Mohon tunggu...
Sapraji
Sapraji Mohon Tunggu... Konsultan Politik | Manajemen | Analis Kebijakan Publik | Peneliti | Penulis

Political Consultant, Management, Public Policy Analyst and Founder of IDIS INDONESIA GROUP

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Ketika Guru Mundur, Siapa yang Menuntun?

4 Agustus 2025   15:33 Diperbarui: 5 Agustus 2025   17:58 456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tentang guru | Image by Kompas.id/HERYUNANTO 

Dari Rp660 triliun belanja pendidikan tahun 2024, lebih dari 60% terserap untuk belanja rutin---seperti gaji ASN, tunjangan, dan belanja birokrasi. Guru Sekolah Rakyat yang bukan ASN dan tidak memiliki NUPTK praktis luput dari skema perlindungan struktural.

UU Sisdiknas yang direvisi pada 2024 juga tidak secara eksplisit mengakui keberadaan sekolah komunitas dan model pendidikan alternatif dalam sistem pendidikan nasional. 

Akibatnya, program seperti Sekolah Rakyat bisa tampak hadir di permukaan, tapi rapuh dari dalam karena tidak ditopang oleh infrastruktur hukum dan keadilan fiskal.

Padahal dalam laporan Sajogyo Institute (2022) dan Komnas HAM (2023), pendidikan alternatif terbukti menjangkau kelompok marginal: anak-anak adat, komunitas marjinal kota, hingga kawasan konflik. Jika guru-guru yang mengabdi di wilayah-wilayah ini justru ditinggalkan sistem, kita sedang menciptakan jurang ketimpangan yang baru.

Indonesia bukan satu-satunya negara yang berjuang memperluas akses pendidikan. Namun banyak negara belajar dari pengalaman bahwa pendekatan "seragam" sering kali gagal menjawab kompleksitas lapangan. 

Sedangkan di India, program Alternative and Innovative Education menyediakan skema khusus bagi guru pendidikan komunitas, termasuk pelatihan kontekstual dan insentif lokal. Di Brasil, model Escola Cidad menjamin pengakuan hukum bagi sekolah komunitas dan memberi pelibatan dalam perencanaan kurikulum lokal.

Di Indonesia, pendekatan semacam itu belum menjadi arus utama. Kita masih sibuk mengejar akreditasi dan angka partisipasi, tapi lupa bertanya: apakah yang diajarkan relevan? Apakah yang mengajar merasa dihargai?

Langkah pertama yang perlu dilakukan negara adalah mengakui bahwa sekolah rakyat dan guru komunitas adalah bagian dari sistem pendidikan nasional. 

Pengakuan formal ini menjadi pintu masuk untuk menyusun skema perlindungan: baik insentif, jaminan sosial, maupun otonomi kurikulum berbasis lokal.

Kedua, penempatan guru harus mempertimbangkan dimensi sosial dan geografis, bukan sekadar administrasi. Libatkan komunitas lokal dalam penugasan, bangun sistem asrama atau dukungan logistik berbasis wilayah, dan buat model rotasi fleksibel agar guru tidak merasa terbuang jauh dari komunitas asalnya.

Ketiga, tinjau ulang seluruh kerangka kebijakan yang memaksa guru tunduk pada mekanisme teknokratis yang seragam. Karena pendidikan sejati tak mungkin tumbuh dalam ruang yang kaku. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun