Mohon tunggu...
Widodo Judarwanto
Widodo Judarwanto Mohon Tunggu... Penulis Kesehatan

Dr Widodo Judarwanto, pediatrician. Telemedicine 085-77777-2765. Focus Of Interest : Asma, Alergi, Anak Mudah Sakit, Kesulitan Makan, Gangguan Makan, Gangguan Berat Badan, Gangguan Belajar, Gangguan Bicara, Gangguan Konsentrasi, Gangguan Emosi, Hiperaktif, Autisme, ADHD dan gangguan perilaku lainnya yang berkaitan dengan alergi makanan.www.klinikdrwidodo.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dihapusnya PSP, Arah Baru Kebijakan Pendidikan Indonesia ?

14 April 2025   20:16 Diperbarui: 14 April 2025   19:45 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi editing pribadi

Program Sekolah Penggerak (PSP) diluncurkan sebagai upaya reformasi pendidikan untuk mendorong transformasi satuan pendidikan melalui pendekatan kepemimpinan pembelajaran dan budaya sekolah yang berpihak pada murid. Namun, dengan terbitnya Keputusan Mendikdasmen Nomor 14/M/2025, Program Guru Penggerak Dihentikan. Artikel ini menganalisis kelemahan PSP berdasarkan pendekatan ilmiah pendidikan, mencakup ketimpangan akses, implementasi yang tidak seragam, dan lemahnya dukungan kelembagaan. Dalam konteks dinamika politik dan kebijakan publik, penghentian ini dapat dibaca bukan sebagai kegagalan mutlak, melainkan sebagai refleksi terhadap perlunya desain kebijakan pendidikan yang lebih adaptif, inklusif, dan berkelanjutan. Temuan ini merekomendasikan agar prinsip-prinsip positif dari PSP tetap dijaga dan diintegrasikan ke dalam sistem pendidikan nasional secara lebih sistematis dan terstruktur.

Program Sekolah Penggerak (PSP) digagas sebagai inisiatif strategis Kemendikbudristek untuk mentransformasi pendidikan Indonesia melalui pendekatan pembelajaran yang berpihak pada murid, penguatan kepemimpinan sekolah, dan kolaborasi guru. Program ini menjadi wadah aktualisasi bagi para pendidik yang ingin membawa perubahan di sekolah masing-masing dengan semangat gotong-royong dan inovasi. Namun, seperti banyak kebijakan pendidikan lainnya, PSP menghadapi tantangan dalam implementasi, terutama ketika dihadapkan pada kompleksitas sistem pendidikan Indonesia yang sangat beragam.

Dengan terbitnya Keputusan Mendikdasmen Nomor 14/M/2025, Program Guru Penggerak Dihentikan secara resmi. Kebijakan ini menimbulkan berbagai tanggapan, dari keprihatinan terhadap potensi hilangnya momentum perubahan, hingga pertanyaan mengenai efektivitas dan relevansi program tersebut dalam jangka panjang. Artikel ini bertujuan memberikan analisis ilmiah terhadap kelemahan-kelemahan PSP berdasarkan literatur kebijakan pendidikan, serta mempertimbangkan faktor politik, birokrasi, dan konsistensi visi pembangunan pendidikan nasional.

Penghentian Program Sekolah Penggerak bukan semata-mata cermin dari kegagalan, tetapi mencerminkan adanya tantangan mendalam dalam implementasi kebijakan pendidikan yang bersifat top-down di tengah sistem yang terdesentralisasi. Kelemahan PSP meliputi ketimpangan akses, pendekatan yang belum kontekstual terhadap kondisi lokal, ketergantungan pada aktor individu tanpa penguatan kelembagaan, dan kurangnya dukungan dari pemerintah daerah. Ditambah dengan lemahnya evaluasi berbasis data dan dinamika politik yang memengaruhi kesinambungan kebijakan, program ini mengalami hambatan struktural yang signifikan.

Meskipun demikian, nilai-nilai luhur dari PSP seperti pembelajaran berpihak pada murid, kolaborasi guru, dan kepemimpinan transformatif tetap relevan dan tidak seharusnya dihapuskan begitu saja. Kebijakan baru yang akan menggantikan PSP sebaiknya menyerap esensi terbaik program ini, dengan perbaikan menyeluruh pada aspek desain, pelaksanaan, dan pengawasan berbasis data. Pendidikan yang bermutu tidak dibentuk oleh program sesaat, tetapi oleh arah kebijakan yang konsisten dan berkelanjutan.

 Kelemahan Program Sekolah Penggerak (PSP)

Meskipun Program Sekolah Penggerak (PSP) telah memberikan kontribusi positif terhadap transformasi pembelajaran di sejumlah sekolah, program ini tidak luput dari berbagai kelemahan struktural dan implementatif yang perlu ditinjau secara ilmiah. Salah satu kelemahan mendasar terletak pada ketimpangan akses. Banyak sekolah di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) kesulitan mengikuti ritme program karena keterbatasan infrastruktur digital, SDM yang belum siap, dan akses pelatihan yang terbatas. Ketika desain program bersifat nasional, namun realitas di lapangan sangat beragam, maka disparitas menjadi tantangan utama.

Desain top-down yang tidak sepenuhnya adaptif terhadap kondisi lokal. Meskipun program ini secara konsep ingin mendorong kepemimpinan transformatif dan pembelajaran kontekstual, banyak guru dan kepala sekolah merasa terbebani oleh indikator-indikator administratif yang rigid. Dalam kajian policy implementation, keberhasilan suatu program tidak hanya tergantung pada desain, tetapi pada adaptabilitasnya di tingkat pelaksana (Pressman & Wildavsky, 1973). Ketika pelaku di sekolah tidak cukup diberdayakan untuk melakukan adaptasi lokal, maka muncul resistensi dan keterasingan terhadap semangat program itu sendiri.

Ketergantungan pada figur pemimpin perubahan yang terbatas jumlahnya. PSP terlalu menggantungkan harapan pada Guru Penggerak dan Kepala Sekolah Penggerak. Padahal perubahan sistemik memerlukan ekosistem kolaboratif yang melibatkan seluruh warga sekolah, termasuk tenaga kependidikan, komite sekolah, dan pemerintah daerah. Tanpa penguatan kelembagaan secara menyeluruh, perubahan akan bersifat individual dan tidak berkelanjutan.

Kebijakan belum sepenuhnya didukung oleh sinergi lintas level pemerintahan. Banyak guru dan kepala sekolah mengeluhkan kurangnya dukungan dari dinas pendidikan daerah, terutama dalam hal alokasi anggaran, integrasi program dengan kegiatan rutin, dan pengakuan formal terhadap capaian Guru Penggerak. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah. Tanpa pendekatan kolaboratif antarlembaga, kebijakan sebaik apa pun akan tersendat di jalur birokrasi.

Kurangnya evaluasi longitudinal berbasis data empiris. Hingga saat ini, belum ada laporan evaluasi nasional yang komprehensif mengenai dampak PSP terhadap hasil belajar murid. Padahal, dalam pendekatan evidence-based policy, pengambilan keputusan seharusnya bertumpu pada data dan kajian dampak yang jelas. Tanpa hal ini, kebijakan menjadi rentan terhadap tekanan politis dan kurang akuntabel terhadap publik.

Kebijakan PSP berada dalam arus perubahan politik dan pergantian kepemimpinan kementerian. Dinamika politik sering kali menjadi faktor yang mendistorsi kontinuitas kebijakan pendidikan. Ini menggarisbawahi pentingnya education policy stability, yakni keberlanjutan kebijakan lintas periode pemerintahan, agar inisiatif-inisiatif yang berdampak tidak terputus di tengah jalan.

Analisis Ilmiah Pendidikan

Program Sekolah Penggerak pada dasarnya membawa semangat perubahan dari bawah (bottom-up reform). Ia memindahkan fokus kebijakan dari pusat ke level mikro: ruang kelas dan kepemimpinan sekolah. Pendekatan seperti ini sejalan dengan teori distributed leadership (Spillane, 2006), yang menyatakan bahwa perubahan sistemik akan lebih efektif ketika didorong oleh aktor-aktor kunci di tingkat sekolah, bukan semata regulasi dari atas.

Penghentian program ini memunculkan kekhawatiran akan berhentinya momentum perubahan budaya sekolah. Banyak alumni PGP mengaku bahwa program ini adalah momen penting mereka "melek pendidikan yang berpihak pada murid" dan menjadi pemimpin pembelajaran sejati. Dalam studi-studi pendidikan, perubahan budaya organisasi memerlukan waktu panjang dan tidak boleh dihentikan di tengah jalan. Maka, penghentian PSP berisiko membuat proses tersebut stagnan.

Namun, harus diakui pula bahwa implementasi PSP belum sempurna. Ketimpangan akses, lemahnya dukungan dari beberapa pemerintah daerah, hingga beban administratif guru yang masih berat, menjadi catatan penting. Dalam tinjauan implementation science, suatu program reformasi harus dibangun dengan adaptive capacity dan dukungan lintas sektor agar berkelanjutan 

Apakah PSP sudah tidak relevan? Tidak juga. Justru nilai-nilai yang dibawa seperti kolaborasi, refleksi, dan keberpihakan pada murid makin dibutuhkan saat ini. Persoalannya, bila hanya berhenti di pelatihan dan tidak menjadi kebijakan institusional yang mengikat, transformasi tidak akan mengakar. Di sinilah pemerintah pusat perlu hadir bukan dengan sekadar mengganti program, tetapi memperkuat ekosistem pendidikan yang telah terbentuk.

Dalam konteks global, pendekatan serupa PSP telah terbukti berdampak positif di berbagai negara. Di Finlandia, transformasi sistemik dimulai dari empowering teachers dan memperkuat kepemimpinan lokal. Di Singapura, Professional Learning Communities (PLCs) diperkuat oleh kebijakan nasional, bukan sekadar inisiatif sporadis. Ini menunjukkan bahwa program seperti PSP harus dilihat bukan sebagai proyek sementara, melainkan investasi jangka panjang.

Penghentian PSP bukan berarti akhir dari perubahan. Tetapi tanpa pengganti yang lebih kuat dan berbasis nilai yang sama, kita berisiko kehilangan arah dalam upaya memperbaiki kualitas pendidikan. Maka, perlu disusun alternatif kebijakan yang tetap menjaga ruh PSP: berpihak pada murid, memberdayakan guru, dan menguatkan komunitas belajar di sekolah.

Saran Kepada Pemerintah

Meskipun PSP membawa angin segar dalam wajah pendidikan Indonesia, kelemahan struktural, ketimpangan akses, lemahnya dukungan kelembagaan, dan absennya evaluasi berbasis data menjadikannya belum mampu menjadi gerakan pendidikan yang kokoh dan inklusif. Penghentian program ini bukan serta-merta kegagalan total, melainkan peluang untuk mengkaji ulang desain dan implementasinya.

Daripada menghapus sepenuhnya, sebaiknya nilai-nilai baik dalam PSP—seperti pembelajaran berpihak pada murid, kolaborasi guru, dan kepemimpinan transformatif—diintegrasikan dalam kebijakan pendidikan nasional yang lebih menyeluruh, inklusif, dan berkelanjutan  dan perlu dirancang lebih cermat dan lebih ilmiah Topik Pilihan KOMDIK 2025. 

Pemerintah perlu melakukan audit menyeluruh terhadap pelaksanaan PSP dengan pendekatan evidence-based policy, agar keputusan penghentian dapat dipahami secara transparan dan menjadi pelajaran untuk perumusan program berikutnya. Selain itu, penting untuk melibatkan lebih banyak pemangku kepentingan di tingkat daerah dan sekolah dalam proses perencanaan dan evaluasi kebijakan, sehingga kebijakan dapat lebih kontekstual dan inklusif.

Ke depan, kebijakan transformasi pendidikan hendaknya lebih fleksibel terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan geografis tiap daerah. Pendekatan partisipatif, keberlanjutan pelatihan guru, serta pemanfaatan data real-time harus menjadi fondasi dalam program-program reformasi pendidikan berikutnya. Dengan demikian, semangat perubahan yang sudah dibangun melalui PSP tidak hilang, melainkan berkembang menjadi gerakan pendidikan nasional yang lebih matang dan berakar.

Pemerintah perlu membangun kebijakan lanjutan yang mengintegrasikan nilai-nilai dari PSP ke dalam kurikulum, pelatihan guru, dan manajemen sekolah secara permanen. Pendekatan hybrid berbasis komunitas belajar, dikombinasikan dengan dukungan kelembagaan dari pusat dan daerah, akan lebih efektif mendorong perubahan berkelanjutan.

Para guru, kepala sekolah, dan alumni PGP harus tetap menjadi agen perubahan meski program formal telah dihentikan. Dengan semangat kolaboratif dan reflektif, transformasi pendidikan tetap bisa dilakukan dari ruang kelas—dengan atau tanpa program—selama visi pendidikan yang berpihak pada murid tetap dijaga.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun