Mohon tunggu...
Rian Diaz
Rian Diaz Mohon Tunggu... Mahasiswa - Menulis banyak, membaca juga banyak

Pegiat teater dan menulis fiksi, pelajar etnografi dan pemerhati masalah-masalah bangsa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Gara-gara Senja Seno Gumira, dari Surakarta Saya Terkenang Larantuka

13 Juli 2023   16:18 Diperbarui: 16 Juli 2023   00:30 620
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Matahari terbenam, Senja. (Foto: KOMPAS.com/ANGGARA WIKAN PRASETYA)

Dari Surakarta saya menyusuri kota Larantuka hanya karena cerpen Seno Gumira tentang senja yang dibaca dengan indah oleh aktor kawakan Abimana Aryasatya di kanal YouTube. Aku teringat warna kota kecil  itu.

"Di tepi pantai, di tepi bumi, semesta adalah sapuan warna keemasan dan lautan adalah cairan logam meski buih pada debur ombak yang menghempas itu tetap saja putih seperti kapas dan langit tetap saja ungu dan angin tetap saja lembab dan basah dan pasir tetap saja hangat... (Sepotong Senja untuk Pacarku)" begitulah kira-kira rupanya.

Saya duduk di rooftop tempat tinggalku di Solo demi membaca arah angin senja. Dari tepian itu, saya memandang senja yang jatuh di antara gedung-gedung. 

Cahaya yang tumpah di awan berbaur dengan warna cat gedung-gedung itu, tak ada pantai, tak ada debur ombak pada lautan. Tak ada pacar, hanya nostalgia dengan secangkir kopi buatan sendiri.

***


Bagai menembusi lorong waktu atau melewati pintu ajaib Doraemon, saya tiba di pantai paling ramai di Larantuka dan memesan segelas kopi dari warung di sana. 

Pantai Kota namanya. Pantai ini menawarkan rona senja seperti potret senja Seno Gumira dalam "Sepotong Senja untuk Pacarku." Potret senja dalam cerita itu amat indah dan kekal.

Ada satu hal nyata dari potret senja itu dengan senja ini ialah rona pada gumpalan awan dan pacar yang tak ada di samping. 

Namun demikian, saya tak perlu repot-repot memotret senja ini untuk dikirimkan kepada pacar atau menaruhnya di media sosial demi suka atau komentar. Senja tidak abadi di dalam sana.

Setelah berbagi kabar dengan Ibu pemilik warung yang penasaran dengan keberadaan saya selama ini, saya pun mendekat pada laut untuk merasakan debur ombak. Desir air pada kaki membawa kenikmatan yang hangat. Sekian lama.

Selepas menari-ria di atas  pasir basah itu, saya menyandarkan tubuh di bale-bale warung kopi. Saat itu arus laut sedang wura, pertanda laut akan surut  dinihari nanti.

Menjelang mentari terbit, orang-orang kota akan berbondong-bondong untuk bekarang. Mereka membuka hari di pantai sambil memburu ikan dengan nere dan ketura. Kepiting, belut, siput juga gurita tak luput dari sergapan.

Dengan membuka hari di tepi pantai, mereka akan menyaksikan matahari terbit dengan cahaya keemasannya. Cahaya itu akan memudar seiring meningginya matahari. Matahari akan menghilang di balik gunung Ile Mandiri dan meninggalkan cahaya seperti yang kusaksikan sekarang.

Orang-orang di balik gunung itu, akan menyaksikan matahari dari pantai mereka sendiri. Cahaya senja yang jatuh di lautan, menyentuh buih-buihnya, seperti potret senja Seno Gumira. 

Jika seorang lelaki kota ini jatuh cinta dengan seorang gadis dari desa di balik gunung itu, tentu ia adalah sosok paling romantis karena mengirimkan cinta dan rindu lewat rotasi bumi.

Saat bumi berputar mengelilingi matahari, cinta yang dia titip pada cahaya mentari pagi di hamparan laut, akan tiba di pintu rumah sang gadis segera setelah mentari senja tenggelam dalam lautan di daratan yang sama.

Lalu hari berjalan seperti biasa. Anak-anak akan pergi bersekolah dan orangtua akan sibuk dengan jam-jam kerja, kurir-kurir akan mengantar paket, koperasi harian juga akan mengetuk pintu para nasabah. Jalanan akan ramai sampai datang waktu semua lengang dan sayup.

Saya menyadari bahwa pemandangan matahari terbit di lautan yang tak terhalang apa pun ini tidak akan abadi. Pembangunan akan berlangsung, menggusur ini itu, menambal ini itu. Investasi dengan dahlil  ekonomi akan membuat segalanya berubah. 

Beberapa tempat di sudut kota telah terhimpit bangunan tinggi menjulang. beberapa pantai tak lagi bebas dinikmati dengan mudah, beberapa debur ombak akhirnya menghantam tanggul.

Seperti kegiatan bekarang itu juga, terumbu karang dan ikan-ikan kecil menjadi korban dari perjuangan manusia bertahan hidup. Lautan menjadi gelisah, deburnya membuat abrasi dan manusia harus membangun tanggul untuk menahan kegelisahan laut itu.

Wajah kotaku kian berubah seturut ide. Pelebaran jalan di tepian pantai, pembangunan hotel dan tanggul, perluasan pelabuhan kota karena meningkatnya kebutuhan tranformasi dan mobilisasi, penandatangan kontrak proyek dan korupsi menjadi bayang- bayang di belakangnya. .

Semua orang adalah egois bukan, sebagaimana tokoh Aku dalam cerita "Sepotong Senja untuk Pacarku" itu. Dia masuk ke dalam gorong-gorong dan menukar senja milik sang pengemis. Manusia suka merampas kalau mereka punya tujuan dan kuasa.

Kota saya mengikuti garis pantai. Keberadaan pulau Adonara di sepanjang garis kota menciptakan dua arus yang bergerak berlawanan d lautnya. 

Orang-orang kota ini menyebutnya gonsalu. Konon, sebuah kapal Belanda pernah karam karena arus itu. Kisah ini tersimpan sebagai warisan sejarah masyarakat di sini.

Larantuka adalah pusat dari segala interaksi orang-orang tiga pulau. Pelabuhan kota tercipta dari sejarah yang tetap hidup sampai sekarang. 

Tempat di mana perpisahan dan pertemuan bernaung, perjalanan panjang maupun perjalanan pendek, tempat ditinggalkan atau meninggalkan untuk sementara atau selamanya. Kapal- kapal besar, kapal-kapal kecil dan perahu nelayan ramai hilir mudik.

Jika asam dan garam bertemu di belanga, maka menurut penuturan sejarah seorang Patih dari sebuah kerajaan di Jawa bernama Patih Golo bertemu dan menikah dengan perempuan dari gunung Ile Mandiri bernama Watowele. 

Dari pernikahan itu terbentuklah garis keturunan yang menjadi raja di kerajaan Larantuka. Kelak kerajaan itu dikenal sebagai kerajaan berlatar belakang agama  katolik satu-satunya di Indonesia.

Gambar Petualang diambil dari freepik
Gambar Petualang diambil dari freepik

Ritus-ritus keagamaan yang berpadu dengan budaya adalah perayaan tahunan di kota ini. Mulai dari prosesi laut di sepanjang garis pantai yang kuceritakan ini sampai deretan keheningan pada malam harinya jalanan kota.

Tak ada kiasan yang lebih sempurna dari senja yang digambaran Seno Gumira, dalam pertemuan gadis dari gunung dan pemuda dari lautan pada daratan yang tak seberapa luasnya ini. 

Entah pertemuan itu berada di bawa sinar matahari yang mana. Warna mentari terbit dan warna matahari senja seringkali sama saja," cairan logam, buih- buihnya pada lautan tetap saja putih."

Saya cukup beruntung terlahir di kota ini. Saya tak perlu bayar penginapan atau tiket pesawat untuk mendatanginya, tak ada liburan, tak ada urgensi. 

Terbit dan senja dapat saya nikmati sesuka hati. Rona senja dan rona matahari terbit yang tumpah di lautan adalah hal biasa bagi mata orang-orang kota ini.

"Ibu pulang ya, nanti gelas kopinya di taruh saja di tempat cuci piring" suara ibu pemilik warung menyadarkan saya dari lamunan.

"Oh, iya. Sudah tutup Ibu? Saya pun mengeluarkan dompet untuk membayar kopi. 

"Tidak usah bayar. Gratis." Sahut Ibu warung sembari melangkah pergi.

Saya kembali menyeruput kopi ini pelan-pelan sambil mengawasi debur ombak, kepiting dan kerikil kecil sedang tergulung-gulung ombak di hamparan pasir.

Biarkan itu menjadi pemandangan biasa, tak perlu mengamat-amati dari dekat. Terombang ambil hanyalah peristiwa biasa dalam hidup. 

Mungkin Tuhan juga memandang saya terombang -ambing mirip dengan kepiting itu. Seorang lelaki yang pikirannya terombang-ambing dalam senja sedang menikmati kopi.

Ada banyak hal berubah di tempat lorong waktu atau pinta ajaib membawa saya pulang ini. Dahulu pantai ini ditumbuhi banyak semak belukar dan ratusan tumbuhan kumis kucing yang merambat ke sana kemari. Daun-daun ketapang yang berguguran di atas pasir, perahu nelayan dan semak belukar saling merengkuh mirip sangkar burung.

Banyak masa kecil kuhabiskan di sini. Menemani bapak mancing, mandi bersama teman-teman juga mengganggu pasangan yang asik memadu kasih, mengintip mereka dari celah sangkar itu.

Pantai ini dahulu pasirnya berwarna putih dan lembut. Sekarang warna pantai terlihat kusam dan pekat, ditambah dengan kehadiran tanggul yang menahan abrasi.

Tapi pemandangan dihadapanku tidaklah jauh berubah. Dua arus yang bergerak berlawanan dan perahu-perahu yang masih saja bermain di atasnya.

Pulau Adonara dengan hijau dan gersangnya seturut musim. Tempat di mana engkau akan menemukan gadis-gadis semanis nira. Perempuan-perempuan bermahar gading yang pasti bikin pangling.

Tapi jangan salah, lelaki-lelakinya telah dibekali dengan parang untuk melindungi jengkal demi jengkal tanah dan harga diri gadis-gadisnya.

Nostalgia ini akhirnya membuat saya pulang pada senja yang sudah-sudah. Senja di bukit Oebelo bersama kekasih ketika memandang laut Sawu dan perahu-perahu nelayan berbaris seperti pasukan perang.

Sebuah kapal minyak sedang lewat waktu itu. Saya membelai rambutnya, lembut seperti angin sore yang menyentuh daun-daun nyiur. Setelah itu kami larut dalam doa sampai senja selesai.

Ada juga senja yang saya nikmati ketika belajar fotografi di pantai Teddy'S. Pantai yang berada di pusat kota dan deretan pertokoan namun sunyi, kontras lewat sinarnya yang remang, gelap dan nikmat. Siluet dan warna senja itu terperangkap dalam dalam kamera pocket.

Waktu itu, saya tidak sengaja menyaksikan sepasang kekasih saling mencumbu di bawa remang merah matahari. 

Senja memang menjadi waktu paling baik untuk ciuman dengan nuansa romantis yang tak perlu diabadikan dalam lensa kamera. Cukup lewat nostalgia di ujung malam kala rindu sedang mengambil tempat.

Melewatkan senja di bukit Cinta dengan teman-teman sambil menikmati   arak dan tuak, menatap senja di Bukit Baumata saat pesawat datang dan pergi di Bandara Penfui juga bagian dari ingatan setelah cerpen Seno Gumira ini mendayuh-dayuh dalam telingaku.

Saya juga ingat cerita seorang aktivis dan pegiat literasi di kota saya. Perempuan bertato mawar di pergelangan tangan itu bercerita pengalamannya tentang senja.

"Hari-hari ini semua orang tergila- gila dengan senja, saya juga." katanya

"Setiap orang menyukai senja yang sama namun mereka ingin menikmatinya dengan cara berbeda."

"Di Bali, aku suka memandang senja dari gelas kaca, atau botol air mineral maupun botol wisky. Dengan itu senja saya menjadi berbeda dengan senja orang lain," katanya

Mengingat kisah itu, saya mencoba menirukan cara dia menikmati senja. Saya seruput kopi untuk memberi ruang menatap dari bibir gelas.

"Kurang menarik," saya membatin

Tak ada istimewanya memandang senja dari sini. Saya meletakan lagi gelas itu.

Saya pun teringat ketika pulang dari Hokeng, desa tante yang terletak di lembah gunung Lewotobi. 

Kala itu, senja dengan mentari bulat dan keemasannya seperti dalam potret Seno Gumira benar-benar bertengger di belahan gunung kembar itu. Saya terpesona. Saya memarkirkan motor dan mengabadikan senja itu dengan kamera.

Indah!

Saya pun berlomba dengan senja hari itu, untuk menikmatinya dari persawahan desa Konga.. Para petani membawa jerami, mobil bak terbuka dengan tumpukan pisang pisang, bis antar kota juga beberapa mobil tangki saling beriringan, gembala sapi dan semua saja yang berbau pedesaan hilir di jalan trans Flores yang membagi sawah-sawah desa itu.

Kala itu saya sedikit terlambat. Setibanya di jembatan mentari telah benar-benar tenggelam, akan tetapi jingga langit itu, belum sepenuhnya menghilang. Hari itu saya benar-benar merasa sebagai pemburu senja.

Pernah sekali, ketika pulang dari Adonara, saya menumpang perahu di Pantai Tana Mera. Dari sana mentari sedang terbenam di gunung Ile Mandiri, mentari merah itu terbenam tepat  di sisi kiri gunung Ile Mandiri.

Seluet nelayan sedang mendayung perahu, warna merahnya yang silau, perlahan memudar ketika perahu menepi di dermaga Pante Palo. Bias senja di dermaga itu, mirip senja yang sedang saya tatap sekarang juga senja yang berpendar -pendar dalam taku baju tokoh Aku dalam "Sepotong Senja untuk Pacarku" itu.

Senja-senja di kotaku, senja yang ditatap dari botol wiski di Bali, senja di daerah -- daerah terkenal yang biasa diambil sebagai latar foto di media sosial, seluet orang memegang mentari, sepasang kekasih yang berlarian di tepian pantai berwarna jingga, senja di lautan, senja di atas batu, senja dari apartemen, dan senja -senja indah lainnya hanya deretan nostalgia setelah engkau mendengar betapa dalam dan indah senja Seno Gumira.

Memang beberapa tentang senja telah lebur sebagai lagu dan puisi. Dipadukan dengan mata dan gerai rambut seorang gadis. Namun terasa hambar setelah senja Seno Gumira yang terdengar dari mulut Abimana Aryasetya itu.

Senja paling indah telah terperangkap lama dalam cerita Seno Gumira. Orang itu cukup kejam. Terkadang saya berpikir apakah senja setelah cerpen itu palsu. Terkadang saya merasa kini senja tak lagi istimewa.

"Sepotong Senja Untuk Pacarku" yang ditulis oleh Seno Gumira puluhan tahun silam dibaca dengan lembut oleh Abimana Aryasetya, tentang Ia yang memotret sepotong senja dan terjadi lubang sebesar potret di langit senja itu, membawa kabur potret itu dan dikejar oleh polisi seperti seorang penjahat besar.

Dia masuk ke dalam gorong-gorong dan menemukan senja yang lain, memotretnya lagi dan menukar senja yang asli dengan senja palsu itu untuk dikirimkan kepada pacarnya lewat tukang pos.

Ia dalam cerita senja itu adalah tokoh egois. Ia menjadi lebih egois dari seseorang yang memilih melihat senja dari gelas. Dia bahkan lebih egois dari seluet seseorang yang memegang mentari seperti senja di media sosial. Saya menggerutu dalam lamunan sore ini.

Seno tidak memikirkan bagaimana perasaan orang-orang di sekitar yang menyaksikan senja dengan tidak lengkap.

Mentari sore tanpa ronanya ataupun rona sore yang tanpa mentarinya. Atau pun tentang perasaan pengemis yang mengantarnya ke senja baru. Ia mungkin tak bertanya bahwa senja di dalam gorong-gorong itu milik pengemis dan teman-temannya untuk menghibur letih, dan tak lagi lengkap.

Para polisi yang mengejarnya itu, jurnalis yang membicarakanya di TV, atau pun politisi yang mencoba mengambil bagian, mungkin juga membutuhkan senja sebagai obat atas rutinitas dan segala tekanan masyarakat.

Ia mencuri senja yang bebas dan gratis hanya untuk kekasih yang barangkali terlampau sibuk untuk sekadar menikmati senja dengan minum kopi di pantai.

Untuk kalimat ini,Saya mendasarkannya pada suasana tanpa kehadiran sang pacar. Ketiadaan selalu membuka kesempatan bagi rindu.

Terlalu berhayal, kopi saya dingin. Saya pun meneguk kopi hingga selesai dan pergi meninggalkan Larantuka dengan senja yang hampir menghilang. Menyusuri lorong waktu atau membuka pintu ajaib Doraemon, saya telah berada di rooftop tempat saya tinggal dan senja telah menghilang dari langit Solo.

***

Setelah gelap semakin pekat menghampiri, ibu kos menyuruhku turun dari rooftop. Aku pun meneguk kopi itu sampai tuntas. Aku harus terbiasa dengan senja yang tanpa lautannya dan tanpa pacar. 

Namun jika ada yang bisa diulang, aku ingin senja di bukit Oebelo. Membelai lagi rambut pacarku dan larut dalam doa hingga senja selesai.

Begitulah!!!

Keterangan

Bekarang': menangkap ikan di air laut yang surut 
Ketura dan nere: alat yang dipakai untuk bekarang' A
rak dan tuak; minuman alkohol  di Larantuka
Nira; Tuak' manis
Bale-bale: tempat duduk dari bambu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun