, Instagram menghapus postingan cerita Bella yang hanya sekedar menunjukkan foto paspor ayahhnya yang memuat tempat kelahirannya, yakni Palestina. Instagram mengklaim bahwa postingan tersebut telah memuat salah satu dari hal-hal yang dilarang, diantaranya kekerasan, ujaran kebencian, pelecehan dan pembulian.

Pada media sosial TikTok, para penggunanya juga mengeluhkan pembatasan dan penghapusan konten serta pemblokiran akun yang menunjukkan dukungan pro-Palestina. Kreator konten TikTok mengkaim bahwa konten atau video yang memiliki hastag, caption, hingga sound yang memuat kata ‘free Palestine’ atau dukungan terhadap masyarakat Palestina dapat membahayakan akun mereka. Tak hanya koten, komentar yang diunggah dan menyangkut Palestina juga tak luput dari pembatasan pihak TikTok. Namun, hal ini tidak serta-merta memadamkan semangat netizen untuk menyuarakan tanggapan dan dukungannya kepada Palestina. Mereka memikiki trik tersendiri, yakni dengan “mulai memecah” kata-kata sehingga tidak secara eksplisit menyebutkan atau menuliskan kata Palestina (Gultom, 2023). Sebagai contoh, netizen mengganti huruf ‘A’ pada kata Palestina dengan icon ‘@’ dimana netizen lain tetap mampu memahami maksudnya, tetapi dapat mengurangi resiko peringatan dari TikTok. Strategi lainnya dilakukan oleh pengguna TikTok dengan menggunakan hashtag Israel pada konten pro-Palestina agar mampu mengelabuhi algoritma yang ada.

Karena Bug? Apakah Benar?

Menanggapi hal ini, Direktur Komunikasi perusahaan Meta, Andy Stone memberikan pernyataannya bahwa permasalahan ini disebabkan oleh adanya bug yang berdampak secara merata di seluruh dunia dan tidak ada kaitannya dengan subjek dari konten yang diunggah (Shankar, Dixit & Siddiqui, 2023). Pernyataan yang sama juga diberikan oleh perwakilan dari perusahaan TikTok, bahwa mereka tidak menyeleksi atau menghapus konten berdasarkan sensitivitas politik dan kebijakan ini berlaku secara merata pada seluruh konten yang diunggah di platform tersebut. Namun, pernyataan dari kedua platform tersebut tidak dipercaya oleh kelompok pembela hak sipil. Tuduhan pelanggaran yang dilakukan dianggap tidak menghargai hak digital masyarakat Palestina selama berlangsungnya konflik.

Pentingnya Media Sosial yang Non-Bias, Utamanya di Era Saat Ini

Dalam era modern ini, masyarakat memiliki kecenderungan untuk lebih menyukai informasi yang dapat diakses secara instan dibandingkan harus mempelajari informasi mengenai topik tertentu melalui buku atau arsip fisik. Realitas ini menunjukkan bahwa sosial media memiliki peran yang vital terhadap penyebaran informasi mengenai apa yang benar-benar terjadi pada masyarakat di Gaza, Palestina. Bias media sosial yang terjadi memiliki dampak serius pada bagaimana masyarakat dunia dan pengguna media sosial dalam memahami dan menanggapi konflik berkepanjangan antara Israel dan Palestina. Kebijakan terhadap media sosial pun dinilai tidak general, yakni sangat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah masing-masing negara. Hal ini menunjukkan bagaimana penguasa atau mereka yang berada pada struktur kekuasaan tertinggi memiliki pengaruh yang kuat terhadap pihak yang dikuasai (sub-ordinat). Kelompok yang berkuasa ini wujudnya dapat berupa negara, pemilik media ataupun sejenisnya yang menguasai narasi dalam masyarakat. Sama halnya dengan yang diungkapkan oleh Louis Althusser dalam teori analisis medianya tentang struktural Marxism bahwa media massa adalah bagian dari alat atau apparatus ideologi negara (Afkar, 2017). Namun, disamping ketidakadilan dari bias media sosial yang terjadi, adanya media sosial juga berdampak positif dimana masyarakat menjadi semakin united secara bersama-sama melawan ketidakadilan tersebut. Netizen tidak menyerah dan terus berusaha menyuarakan fakta-fakta yang mereka pelajari atau alami sehingga dapat mengedukasi masyarakat lain di berbagai belahan dunia.

Daftar Pustaka

Popovic, A., & Huecker, M. R. (2023). Study Bias. In StatPearls. StatPearls Publishing.

Syafiuddin, A. (2018). Pengaruh Kekuasaan Atas Pengetahuan (Memahami Teori Relasi Kuasa Michel Foucault). Refleksi Jurnal Filsafat dan Pemikiran Islam, 18(2), 141-155.

Afkar, L. (2017). Representasi Ideologi Aparatur Negara dalam Media (Studi Konstruksi Realitas Wartawan Humas Pemda DKI Mengenai Lingkungan Pemda DKI dalam Pemberitaan Website Beritajakarta. com). Jurnal Studi Komunikasi dan Media, 21(2), 203-224.

Gultom, H. (Selasa, 24 Oktober 2023). Benarkah Facebook, Instagram, X, YouTube, TikTok Bungkam Unggahan Pro-Palestina di Perang Israel. Tribunnews. Diakses pada 25 Oktober 2023, dari https://m.tribunnews.com/internasional/2023/10/24/benarkah-facebook-instagram-x-youtube-tiktok-bungkam-unggahan-pro-palestina-di-perang-israel?page=4

Paul, K. (Rabu, 18 Oktober 2023). Instagram Users Accuse Platform of Censoring Posts Supporting Palestine. Theguardian. Diakses pada 25 Oktober 2023, dari https://www.theguardian.com/technology/2023/oct/18/instagram-palestine-posts-censorship-accusations

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun