Dari Yogyakarta ke Pati butuh kurang lebih 8 jam, jika ditempuh dengan transportasi umum. Mula-mula saya naik bus kota ke terminal. Kemudian naik bus besar ke Semarang. Di Semarang ganti bus besar jurusan Surabaya atau Pati. Turun di Terminal Pati. Selanjutnya untuk menuju rumah orang tua, dari situ naik bus mini sekitar 30 menit (kalau lancar).
Jika mudik lewat Solo, ganti busnya lebih banyak. Dari rumah naik bus kota ke Terminal Yogyakarta. Selanjutnya naik bus besar ke Solo. Sampai di Terminal Solo ganti bus besar menuju Purwodadi. Sesampai di Purwodadi ganti bus yang lebih kecil untuk mencapai Pati. Dari Pati ke desa nenek moyang saya naik bus mini.
Mengapa tidak mudik pakai kereta api? Karena tidak ada rel dari Yogyakarta ke kampung halaman saya. Kebetulan kok ya tujuan mudik saya di luar garis edar kereta api Indonesia.
Alternatif selain bus adalah mobil travel. Bisa pilih melalui Semarang atau Solo. Namun, kalau naik mobil travel saya tetap turun di Terminal Pati. Dari situ tetap harus menyambung dengan bus mini untuk sampai di kampung halaman.
Apakah tidak bisa minta antar mobil travelnya sekalian? Minta antar sampai tempat domisili dengan tambahan sejumlah ongkos? Kadangkala bisa. Tergantung sopirnya. Bersedia mengantar atau tidak? Kalau sopir bersedia, ongkos tambahannya 100 persen. Sama persis dengan jumlah ongkos perjalanan dari Yogyakarta ke Pati. Jadi, harus membayar dobel.
Namun, itu semua merupakan cerita masa lampau. Belasan tahun silam. Sebab dari masa ke masa, makin ke sini justru makin tak keruan perkembangannya. Alih-alih milih rute. Busnya saja nyaris tidak ada lagi. Saya sekarang cuma bisa mudik naik bus melalui rute Semarang. Mengapa? Sebab bus trayek Purwodadi ke Pati entahlah apa kabarnya. Sementara yang dari Pati ke desa tempat tinggal orang tua, jelas busnya tinggal kenangan.
Untuk naik mobil travel idem ditto. Sekarang cuma tersedia rute yang melalui Semarang. Yang notabene lebih jauh sehingga perlu waktu lebih lama.
Terkadang saya bertanya-tanya. Apa negara tidak tahu kalau banyak trayek angkutan umum yang mati, sedangkan tak semua warga masyarakat punya kendaraan pribadi? Yang tidak memiliki kendaraan pribadi mungkin persentasenya lebih sedikit daripada yang punya. Akan tetapi, hal itu tidak serta-merta berarti negara boleh cuek 'kan?
Sudah 80 tahun Indonesia merdeka, tetapi kemerdekaan bertransportasi saya ketika mudik tidak ada sama sekali. Justru sebaliknya, kalau mudik pakai transportasi umum saya merasa dikadalin. Terlalu lama di jalan. Terlalu banyak mengeluarkan ongkos. Tak ada pilihan. Tak ada keterhubungan antar moda transportasi.
Saya marah, nih. Mana itu aksesibilitas? Mana itu keterjangkauan? Ckckck. Katanya Kemerdekaan Bertransportasi itu tentang kemudahan, kenyamanan, dan keamanan dalam mengakses dan memanfaatkan berbagai moda transportasi? Mana buktinya?