Tetapi itu justru memperlihatkan betapa skema pengelolaan tenaga pengajar berjalan dengan logika administratif, bukan pendekatan manusiawi.
Dalam testimoni yang beredar di berbagai jaringan pendidikan alternatif, sebagian guru mengaku siap mengabdi, namun tak disiapkan secara layak.Â
Penugasan ke daerah yang bahkan belum bisa diakses kendaraan roda empat, ketidakjelasan dukungan tempat tinggal, hingga minimnya jaminan keamanan sosial membuat para guru mempertanyakan kembali pilihan mereka.
Ini bukan soal gaji. Sebagian dari mereka adalah aktivis pendidikan komunitas, lulusan pendidikan guru yang sebelumnya terlibat di sekolah nonformal.Â
Mereka terbiasa hidup sederhana. Tapi yang tak bisa diterima adalah ketidakhadiran negara dalam menjamin perlindungan dasar: rasa aman, rasa dihargai, dan rasa dilibatkan dalam merancang perubahan.
Filsafat Ki Hadjar yang Dilupakan
Mundurnya guru-guru ini sejatinya bukan karena kekurangan semangat, tetapi karena sistem yang gagal menghormati semangat itu. Di sinilah relevansi pemikiran Ki Hadjar Dewantara menjadi penting.Â
Filsuf pendidikan ini meletakkan dasar bahwa pendidikan sejatinya harus memerdekakan. Bahwa guru adalah pamong---penuntun yang hadir di depan (ing ngarsa sung tuladha), di tengah (ing madya mangun karsa), dan di belakang (tut wuri handayani).
Namun hari ini, guru yang mestinya jadi teladan justru disingkirkan oleh sistem. Birokrasi kaku dan desain kebijakan top-down membuat guru tidak punya ruang untuk menjalankan peran etik dan kulturalnya. Dalam banyak hal, mereka diposisikan sekadar sebagai pelaksana program, bukan subjek yang didengar.
Ketika guru-guru idealis seperti ini memilih mundur, berarti bukan mereka yang kalah. Tapi sistem yang gagal memelihara harapan. Meski mengklaim anggaran pendidikan 20% dari APBN, pemerintah sering kali abai pada kelompok nonformal dan komunitas.Â