Mohon tunggu...
Sapraji
Sapraji Mohon Tunggu... Konsultan Politik | Manajemen | Analis Kebijakan Publik | Peneliti | Penulis

Political Consultant, Management, Public Policy Analyst and Founder of IDIS INDONESIA GROUP

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Ketika Guru Mundur, Siapa yang Menuntun?

4 Agustus 2025   15:33 Diperbarui: 5 Agustus 2025   17:58 459
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tentang guru | Image by Kompas.id/HERYUNANTO 

Beberapa hari terakhir, kabar mundurnya ratusan guru Sekolah Rakyat mencuat. Mereka yang awalnya siap menjalankan tugas ke berbagai penjuru negeri kini menarik diri. 

Alasannya? Penempatan terlalu jauh dari domisili, kurangnya kesiapan infrastruktur, dan absennya perlindungan negara bagi pendidik nonformal. Satu demi satu mundur, dalam diam yang memekakkan telinga.

Namun ini bukan sekadar soal logistik. Ini adalah gejala krisis yang lebih dalam: ketika semangat mendidik rakyat tak lagi sejalan dengan arah kebijakan negara. 

Ketika guru memilih mundur, pertanyaan dasarnya bukan kenapa mereka pergi tetapi kenapa negara tak bisa membuat mereka bertahan?

Mengapa Mereka Mundur?

Program Sekolah Rakyat diluncurkan sebagai bentuk kehadiran negara di wilayah terluar, terdepan, dan tertinggal (3T). Tujuannya mulia: menjangkau anak-anak yang selama ini tercecer dari sistem pendidikan formal. 

Dalam pelaksanaannya, pemerintah merekrut 1.469 guru dari jalur seleksi nasional. Namun belum sebulan berjalan, sekitar 143 guru telah mundur, terutama karena penempatan tidak realistis secara geografis dan logistik (Medcom, 31 Juli 2025).

Jika dihitung mundur dalam tiga hari terakhir saja, rata-rata sekitar 40 hingga 70 guru mundur setiap harinya. Ini bukan angka kecil. 

Sekitar 10 persen dari total formasi awal memilih undur diri sebelum benar-benar mengajar. Situasi ini membuktikan bahwa semangat tidak cukup tanpa perencanaan yang matang dan dukungan yang layak.

Menteri Koordinator PMK dan Mendikbudristek berdalih bahwa pengunduran ini "tidak akan mengganggu proses belajar" karena masih ada 50.000 guru yang belum ditempatkan. 

Tetapi itu justru memperlihatkan betapa skema pengelolaan tenaga pengajar berjalan dengan logika administratif, bukan pendekatan manusiawi.

Dalam testimoni yang beredar di berbagai jaringan pendidikan alternatif, sebagian guru mengaku siap mengabdi, namun tak disiapkan secara layak. 

Penugasan ke daerah yang bahkan belum bisa diakses kendaraan roda empat, ketidakjelasan dukungan tempat tinggal, hingga minimnya jaminan keamanan sosial membuat para guru mempertanyakan kembali pilihan mereka.

Ini bukan soal gaji. Sebagian dari mereka adalah aktivis pendidikan komunitas, lulusan pendidikan guru yang sebelumnya terlibat di sekolah nonformal. 

Mereka terbiasa hidup sederhana. Tapi yang tak bisa diterima adalah ketidakhadiran negara dalam menjamin perlindungan dasar: rasa aman, rasa dihargai, dan rasa dilibatkan dalam merancang perubahan.

Filsafat Ki Hadjar yang Dilupakan

Ilustrasi icon sekolah rakyat guru dan murid . (Foto; idisign/AI)
Ilustrasi icon sekolah rakyat guru dan murid . (Foto; idisign/AI)

Mundurnya guru-guru ini sejatinya bukan karena kekurangan semangat, tetapi karena sistem yang gagal menghormati semangat itu. Di sinilah relevansi pemikiran Ki Hadjar Dewantara menjadi penting. 

Filsuf pendidikan ini meletakkan dasar bahwa pendidikan sejatinya harus memerdekakan. Bahwa guru adalah pamong---penuntun yang hadir di depan (ing ngarsa sung tuladha), di tengah (ing madya mangun karsa), dan di belakang (tut wuri handayani).

Namun hari ini, guru yang mestinya jadi teladan justru disingkirkan oleh sistem. Birokrasi kaku dan desain kebijakan top-down membuat guru tidak punya ruang untuk menjalankan peran etik dan kulturalnya. Dalam banyak hal, mereka diposisikan sekadar sebagai pelaksana program, bukan subjek yang didengar.

Ketika guru-guru idealis seperti ini memilih mundur, berarti bukan mereka yang kalah. Tapi sistem yang gagal memelihara harapan. Meski mengklaim anggaran pendidikan 20% dari APBN, pemerintah sering kali abai pada kelompok nonformal dan komunitas. 

Dari Rp660 triliun belanja pendidikan tahun 2024, lebih dari 60% terserap untuk belanja rutin---seperti gaji ASN, tunjangan, dan belanja birokrasi. Guru Sekolah Rakyat yang bukan ASN dan tidak memiliki NUPTK praktis luput dari skema perlindungan struktural.

UU Sisdiknas yang direvisi pada 2024 juga tidak secara eksplisit mengakui keberadaan sekolah komunitas dan model pendidikan alternatif dalam sistem pendidikan nasional. 

Akibatnya, program seperti Sekolah Rakyat bisa tampak hadir di permukaan, tapi rapuh dari dalam karena tidak ditopang oleh infrastruktur hukum dan keadilan fiskal.

Padahal dalam laporan Sajogyo Institute (2022) dan Komnas HAM (2023), pendidikan alternatif terbukti menjangkau kelompok marginal: anak-anak adat, komunitas marjinal kota, hingga kawasan konflik. Jika guru-guru yang mengabdi di wilayah-wilayah ini justru ditinggalkan sistem, kita sedang menciptakan jurang ketimpangan yang baru.

Indonesia bukan satu-satunya negara yang berjuang memperluas akses pendidikan. Namun banyak negara belajar dari pengalaman bahwa pendekatan "seragam" sering kali gagal menjawab kompleksitas lapangan. 

Sedangkan di India, program Alternative and Innovative Education menyediakan skema khusus bagi guru pendidikan komunitas, termasuk pelatihan kontekstual dan insentif lokal. Di Brasil, model Escola Cidad menjamin pengakuan hukum bagi sekolah komunitas dan memberi pelibatan dalam perencanaan kurikulum lokal.

Di Indonesia, pendekatan semacam itu belum menjadi arus utama. Kita masih sibuk mengejar akreditasi dan angka partisipasi, tapi lupa bertanya: apakah yang diajarkan relevan? Apakah yang mengajar merasa dihargai?

Langkah pertama yang perlu dilakukan negara adalah mengakui bahwa sekolah rakyat dan guru komunitas adalah bagian dari sistem pendidikan nasional. 

Pengakuan formal ini menjadi pintu masuk untuk menyusun skema perlindungan: baik insentif, jaminan sosial, maupun otonomi kurikulum berbasis lokal.

Kedua, penempatan guru harus mempertimbangkan dimensi sosial dan geografis, bukan sekadar administrasi. Libatkan komunitas lokal dalam penugasan, bangun sistem asrama atau dukungan logistik berbasis wilayah, dan buat model rotasi fleksibel agar guru tidak merasa terbuang jauh dari komunitas asalnya.

Ketiga, tinjau ulang seluruh kerangka kebijakan yang memaksa guru tunduk pada mekanisme teknokratis yang seragam. Karena pendidikan sejati tak mungkin tumbuh dalam ruang yang kaku. 

Ki Hadjar Dewantara mengajarkan bahwa pendidikan harus sesuai kodrat alam dan zaman. Kita sedang hidup di zaman krisis sosial, maka pendidikan pun harus menjawab krisis itu, bukan memperparahnya.

Mundurnya guru Sekolah Rakyat adalah sinyal. Bukan soal logistik semata, tapi kegagalan negara memelihara idealisme yang tumbuh dari bawah. Dalam situasi ini, kita semua perlu bertanya: kalau guru sudah tak lagi di depan, siapa yang menuntun?

Karena kalau negara hanya hadir saat merancang, tapi absen saat menjalankan, maka pendidikan rakyat akan terus jadi proyek setengah hati. Dan bila guru-guru yang tulus pun pergi, barang kali bukan mereka yang kalah tapi kita yang diam.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun