Biarlah sejarah mencatat dengan jujur, agar masa depan bisa ditata dengan sistem yang lebih sehat. Jika kita gagal mengambil pelajaran, maka bangsa ini akan terus jatuh ke dalam lubang yang sama, dikuasai oleh sistem yang hanya hidup untuk satu orang, dan mati bersama hilangnya dia.
Penutup: Demokrasi Adalah Sistem, Bukan Kultus Tokoh
Kita tidak bisa membiarkan demokrasi, yang diperjuangkan dengan darah dan pengorbanan generasi terdahulu, direduksi menjadi proyek personal satu figur, betapapun berpengaruh atau populernya dia. Demokrasi bukan panggung untuk pengultusan tokoh, melainkan sistem yang hidup dan berjalan karena aturan, norma, serta institusi yang saling mengawasi dan membatasi.
Ketika seorang menteri dapat menjelma menjadi koordinator lintas sektor, juru bicara segala kebijakan, penjaga investasi asing, sekaligus duta diplomasi strategis, maka yang terjadi bukanlah kemajuan, melainkan pembajakan sistem oleh pengaruh personal. Ini bukan sekadar anomali administratif, tapi kesalahan konstitusional yang serius dan harus dicatat sebagai peringatan nasional.
Prof. Jimly Asshiddiqie, pakar hukum tata negara dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, dalam kuliahnya tentang etika kekuasaan pernah mengingatkan:
“Demokrasi yang sehat bukan sekadar pemilu setiap lima tahun. Demokrasi yang sehat adalah yang menjamin bahwa semua kekuasaan dibatasi, dikontrol, dan tidak terkonsentrasi pada satu tangan.”
Sementara itu, Fareed Zakaria, cendekiawan politik Amerika, dalam bukunya The Future of Freedom menyebut bahwa:
“Demokrasi tanpa institusi yang kuat hanya akan melahirkan pemimpin populis yang menggantikan hukum dengan kehendak pribadi. Negara tidak bisa bertumpu pada karakter seseorang, tetapi harus bertumpu pada sistem.”
Tulisan ini bukan ditujukan untuk menyerang pribadi Luhut Binsar Pandjaitan, melainkan sebagai catatan sejarah dan kritik sistemik: bahwa pernah, dalam satu masa pemerintahan, satu orang mengisi ruang kekuasaan yang seharusnya dijalankan oleh banyak institusi negara secara kolektif. Dan itu adalah penyimpangan struktural yang menggerogoti demokrasi dari dalam.
Agar kita belajar.
Agar generasi selanjutnya tidak tinggal diam.
Agar negara ini tetap berdiri dengan wibawa sistemnya, bukan dengan bayang-bayang kekuasaan satu orang.
Seperti dikatakan Prof. Daniel Ziblatt, ilmuwan politik dari Harvard dan penulis How Democracies Die: