Sejarah kekuasaan di Indonesia penuh dengan contoh di mana tokoh-tokoh dominan mengalahkan sistem kelembagaan. Di masa Orde Lama, Soekarno mengangkat dirinya sebagai Presiden Seumur Hidup, melemahkan parlemen dan sistem multipartai. Di masa Orde Baru, Soeharto membangun rezim sentralistik yang menyingkirkan peran DPR dan Mahkamah Agung menjadi lembaga simbolik.
Kini, di era reformasi yang seharusnya menjunjung demokrasi, kita justru menyaksikan gejala serupa dalam bentuk baru, figurisme teknokratis yang dibungkus jargon efisiensi dan stabilitas investasi.
Prof. Saldi Isra, hakim konstitusi, pernah memperingatkan bahwa:
“Reformasi akan gagal jika kita membiarkan satu tokoh mengendalikan seluruh urusan negara, sementara sistem dikesampingkan. Demokrasi bukan jalan untuk mencari figur baru, tetapi membangun sistem yang membatasi kekuasaan siapa pun.”
Saatnya Kembali ke Sistem, Bukan Figur
Fenomena seperti ini harus dicatat, dikritisi, dan dijadikan pelajaran sejarah yang jelas: negara yang dibangun di atas sistem akan bertahan lebih lama daripada negara yang disandarkan pada karisma tokoh. Kita membutuhkan birokrasi yang kuat, bukan loyalis yang hanya menunggu aba-aba. Kita membutuhkan mekanisme lembaga yang hidup, bukan pembisik pribadi di lingkar dalam istana.
Mengkritik dominasi kekuasaan Luhut Binsar Pandjaitan bukan soal suka atau tidak suka, bukan pula sekadar urusan politik praktis. Ini adalah panggilan moral untuk meluruskan arah reformasi, agar tidak lagi terjebak dalam kultus tokoh yang melemahkan sistem.
Cukup Sudah: Mari Wariskan Sistem yang Sehat
Cukup sudah kita hidup dalam bayang-bayang kekuasaan yang hanya berpindah dari satu tokoh kuat ke tokoh kuat lainnya. Kita harus bergerak menuju sistem yang:
- Menjamin transparansi dan akuntabilitas,
- Memberi ruang pada kolektifitas dalam pengambilan keputusan,
- Mengembalikan marwah kementerian dan lembaga negara sebagai pelaksana tugas konstitusional, bukan figuran dalam drama kekuasaan.
Jika generasi kita gagal mengoreksi preseden buruk ini, maka kita mewariskan bangsa yang rapuh kepada anak cucu kita.
Demokrasi tidak bisa dibangun dengan dasar kekaguman membabi buta. Ia tumbuh dengan keberanian mengkritik, mencatat, dan memperbaiki kesalahan yang nyata. Dan salah satu kesalahan paling serius dalam pemerintahan Jokowi adalah membiarkan kekuasaan luar biasa terkonsentrasi pada satu menteri, yang bukan hanya menjalankan fungsi teknis, tetapi mengoperasikan negara layaknya CEO korporasi pribadi.