Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Advokat - Jurnalis

Menulis apa saja yang mungkin dan bisa untuk ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Menteri Segala Urusan : Catatan Kelam Praktek Tata Kelola Pemerintahan di Era Presiden Jokowi

21 Juni 2025   13:01 Diperbarui: 24 Juni 2025   18:34 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (Kompas.com)

Pendahuluan: Figur Sentral di Balik Kekuasaan

Dalam suatu sistem pemerintahan demokratis yang sehat, jabatan publik dibatasi oleh mandat konstitusional dan dikelola oleh mekanisme kelembagaan yang saling mengawasi dan bekerja secara kolektif. Namun, pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, kita menyaksikan satu gejala politik yang mencederai prinsip tersebut: hadirnya satu figur pejabat yang mengendalikan terlalu banyak urusan negara, dikenal luas sebagai “menteri segala urusan.”

Figur itu adalah Luhut Binsar Pandjaitan, seorang purnawirawan jenderal bintang empat yang pernah menjabat Komandan Paspampres, Dubes RI untuk Singapura, hingga Kepala Staf Kepresidenan. Kiprahnya tak bisa dilepaskan dari sejarah perjalanan kekuasaan Jokowi sendiri. Dalam dua kali pemilihan presiden (2014 dan 2019), Luhut memainkan peran penting sebagai strategis politik dan logistik, menjembatani Jokowi dengan berbagai kalangan elite, termasuk investor, kalangan militer, dan kelompok oligarki ekonomi.

Pada Pilpres 2014, ketika Jokowi masih dianggap sebagai “orang luar Jawa” dan belum sepenuhnya diterima oleh elite politik nasional, Luhut menjadi penjamin politik dan keamanan, yang membukakan jalan bagi koalisi dan kepercayaan investor dalam kampanye. Peran itu berlanjut bahkan lebih dalam di periode kedua. Setelah Jokowi terpilih kembali pada 2019, peran Luhut bukan hanya makin besar, tetapi juga mendekati absolut, menjangkau sektor-sektor strategis yang secara hukum seharusnya berada dalam domain kementerian lain.

Maka ketika publik menyebutnya sebagai “menteri segala urusan,” itu bukan sekadar ejekan atau sindiran, melainkan pengakuan terhadap realitas politik dan tata kelola pemerintahan yang telah menyimpang dari prinsip normatif. Julukan ini muncul dari pengamatan publik yang tajam terhadap praktik kekuasaan yang terlalu terpusat pada satu figur yang tidak pernah dipilih langsung oleh rakyat, tetapi berada dalam posisi superstrategis karena kedekatannya dengan presiden.

Apa yang terjadi kemudian bukanlah keefisienan pemerintahan, tetapi gejala konsentrasi kekuasaan yang menyimpang. Dalam banyak kebijakan negara, dari urusan tambang nikel, sawit, kereta cepat, pandemi, sampai transisi energi, nama Luhut selalu muncul di garis depan, bahkan melampaui peran Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Perdagangan, Menteri Kesehatan, Menteri BUMN, dan bahkan kadang Menteri Luar Negeri.

Julukan “menteri segala urusan” menjadi simbol dari kerusakan sistemik yang harus dikenang dan dicatat sebagai pelajaran sejarah, agar tidak diwariskan kepada generasi pemimpin berikutnya. Karena demokrasi yang sehat tidak boleh bergantung pada satu orang, sekuat atau secerdas apapun dia.

Ketika Fungsi Lembaga Dikooptasi oleh Figur

Secara formal, Luhut Binsar Pandjaitan adalah Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves). Tapi dalam praktik, kekuasaannya melampaui sekat-sekat struktural yang diatur oleh konstitusi dan undang-undang. Dalam dirinya terkonsentrasi bukan hanya peran koordinatif antara-kementerian, melainkan juga fungsi pengambilan keputusan yang sangat dominan, seringkali bahkan lebih berpengaruh daripada presiden itu sendiri di mata publik dan investor asing.

Jejak Jabatan Publik Luhut: Dari Militer ke Lingkar Dalam Kekuasaan

Luhut bukan sosok baru di pemerintahan. Sebagai purnawirawan Jenderal TNI, ia pernah menjabat sebagai:

  • Komandan Paspampres (1995–1997), menjaga Presiden Soeharto.
  • Dubes RI untuk Singapura (1999–2000), sebagai penghubung diplomatik pascareformasi.
  • Menteri Perindustrian dan Perdagangan (2000–2001) di era Presiden Abdurrahman Wahid, namun hanya sebentar.
  • Kepala Staf Kepresidenan (2014–2015) di periode awal Presiden Jokowi.
  • Menko Polhukam (2015–2016), menggantikan Tedjo Edhi.
  • Menko Kemaritiman (2016–2019) yang kemudian diperluas menjadi Menko Kemaritiman dan Investasi hingga hari ini.

Dengan rekam jejak seperti itu, jelas bahwa Luhut adalah figur yang menguasai berbagai poros kekuasaan: militer, diplomasi, ekonomi, dan intelijen. Dan kedekatannya dengan Presiden Jokowi membawanya ke posisi superstrategis, menjadi jantung pengambilan keputusan dalam berbagai sektor, baik formal maupun informal.

 Peran Melampaui Fungsi

Secara kasat mata, ia terlihat seperti seorang koordinator sektor kemaritiman. Namun, Luhut mengemban dan memaksakan peran dalam banyak agenda nasional yang secara yuridis bukan dalam ranah tugasnya langsung:

  1. Pandemi COVID-19

    • Ditunjuk sebagai Koordinator PPKM Jawa–Bali, peran ini seharusnya berada di bawah Menteri Kesehatan atau BNPB. Tapi nyatanya, semua kebijakan darurat justru dikendalikan oleh Luhut, termasuk manajemen vaksin, logistik, dan komunikasi publik.
  2. Tambang dan Hilirisasi Nikel

    • Ia menjadi arsitek utama kebijakan hilirisasi nikel dan pemegang kendali dalam kerja sama dengan investor besar, seperti Tsingshan dan CATL dari Tiongkok. Padahal, ini semestinya domain Menteri ESDM dan Menteri Perindustrian.
  3. Kereta Cepat Jakarta–Bandung

    • Proyek ini berada di bawah Kementerian Perhubungan dan Kementerian BUMN. Namun ketika bermasalah, Luhut turun tangan sebagai “penengah,” bahkan disebut sebagai pengendali lobi hingga pembiayaan Tiongkok.
  4. Ekspor–Impor Sawit (CPO)

    • Ia memimpin kebijakan terkait ekspor sawit dan negosiasi dengan India dan China, fungsi yang seharusnya dilakukan oleh Menteri Perdagangan atau Menteri Pertanian.
  5. Perubahan Iklim dan Transisi Energi

    • Dalam isu global seperti transisi energi, Luhut tampil sebagai representasi resmi Indonesia dalam forum-forum internasional seperti G20, COP, dan World Economic Forum. Keberadaannya mengaburkan fungsi Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Luar Negeri, bahkan Presiden sendiri sebagai kepala negara.
  6. Hubungan Diplomatik dengan Tiongkok

    • Tak sedikit yang menyebut Luhut sebagai “duta besar informal” untuk Tiongkok. Negosiasi investasi, pinjaman, dan bahkan manajemen utang BUMN sebagian besar dipercayakan kepadanya.

 Efisiensi atau Otoritarianisme Gaya Baru?

Kita patut bertanya: Apakah ini bagian dari manajemen efisien atau praktik kekuasaan yang melampaui batas konstitusional?

Retorika efisiensi seringkali menjadi alasan untuk menjustifikasi sentralisasi kekuasaan. Namun efisiensi yang mengabaikan sistem dan lembaga justru menciptakan bahaya yang lebih besar: matinya partisipasi kelembagaan, dan munculnya rezim personalistik.

Luhut bukan hanya menjalankan tugas, ia mengonsolidasikan peran lintas bidang: mengoordinasikan, memutuskan, mengawasi, bahkan mewakili negara. Sebuah kekuasaan yang sangat luas, tanpa pengawasan publik yang memadai.

Sistem Dibajak oleh Figur

Ketika satu pejabat publik memegang terlalu banyak kekuasaan lintas sektor dan lintas kelembagaan, maka yang rusak bukan hanya sistem administrasi, tetapi semangat konstitusional itu sendiri. Negara menjadi personal, lembaga menjadi hampa, dan demokrasi berjalan di bawah bayang-bayang figur yang tak tersentuh.

Situasi ini bukan kehebatan teknokrasi, tapi gejala awal pembusukan institusi.

Konsekuensi Sistemik: Lembaga Melemah, Loyalitas Terpecah

Fenomena “menteri segala urusan” bukan sekadar soal penumpukan tugas administratif, tetapi merupakan gejala kronis dari penyakit sistemik dalam tata kelola pemerintahan. Ketika satu figur mengambil alih peran lintas sektor, maka sistem yang seharusnya berjalan kolektif menjadi tergantung pada satu pusat kendali informal. Situasi ini menimbulkan efek domino terhadap struktur, budaya, dan orientasi kekuasaan dalam negara.

1. Kementerian dan Lembaga Lain Menjadi Simbolik

Kementerian yang secara hukum memiliki tugas pokok dan fungsi (tupoksi) di sektor-sektor tertentu menjadi terpinggirkan. Banyak menteri hanya hadir secara protokoler, ikut rapat, mengeluarkan pernyataan pers, tetapi tidak punya peran substantif dalam pengambilan kebijakan strategis.

Contohnya:

  • Dalam urusan pandemi, Menteri Kesehatan kehilangan sentralitas ketika koordinasi dan eksekusi strategi nasional berada di bawah kendali Luhut.
  • Dalam hilirisasi nikel dan transisi energi, Menteri ESDM dan Menteri Perindustrian nyaris tak terdengar, karena seluruh narasi dikuasai oleh Luhut sebagai juru bicara kebijakan tambang nasional.
  • Bahkan Menko Perekonomian, yang seharusnya menjadi koordinator sektor investasi dan perdagangan, kalah pengaruh dalam negosiasi dengan investor Tiongkok.

Menurut Prof. Bivitri Susanti, pendiri Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, “Fungsi kementerian menjadi lumpuh ketika pengambilan keputusan tidak lagi mengikuti struktur birokrasi, tetapi mengikuti jejaring kekuasaan informal.” Ia menambahkan bahwa kabinet yang tidak berjalan kolektif akan melahirkan rezim delegatif, bukan sistem presidensial modern.

2. Merusak Etika Birokrasi

Birokrasi dalam negara hukum dibangun di atas asas legalitas, proseduralisme, dan profesionalisme. Ketika keputusan negara ditentukan bukan oleh sistem, tetapi oleh kedekatan dengan seorang figur, maka etika birokrasi rusak dari dalam.

Hal ini menciptakan budaya oportunisme, di mana pejabat dan birokrat lebih sibuk mencari jalan untuk “merapat ke lingkaran Luhut” daripada menjalankan tugas institusionalnya secara serius. Orientasi kerja menjadi loyalitas personal, bukan pelayanan publik. Akibatnya, kontrol publik menjadi lemah, karena keputusan diambil tanpa transparansi, dan masyarakat tidak tahu siapa yang bertanggung jawab terhadap apa.

Prof. Agus Pramusinto, Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), pernah menyampaikan bahwa birokrasi yang dikendalikan oleh loyalitas personal akan menciptakan aparatur yang manipulatif dan pasif. “Birokrat akan lebih rajin mencari perlindungan politik ketimbang bekerja untuk rakyat,” ujarnya dalam satu forum nasional ASN 2022.

3. Pendidikan Demokrasi Tercederai

Salah satu fungsi vital dari sistem pemerintahan adalah mendidik rakyat tentang bagaimana negara bekerja secara institusional. Ketika sistem berjalan baik, rakyat belajar bahwa negara dijalankan oleh aturan, oleh prosedur, oleh mekanisme yang bisa dipertanggungjawabkan.

Namun dalam konteks dominasi figur seperti Luhut, rakyat disuguhi wajah negara yang personalistik. Mereka melihat keputusan penting selalu diambil oleh satu orang, dan nama-nama menteri lain nyaris tidak pernah terdengar. Hal ini berbahaya bagi jangka panjang, karena menumbuhkan budaya politik patronase dan kultus tokoh, bukan penghormatan terhadap institusi.

Dr. Yance Arizona, pakar hukum tata negara UGM, menyebutnya sebagai bentuk “figur sentralistik dalam demokrasi formil”. Menurutnya, demokrasi tanpa sistem hanya akan menciptakan negara yang rentan korupsi dan ketergantungan pada elite. “Ini berisiko membonsai demokrasi itu sendiri,” ujarnya dalam diskusi di Pusat Studi Hukum Konstitusi.

 Dampak Lanjut: Negara Tanpa Arah Sistemik

Ketika kementerian menjadi simbolik, etika birokrasi tergerus, dan pendidikan demokrasi terputus, maka negara kehilangan arah sistemik. Kebijakan berubah tergantung selera tokoh dominan. Lembaga negara hanya menjadi panggung, sementara aktor utamanya adalah satu sosok di balik layar yang tak pernah dipilih rakyat secara langsung, tetapi menjalankan peran eksekutif dan legislatif sekaligus.

Situasi seperti ini pernah terjadi dalam sejarah Indonesia, dan berakhir dengan krisis kepercayaan, konflik elit, dan hilangnya kendali terhadap agenda pembangunan nasional. Kita tak boleh mengulangi kesalahan itu.

Kritik Bukan Fitnah: Etis Secara Intelektual dan Konstitusional

Sebagai rakyat yang sadar hak konstitusional dan sebagai akademisi hukum yang menjunjung tinggi integritas intelektual, saya menyampaikan kritik ini dengan tanggung jawab moral dan kesetiaan pada prinsip negara hukum. Kritik ini tidak dimaksudkan untuk menyerang pribadi, melainkan ditujukan secara sah kepada jabatan publik yang menjalankan fungsi negara secara luar biasa luas dan dominan, jauh melampaui mandat formal yang digariskan konstitusi.

Menyebut nama Luhut Binsar Pandjaitan dalam tulisan ini bukan pelanggaran etika, melainkan kewajiban intelektual dan ekspresi tanggung jawab warga negara. Dalam masyarakat demokratis, kekuasaan publik harus bisa diawasi secara terbuka. Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28F UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa setiap warga negara:

  • Berhak menyatakan pikiran dan pendapat,
  • Berhak memperoleh dan menyampaikan informasi, baik lisan maupun tulisan, dengan sarana apa pun.

Artinya, mengkritik penyelenggara negara adalah hak konstitusional yang dijamin oleh negara. Tidak ada kewajiban moral, hukum, atau etik untuk “menyamarkan” nama pejabat yang berperan sentral dalam proses kekuasaan. Justru menyamarkan atau mengaburkan peran mereka, ketika dampaknya besar terhadap publik, adalah bentuk pengingkaran terhadap prinsip akuntabilitas dan keterbukaan.

Dalam Etika Akademik: Klarifikasi, Bukan Samarkan

Dalam dunia akademik dan keilmuan, menyebutkan aktor dengan jelas adalah bagian dari kejujuran ilmiah. Sebuah tesis, artikel, atau kritik kebijakan yang membicarakan tokoh publik tanpa menyebutkan nama mereka secara eksplisit justru melanggar prinsip dasar keterbukaan ilmiah dan ketepatan referensi.

Menurut Prof. Robert B. Reich, mantan Menteri Tenaga Kerja AS dan akademisi Harvard, dalam bukunya “Saving Capitalism”, ia menyebut bahwa:

“Menyerang ide dan kebijakan seorang tokoh publik adalah bagian dari proses intelektual yang sehat. Yang tidak etis adalah membungkam kritik atas nama etika atau sopan santun semu.”

Dengan kata lain, etika dalam ilmu pengetahuan berbeda dengan basa-basi sosial. Dunia akademik mendorong klarifikasi, bukan penyamaran. Karena sejarah yang baik dibangun dari keberanian menyebut dan mengevaluasi peran tokoh-tokoh dalam jalannya negara.

 Kritik Adalah Pilar Demokrasi, Bukan Pelanggaran

Demokrasi yang sehat bertumpu pada kebebasan menyatakan pendapat, termasuk dalam bentuk kritik yang tajam dan terarah terhadap kebijakan publik dan pelaksanaannya. Bahkan Mahkamah Konstitusi dalam berbagai putusannya, misalnya dalam uji materi UU ITE, menegaskan bahwa:

“Kritik terhadap pejabat publik tidak bisa disamakan dengan penghinaan pribadi, selama kritik tersebut bertujuan untuk kepentingan umum dan dilakukan secara argumentatif.”

Oleh karena itu, dalam menulis ini, saya tidak menuduh Luhut secara personal, melainkan menyoroti pemusatan kekuasaan luar biasa yang berada di tangannya selama dua periode pemerintahan Jokowi. Kritik ini diarahkan bukan kepada integritas moral pribadi, tetapi kepada konsekuensi sistemik dari peran dan pengaruhnya dalam merusak keseimbangan institusi negara.

Demokrasi Butuh Keberanian Intelektual

Kita tidak akan pernah memiliki masa depan yang sehat jika kita takut mengoreksi masa kini. Kita tidak akan pernah membangun lembaga yang kuat jika kita terus memuja figur dan membiarkan mereka berjalan tanpa pengawasan. Demokrasi tidak boleh diatur oleh rasa sungkan, tetapi oleh keberanian berpikir dan ketegasan bersikap.

Menulis kritik seperti ini adalah cara menjaga republik agar tetap berjalan di rel konstitusi, bukan di lorong kekuasaan personal. Ini adalah upaya mencatat sejarah secara jujur, agar generasi mendatang tidak tersesat oleh propaganda pencitraan atau narasi sepihak.

Pelajaran yang Harus Dikenang: Dari Figur ke Sistem

Fenomena “menteri segala urusan” bukan sekadar cerita politik harian yang bisa dilupakan begitu saja setelah berganti rezim. Ia adalah preseden buruk dalam sejarah ketatanegaraan kita, yang, jika dibiarkan berulang, akan merusak pondasi demokrasi konstitusional dan menyeret bangsa ini ke arah kepemimpinan yang personalistik, transaksional, dan koruptif.

Konsentrasi Kekuasaan Melahirkan Ketimpangan Sistemik

Setiap kekuasaan yang terkonsentrasi secara berlebihan pada satu figur akan menciptakan ketimpangan dalam distribusi kewenangan, disfungsi kelembagaan, dan hilangnya checks and balances. Kita menyaksikan secara nyata:

  • Pejabat lain kehilangan daya karena kebijakan strategis telah dikuasai oleh satu tokoh dominan.
  • Kementerian menjadi hiasan struktural tanpa pengaruh substantif.
  • Fungsi DPR dan lembaga pengawas turut lemah, karena akses terhadap informasi dan keputusan besar dipusatkan di satu meja kekuasaan.

Kondisi ini membuka jalan bagi pertumbuhan oligarki politik dan ekonomi, karena kekuasaan yang terpusat lebih mudah ditunggangi oleh kepentingan bisnis besar, terutama yang memiliki koneksi langsung ke figur sentral tersebut.

Sejarah Telah Memberi Peringatan: Figur Dominan Selalu Membajak Sistem

Sejarah kekuasaan di Indonesia penuh dengan contoh di mana tokoh-tokoh dominan mengalahkan sistem kelembagaan. Di masa Orde Lama, Soekarno mengangkat dirinya sebagai Presiden Seumur Hidup, melemahkan parlemen dan sistem multipartai. Di masa Orde Baru, Soeharto membangun rezim sentralistik yang menyingkirkan peran DPR dan Mahkamah Agung menjadi lembaga simbolik.

Kini, di era reformasi yang seharusnya menjunjung demokrasi, kita justru menyaksikan gejala serupa dalam bentuk baru, figurisme teknokratis yang dibungkus jargon efisiensi dan stabilitas investasi.

Prof. Saldi Isra, hakim konstitusi, pernah memperingatkan bahwa:

“Reformasi akan gagal jika kita membiarkan satu tokoh mengendalikan seluruh urusan negara, sementara sistem dikesampingkan. Demokrasi bukan jalan untuk mencari figur baru, tetapi membangun sistem yang membatasi kekuasaan siapa pun.”

Saatnya Kembali ke Sistem, Bukan Figur

Fenomena seperti ini harus dicatat, dikritisi, dan dijadikan pelajaran sejarah yang jelas: negara yang dibangun di atas sistem akan bertahan lebih lama daripada negara yang disandarkan pada karisma tokoh. Kita membutuhkan birokrasi yang kuat, bukan loyalis yang hanya menunggu aba-aba. Kita membutuhkan mekanisme lembaga yang hidup, bukan pembisik pribadi di lingkar dalam istana.

Mengkritik dominasi kekuasaan Luhut Binsar Pandjaitan bukan soal suka atau tidak suka, bukan pula sekadar urusan politik praktis. Ini adalah panggilan moral untuk meluruskan arah reformasi, agar tidak lagi terjebak dalam kultus tokoh yang melemahkan sistem.

Cukup Sudah: Mari Wariskan Sistem yang Sehat

Cukup sudah kita hidup dalam bayang-bayang kekuasaan yang hanya berpindah dari satu tokoh kuat ke tokoh kuat lainnya. Kita harus bergerak menuju sistem yang:

  • Menjamin transparansi dan akuntabilitas,
  • Memberi ruang pada kolektifitas dalam pengambilan keputusan,
  • Mengembalikan marwah kementerian dan lembaga negara sebagai pelaksana tugas konstitusional, bukan figuran dalam drama kekuasaan.

Jika generasi kita gagal mengoreksi preseden buruk ini, maka kita mewariskan bangsa yang rapuh kepada anak cucu kita.

Demokrasi tidak bisa dibangun dengan dasar kekaguman membabi buta. Ia tumbuh dengan keberanian mengkritik, mencatat, dan memperbaiki kesalahan yang nyata. Dan salah satu kesalahan paling serius dalam pemerintahan Jokowi adalah membiarkan kekuasaan luar biasa terkonsentrasi pada satu menteri, yang bukan hanya menjalankan fungsi teknis, tetapi mengoperasikan negara layaknya CEO korporasi pribadi.

Biarlah sejarah mencatat dengan jujur, agar masa depan bisa ditata dengan sistem yang lebih sehat. Jika kita gagal mengambil pelajaran, maka bangsa ini akan terus jatuh ke dalam lubang yang sama, dikuasai oleh sistem yang hanya hidup untuk satu orang, dan mati bersama hilangnya dia.

Penutup: Demokrasi Adalah Sistem, Bukan Kultus Tokoh

Kita tidak bisa membiarkan demokrasi, yang diperjuangkan dengan darah dan pengorbanan generasi terdahulu, direduksi menjadi proyek personal satu figur, betapapun berpengaruh atau populernya dia. Demokrasi bukan panggung untuk pengultusan tokoh, melainkan sistem yang hidup dan berjalan karena aturan, norma, serta institusi yang saling mengawasi dan membatasi.

Ketika seorang menteri dapat menjelma menjadi koordinator lintas sektor, juru bicara segala kebijakan, penjaga investasi asing, sekaligus duta diplomasi strategis, maka yang terjadi bukanlah kemajuan, melainkan pembajakan sistem oleh pengaruh personal. Ini bukan sekadar anomali administratif, tapi kesalahan konstitusional yang serius dan harus dicatat sebagai peringatan nasional.

Prof. Jimly Asshiddiqie, pakar hukum tata negara dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, dalam kuliahnya tentang etika kekuasaan pernah mengingatkan:

“Demokrasi yang sehat bukan sekadar pemilu setiap lima tahun. Demokrasi yang sehat adalah yang menjamin bahwa semua kekuasaan dibatasi, dikontrol, dan tidak terkonsentrasi pada satu tangan.”

Sementara itu, Fareed Zakaria, cendekiawan politik Amerika, dalam bukunya The Future of Freedom menyebut bahwa:

“Demokrasi tanpa institusi yang kuat hanya akan melahirkan pemimpin populis yang menggantikan hukum dengan kehendak pribadi. Negara tidak bisa bertumpu pada karakter seseorang, tetapi harus bertumpu pada sistem.”

Tulisan ini bukan ditujukan untuk menyerang pribadi Luhut Binsar Pandjaitan, melainkan sebagai catatan sejarah dan kritik sistemik: bahwa pernah, dalam satu masa pemerintahan, satu orang mengisi ruang kekuasaan yang seharusnya dijalankan oleh banyak institusi negara secara kolektif. Dan itu adalah penyimpangan struktural yang menggerogoti demokrasi dari dalam.

Agar kita belajar.
Agar generasi selanjutnya tidak tinggal diam.
Agar negara ini tetap berdiri dengan wibawa sistemnya, bukan dengan bayang-bayang kekuasaan satu orang.

Seperti dikatakan Prof. Daniel Ziblatt, ilmuwan politik dari Harvard dan penulis How Democracies Die:

“Demokrasi mati bukan karena kudeta berdarah, tetapi karena elite politik membiarkan institusi dilemahkan secara perlahan oleh tangan-tangan yang terlihat legal, tapi menghancurkan prinsip.”

Maka, mencatat ini bukanlah tindakan oposan, tapi tindakan patriotik. Karena pada akhirnya, republik ini harus lebih besar dari siapa pun yang pernah berkuasa di dalamnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun