Mohon tunggu...
Samsul Bakri
Samsul Bakri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Masih belajar menulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Mahasiswa Ekonomi Undip

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Beberapa Dosa Bung Karno dalam Buku Demokrasi Kita

1 Desember 2022   05:14 Diperbarui: 1 Desember 2022   05:26 1692
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tulisan ini tidak ada maksud untuk menjelekan Bung Karno. Karena saya yakin, apa yang menjadi kritikan Hatta kepada Bung Karno dalam buku Demokrasi Kita hanyalah perbedaan paradigma saja. 

Apa yang hendak diurai oleh Bung Hatta dalam buku tersebut adalah adanya ketidaksinkronan antara idealisme (bukan aliran filsafat) dan realitas demokrasi Indonesia. "Idealisme yang bertujuan menlahirkan sistem pemerintahan yang adil, yang melaksanakan dengan demokrasi dengan sebaik-baiknya, dan  kemakmuran bersama. " Tapi Realitanya, kata Bung Hata "Pemerintah yang dalam perkembangannya kelihatan semakin jauh dari demokrasi yang sebenarnya."

Idealisme dan realita yang digunakan Bung Hata tersebut menjadi metode sistematis yang dipakai untuk memperlihatkan relasi yang saling menegasikan (penolakan dan penyangkalan) antara cita-cita apriori (awal) dan  priori (kenyataan).  

Terkadang membaca buku atau tulisan itu sama dengan membaca alur pikiran yang disusun oleh si penulis. Dan memang  tulisan itu adalah salah satu cara dalam menyampaikan isi pikiran. Kalau dalam bahasa lain, salah satu metode bagaimana gerak akal mengahasilkan pengetahuan yang baru. Dalam buku, alur berpikir itu bisa kita ketahui dari pendahuluan buku dan daftar isi.

Setelah mencermati buku Demokrasi Kita, alur pikiran yang dibangun Hatta adalah pertama-tama memaparkan seperti apa hendaknya demokrasi yang dipakai Indonesia, mengingat banyaknya model negara demokrasi. Dia menguraikan secara jelas, demokrasi yang tepat bagi Indonesia. 

Dengan pendekatan sejarah dan budaya yang berlaku di masyarakat desa. Setelah memberi pikiran demokrasi yang tepat bagi Indonesia, Bung Hatta mencoba menelaah kritis kondisi yang berlaku saat itu. 


Dalam kesimpulanya ia mengatakan bahwa Bung Karno tidak konsekuen pada idealisme demokrasi, dan mengarahkan demokrasi Indonesia pada demokrasi aristokrasi -- bahkan mungkin totalitarianisme.

Kritik Bung Hatta terhadap demokrasi barat

Ada tiga jenis demokrasi yang dibahas oleh Bung Hata, pada hakekatnya, demokrasi monarki, demokrasi aristokrasi dan demokrasi daulat rakyat. Dengan berbagai alasan, ketiga bentuk demokrasi memiliki celah dan kekuarangan. Tapi yang paling menjadi pembeda dalam pikiran demokrasi Hatta adalah kritiknya pada demokrasi daulat rakyat milik J.J. Roseau. 

Demokrasi yang lahir dari Revolusi Perancis didorong oleh semangat kebebasan individu dari ikatan feodalisme. Semangat kebebasan individu ini pada akhirnya menjauhkan antara  realita dengan trilogi dalam semboyan revolusi -- 'Kemederkaan-Persamaan- Persaudaraan'.  Dalam praktinya, hanya kebebasan yang betul-betul konsekuen nyata adanya. Orang-orang lupa pada persamaan dan persaudaraan.

Selagi Revolusi Perancis hendak mengupayakan 'sama rata, sama rasa'---Sebab itu setelah kemerdakan ada persamaan dan persaudaraan. Tapi itu pun, makna kemerdakaan hanya selesai pada kebebasan untuk bebas memilih dalam politik. 

Dalam politik: yang kaya, yang miskin, laki-laki, perempuan punya hak yang sama untuk memilih dan dipilih menjadi Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat. Tetapi lebih dari itu, tidak ada persamaan. Dalam perekonomian tetap berlaku dasar  yang tidak sama. 

Malahan, semangat indivudualisme yang dikobarkan oleh semangat revolusi Perancis membuat kapitalisme makin tumbuh subur. Dalam bahasa Bung Hatta, semangat individualisme tersebut melahirkan aristotokrasi ekonomi. 

Jika sistem aristokratsi dimaknai segelintir orang yang punya kuasa, berarti aristokrasi ekonomi menurut defini Hatta bisa saya maknai -- dalam  perekonomian hanya segelintik yang punya kuasa atas modal atau sumber-sumber ekonomi untuk hidup lainya  -- hal ini sama dengan kapitalisme.

Ketidakadaan kesamaan dalam ekonomi, dimana pun itu pasti diikuti dengan pertentangan kelas. Dimana ada pertentangan kelas, mesti pula ada pula pertengkaran kepentingan, dan di tiap pertengkaran pasti selalu ada yang kuat dan yang lemah. 

Kepentingan yang punya kuasa kuat atas modal memilki watak sebagai penindas dan yang lemah sebagai objek penindas atau sebagai yang ditindas. Ketika masyarakat sudah tersusun seperti demikian maka,tuis Bung Hatta "dimana ada golongan yang ditindas dan menindas, disitu sukar didapat persaudaran"

Jika kita cermati argumen-argumen tadi, sebenarnya, Revolusi Perancis telah menggali kuburanya sendiri menggunakan asasnya yang pertama, 'kemerdekaan' . Trilogi yang diagungkan ternyata dibatalkan karena kebebasan yang harusnya melahirkan persamaan dan persaudaran justru melahirkan perbedaan dan penindasan. 

Semacam ada paradoks dalam kebebasan -- sebagai penopang dua dari trilogi lainya, justru kebebasan menjadi penghalang menuju ke cita-cita Revolusi Perancis.

Demokrasi Sosial Indonesia

"Nyatalah bahwa demokrasi yang semacam itu tidak sesuai dengan cita-cita perjuangan Indonesia yang melaksanakan terciptanya dasar-dasar perikemanusian dan keadilan sosial" Demokrasi politik saja tidak dapat memuculkan persamaan dan persaudaraan, maka perlu ada juga demokrasi ekonomi. Sebab dari gagalnya subtansi Revolusi Perancis, menurut pemaknaan saya, terletak pada ketimpangan ekonomi dalam semangat indivudualisme. 

Maka, persaudaran dan persaamaan akan lahir jika kebebasan harus diberi 'syarat-syarat' tertentu yang menjadi pembeda agar kebebasan tidak melahirkan ketimpangan. Jika mengutip ungkapan Bung Hatta, agar demokrasi tidak berkahir pada ketimpangan, maka Indonesia harus menganut konsep demokrasi sosial. 

Jika dicermati secara serius, setidak-tidaknya ada tiga sumber yang menghidupkan cita-cita demokrasi sosial Indonesia. Yang pertama, paham sosialis barat. Yang perlu diambil dari paham ini menurut Bung Hatta, ada dua, yaitu dasar-dasar perikemaunusian yang diperjuangkanya dan yang menjadi tujuanya. 

Kedua ajaran islam, yang menuntut kebenaran dan keadilan ilahi dalam masyarakat serta persaudaraan antar manusia sebagai makhluk Tuhan, sesuai dengan sifat Allah yang maha pengasih dan maha penyayang. Ketiga, pengatahuan bahwa masyarakat Indonesia hidup berdasarkan kolektivisme.

Selain ketiga unsur itu, perpaduan antara ketiganya harus harus diperkuat dengan nilai-nilai demokrasi yang sudah hidup dalam masyarakat Indonesia. Bangunan demokrasi yang akan menjadi dasar pemerintahan Indonesia di kemudiah hari haruslah dari perkembangan demokrasi Indonesia yang asli. 

Menurut Bung Hatta, yang 'asli' itu ada dalam praktik hidup masyarakat desa. Demokrasi desa tersebut 'di-idealisir' dalam perkembangan kebangsaan terdaulu, kemudian disusun berdasarkan konsep negara modern.

Satu pertnyaan yang mungkin muncul adalah: bukankah sistim kehidupan Indonesia pra kemerdakaan berbentuk feodalisme? Memang benar, tapi pada hal-hal tertentu terdapat nilai-nilai demokrasi dalam alam desa Indonesia di masa lalu. 

Bentuk demokrasi tersebut terletak pada kepemilikan bersama atas tanah oleh masyarakat desa dan kebebasan mereka untuk memakmurkan tanah tersebut melalui usaha-usaha mandiri mereka. 

Kelanjutan dari itu, didapati pula, segala usaha yang berat, yang tidak bisa dikerjakan tenaga orang-seorang, dikerjakan bersama secara gotong royong. Bukan saja hal-hal yang menurut sistem yuridis barat yang dilakukan seperti itu, tetapi juga yang mengenai hal-hal privat seperti mendirikan rumah, mengerjakan sawah, mengantar mayat ke kuburan, dan lain-lain.

Adat hidup semacam itu membawa kebiasaan bermusyawarah. Segala hal yang mengenai kepentingan umum dibicarakan bersama, dan keputusan diambil dengan kata sepakat. Seperti disebut dalam pepatah Minangkabau Bulek aie dek pambuluah, bulek kato dek mufakat (bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat). Kebiasaan mengambil keputusan dengan musyawarah dan mufakat melahirkan lembaga rapat di tempat tertentu, di bawah pimpinan kepala desa. Semua orang dewasa di antara anggota-anggota asli desa tersebut berhak hadir dalam rapat itu

Ada dua anasir lagi dari demokrasi desa yang asli di Indonesia, yaitu hak untuk mengadakan protes bersama terhadap aturan-aturan raja yang dirasa tidak adil, dan hak rakyat untuk menyingkir dari daerah kekuasaan raja, apabila mereka merasa tidak senang lagi hidup di sana. Benar atau tidak, yang kemudian ini sering dianggap sebagai hak orang-seorang untuk menentukan nasib sendiri.

Hak mengadakan protes bersama itu biasa dilakukan sampai pada masa terakhir ini. Apabila rakyat merasa keberatan sekali atas peraturan yang dikeluarkan pembesar daerah, maka rakyat datang berbondong-bondong ke alun-alun, di muka rumah pembesar, dan duduk di situ beberapa lama tanpa berbuat apa-apa. Itu merupakan demokrasi damai. 

Tidak sering rakyat Indonesia dulu, yang sabar dan suka menurut, berbuat begitu. Akan tetapi, jika mereka sampai berbuat begitu, maka akan menjadi pertimbangan penguasa, apakah dia akan mencabut kembali atau mengubah perintahnya.

Meskipun, jika merujuk pada tulisan Frans Magnis-Suseno, 'Etika Politik'  bentuk demonstrasi di alam feodalisme Jawa yang seperti itu tidak dapat dikatakan demokratis, karena berubah atau tidaknya suatu kebijakan masih tergantung pada kehendak pribadi dari seorang raja. 

Artinya raja masih berkuasa atas penuh. Sedangkan demokrasi yang sesungguhnya sangat menghendaki suara rakyat sebagai dasar kebijakan, bukan karena niat baik dari seorang raja semata. Tapi untuk sementara saya akan pisahkan persoalan ini. Fokus saya adalah menjelaskan gagasan-gagasan Bung Hatta tentang demokrasi asli Indonesia yang lahir dari alam desa.

Kelima anasir demokrasi asli itu: rapat, mufakat, gotong royong, hak mengadakan protes bersama, dan hak menyingkir dari daerah kekuasaan raja, dipuja dalam lingkungan pergerakan nasional sebagai pokok yang kuat bagi demokrasi sosial, yang akan dijadikan dasar pemerintahan Indonesia Merdeka di masa datang.  

Tidak semua dari yang tampak bagus pada demokrasi desa dapat dipakai pada tingkat yang lebih tinggi dan modern. "Tetapi sebagai dasar ia dipandang berguna." Sebab bagi Bung Hatta "bagaimanapun, orang tak mau melepaskan cita-cita demokrasi sosial, yang sedikit-banyak bersendi pada organisasi sosial di dalam masyarakat asli sendiri".

Dalam segi politik, dilaksanakan sistem perwakilan rakyat dengan musyawarah, berdasarkan kepentingan umum. Demokrasi desa yang begitu kuat hidupnya juga menjadi dasar bagi pemerintahan otonomi yang luas di daerah-daerah sebagai cerminan dari "pemerintahan yang diperintah". 

Dalam segi ekonomi, semangat gotong royong yang merupakan koperasi sosial, adalah dasar terbaik untuk membangun koperasi ekonomi sebagai dasar perekonomian rakyat. Keyakinan tertanam, bahwa hanya dengan koperasi dapat dibangun kemakmuran rakyat. Dalam segi sosial, diadakan jaminan untuk perkembangan kepribadian manusia. Manusia bahagia, sejahtera, dan susila, menjadi tujuan negara.

Dosa-dosa Soekarno

Buku Demokrasi Kita disusun oleh Bung Hata dalam masa-masa penerapan demokrasi terpimpin. Pada masa ini terlihat benar tindakan-tindakan pemerintah yang bertentangan dengan UndangUndang Dasar. Presiden yang menurut Undang-Undang Dasar 1950 adalah presiden konstitusional yang tidak bertanggung jawab atas pembentukan kabinet, dan tidak dapat diganggu gugat, mengangkat dirinya sendiri menjadi formatur kabinet. 

Dengan itu, dia melakukan suatu tindakan yang bertanggung jawab tetapi tidak memikul tanggung jawabnya. Pemerintahan yang dibentuk dengan cara yang ganjil itu diterima begitu saja oleh parlemen, dengan tidak menyatakan keberatan yang prinsipil. Malahan ada yang membela tindakan Presiden dengan dalil "keadaan darurat".

Dalih "keadaan darurat" tersebut yang sampai hari ini, jika saya amati, dibenarkan oleh beberapa 'oknum' yang mengklaim diri sebagai sukarnois, marhaenis, bla bla bla... dan seterusnya. Kata mereka, dalam keadaan darurat, tindak tegas dari seorang pemimpin itu diperlukan. 

Tapi mereka bahkan tidak punya definisi ataupun kategori, keadaan darurat seperti apa yang membuat langkah-langkah yang yang tidak sesuai konstitusi dapat dibenarkan? Sayangnya mereka tidak punya dasar argumen untuk itu. 

Jadi siapapun boleh menjadi diktator dan menerapkan totalitarianisme dan menggunakan dalih keadaan darurat sebagai pembenaran. Lagi pula, bukankah sudah jelas, bahwa demokrasi itu daulat rakyat. Maka rakyat berhak menentukan apa yang dianggap baik dan dianggap buruk oleh mereka. Bung Karno seorang diri tidak berhak untuk mengkalaim diri sebagai perwakilan alam pikir baik dan buruk rakyat Indonesia .

Tidak berhenti di situ, kemudian Presiden Soekarno membubarkan Konstituante yang dipilih rakyat, sebelum pekerjaan mereka membuat Undang-Undang Dasar baru selesai. 

Dengan suatu dekrit, Presiden menyatakan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945. Menurut Undang-Undang Dasar 1945, Presiden Republik Indonesia adalah kepala eksekutif. Parlemen yang ada menurut Undang-Undang Dasar 1950 dan tersusun menurut pemilihan umum 1955 diakui sebagai Dewan Perwakilan Rakyat sementara, sampai terbentuk Dewan Perwakilan Rakyat baru berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945.

Menurut Bung Hata tindakan yang  bertentangan dengan Konstitusi dan merupakan suatu coup d'etat,  tapi dia dibenarkan oleh partai-partai dan suara yang terbanyak di Dewan Perwakilan Rakyat. Golongan minoritas menganggap perbuatan Presiden itu sebagai suatu perkosaan, tetapi mereka menyesuaikan dirinya dengan kenyataan yang baru itu. 

Dengan pendirian seperti itu, Dewan Perwakilan Rakyat sudah melepaskan sendiri hak kelahirannya. Tidak lama sesudah itu, Presiden Soekarno mengambil langkah lagi. Setelah timbul perselisihan dengan Dewan Perwakilan Rakyat tentang jumlah anggaran belanja. Dengan suatu penetapan, Dewan Perwakilan Rakyat dibubarkan, dan disusunnya suatu Dewan Perwakilan Rakyat baru menurut konsepsinya sendiri.

Saya pikir, sampai hari ini, tidak ada satu negara pun yang mengklaim diri sebagai negara demokrasi, tapi orang-orang legislatif dipilih berdasrakan kehendak bebas dari seorang presiden saja. Bayangkan saja, uu telah mengamanatkan bahwa DPR dipilih langsung oleh rakyat,tapi dengan 'seenaknya saja' Soekarno berhak menentuka orang-orang itu. 

Dasar filosofi kenapa sampai DPR dipilih langsung oleh rakyat adalah, agar mereka menjadi keterwakilan rakyat di setiap pengambilan keputusan di tingkat pusat hingga daerah. Lalu jika anggota DPR dipilih langusung oleh seorang, dimana asas keterwakilnya? Bagi saya ada, tapi mewakili keinginan dan kehendak subjektif seorang Sukarno, bukan rakyat.

Maka bagi saya, gugrlah kita sebagai negara demokrasi jika lembaga eksekutif sudah tidak independen lagi. Tidak ada beda lagi antara negara demokrasi dengan pemerintahan kerajaan kuno.  

Dalam sistem pemerintah monarki (kerajaan)  klasik, kekuasan raja bersifat absolut, apa yang menjadi kehendak raja, itulah undang-undang. Tidak ada mekanisme yang mampu membatasi keabsolutan raja. Kekusasan terpusat pada raja seorang diri. Perkembangan pemikiran filsafat politik melahirkan konsep negara demokrasi modern sebagai  bentuk kritik terhadap bentuk pemerintahan yang mengabsolutkan kuasa raja.

Tentu saya tidak akan mengurai panjang pokok ini. Tapi yang ihwal dasar pembeda antara negara demokrasi modern adalah mekanisme pembagian kekuasan di tiap-tiap lembaga negara. 

Ada yang membuat, menjalankan dan mengawasi jalannya sistem kekuasan. Ketiga peran tersebut berasal dari daulat rakyat, mewakili kepentingan rakyat, dan dipertanggungjawabkan pada rakyat. 

Maka jelas bahwa subjek dan objek dari bentuk kekuasaan harus berasal dari legitimasi rakyat. Tindakan Sukarno yang membentuk DPR dengan 'seenaknya sendiri'  sama halnya mengambil alih segala bentuk legitimasi rakyat tersebut dan tidak ada alasan lagi untuk untuk mengklaim bahwa kita adalah negara demokrasi -- mungkin lebih tepatnya---negara demokrasi dengan topeng monarki absolut.

Selain itu, dalam demokrasi terpimpin, Titik berat pemerintahan dan perundang-undangan tidak lagi pada parlemen, melainkan pada dua badan baru bentukan Sukarno, yaitu Dewan Pertimbangan Agung dan Dewan Perancang Nasional. Dalam sistem ini, Dewan Perwakilan Rakyat tugasnya hanya memberikan dasar-dasar hukum kepada keputusan-keputusan yang ditetapkan pemerintah, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan atau usul dari dua badan tadi.

Dengan cara begitu, menurut pendapat Soekarno, segala perundingan dapat berlaku dengan cepat, tidak bertele-tele seperti yang terjadi di Dewan Perwakilan Rakyat sampai sekarang. Kedua badan tersebut, Dewan Pertimbangan Agung dan Dewan Perancang Nasional, karena susunannya ditentukan sendiri oleh Presiden Soekarno, bisa menjadi pressure group atau golongan pendesak terhadap Dewan Perwakilan Rakyat.

"Tetapi dengan perubahan Dewan Perwakilan Rakyat yang terjadi sekarang, di mana semua anggota ditunjuk oleh Presiden, lenyaplah sisa-sisa demokrasi yang penghabisan. Demokrasi terpimpin Soekarno menjadi suatu DIKTATOR yang didukung golongan-golongan tertentu". 'Dosa-dosa' Bung Karno saya masukan dalam tulisan ini hanya dari aspek politik saja. Banyak lagi sebenarnya, sperti ancaman terhadap oposisi hingga kebijakan ekonomi, yang katanya penyambung lidah rakyat malah memotong lidah rakyat.

Dalam suatu kritik terhadap konsepsinya, Bung Hatta pernah membandingkan Bung Karni dengan Mephistopheles dalam hikayat Goethe's Faust. Apabila Mephistopheles berkata, bahwa dia adalah ein Teil jener Krfte, die stets das Bose will und stets das Gute schafft---satu bagian dari suatu tenaga yang selalu menghendaki yang buruk dan selalu menghasilkan yang baik--- Soekarno adalah kebalikan dari gambaran itu. 

Tujuannya selalu baik, tetapi langkah-langkah yang diambilnya kerap kali menjauhkan dia dari tujuannya itu. Dan sistem diktator yang diadakannya sekarang atas nama demokrasi terpimpin akan membawa dia pada keadaan yang bertentangan dengan cita-citanya selama ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun